Tuesday, July 31, 2018

PERATURAN MENTERI TENTANG K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA) TERLENGKAP

PERATURAN MENTERI TENTANG K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA) TERLENGKAP

PERATURAN MENTERI TENTANG K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA) TERLENGKAP

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Transkop Nomor : PER.01/MEN1976 tentang Kewajiban Latihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan

2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi R.I. No. Per.01/MEN/1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi R.I. No. Per.03/MEN/1978 tentang Penunjukan dan Wewenang, Serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No.: Per.01/MEN/1979.Tentang Kewajiban Latihan Hygiene Perusahaan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Para Medis Perusahaan.

5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi R.I. No. Per.01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per.02/MEN/1980 Tentang: Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi R.I. No. Per.04/MEN/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per.01/MEN/1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja

9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi R.I. No. Per.01/MEN/1982 tentang Bejana Tekan

10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi R.I. No. Per.02/MEN/1982 tentang Kwalifikasi Juru Las

11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No.: Per.03/MEN/1982 Tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja

12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No Per.02/MEN/1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Automatik

13. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No.: Per.03/MEN/1985 tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes

14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.. No. Per.04/MEN/1985 tentang Pesawat Tenaga dan Produksi

15. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.05/MEN/1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut

16. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. : Per-04/MEN/1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja

17. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.01/MEN/1988 tentang Kwalifikasi dan Syarat-syarat Operator Pesawat Uap

18. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.01/MEN/1989 tentang Kwalifikasi dan Syarat-syarat Operator Keran Angkat

19. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.02/MEN/1989 tentang Pengawasan Instalasi Instalasi Penyalur Petir

20. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.02/MEN/1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja

21. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I No. Per.04/MEN/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja

22. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.. No. Per.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

23. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih dari Paket Jaminan Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja

24. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.. No. Per.03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan

25. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. Per.04/MEN/1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat

26. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. 03/MEN/1999 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lift untuk Pengangkutan Orang dan Barang



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TRANSMIGRASI DAN KOPERASI REPUBLIK INDONESIA No : PER/01/MEN/1976 TENTANG KEWAJIBAN LATIHAN HIPERKES BAGI DOKTER PERUSAHAAN.


Menimbang :
1. Bahwa setiap tenaga kerja perlu mendapat perlindungan kesehatan keselamatan kerja sehingga melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
2. Bahwa dokter perusahaan harus dapat melakukan usaha-usaha Hygiene perusahaan kesehatan dan keselamatan kerja sesuai dengan norma-norma perlindungan dan perawatan tenaga kerja.
3. Bahwa untuk melaksanakan usaha-usaha tersebut pada angka 2 di atas, maka perlu dikeluarkan peraturan tentang kewajiban Latihan Hiperkes bagi Dokter Perusahaan.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970.
2. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972.
3. Keputusan Presiden R.I. No. 9 Tahun 1973.
4. Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974.
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. 153 dan 158 Tahun 1969.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TRANSKOP TENTANG KEWAJIBAN LATIHAN HIPERKES BAGI DOKTER-DOKTER PERUSAHAAN.


Pasal 1
Setiap perusahaan diwajibkan untuk mngirimkan setiap dokter perusahaannya untuk mendapatkan latihan dalam bidang Hygiene Perusahaan. Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Pasal 2
Yang dimaksud dengan dokter perusahaan adalah setiap dokter yang ditunjuk atau bekerja di perusahaan yang bertugas dan atau bertanggung jawab atas Hygiene Perusahaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Pasal 3
Lembaga Nasional dan Lembaga Daerah Hygiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja ditunjuk menyelenggarakan Latihan dan Lapangan Hygiene Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam Pasal 1 dengan petunjuk dan bimbingan Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi.

Pasal 4
Lembaga Nasional dan Lembaga Daerah Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja harus mendaftar dan melaporkan semua dokter perusahaan yang telah dilatih kepada Direktorat Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja.

Pasal 5
Segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan latihan hiperkes tersebut diatur lebih lanjut oleh Direktur Lembaga Nasional Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.

Pasal 6
Perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut Pasal 1 peraturan ini diancam dengan hukuman sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 7
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Juni 1976
MENTERI TENAGA KERJA, TRANSMIGRASI DAN KOPERASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUBROTO


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TRANSMIGRASI DAN KOPERASI REPUBLIK INDONESIA No : PER.01/MEN/1978 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DALAM PENEBANGAN DAN PENGANGKUTAN KAYU


Menimbang:
a. bahwa belum adanya ketentuan atau norma-norma untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang bertalian dengan penebangan dan pengangkutan kayu;
b. bahwa untuk itu sebagai pelaksaan ketentuan tersebut dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dilaksanakan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat:
1. Undang-undang No. 14 Tahun 1969, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
3. Keputusan Presiden No. 44 No. 45 tahun 1974, yo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. KEPTS. 1000-/MEN/1975.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TRANSMIGRASI DAN KOPERASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DALAM PENEBANGAN DAN PENGANGKUTAN KAYU.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud didalam Peraturan Menteri ini dengan:
(1) Penelitian hutan : ialah penenjauan pengamatan, pencatatan objek hutan yang mendahului kegiatan pembukaan maupun pengerjaan suatu hutan dan dilakukan langsung di hutan.
(2) Pemetaan hutan : ialah pembuatan peta yang dilakukan dengan pengukuran obyek hutan di darat maupun dari udara terkecuali dengan penggunaan satelit
(3) Pembuatan jalan : ialah pembuatan suatu jalan dalam hutan untuk keperluan lalu lintas, orang maupun barang, termasuk kegiatan pemetaan, persiapan dan perawatannya.
(4) Jalan : ialah suatu jalur terbuka yang menghubungkan dua tempat untuk lalu lintas orang, binatang, kendaraan termasuk landasan pesawat terbang.
(5) Pangkalan induk : ialah tempat pemukiman dan tempat kerja sebagai pangkalan untuk kegiatan menangani exploitasi hutan.
(6) Isyarat : ialah kegiatan, gerakan dan tanda untuk memberitahukan sesuatu pihak lain yang disampaikan oleh pemberi isyarat dengan cara audio atau visual.
(7) Peralatan pohon : ialah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya untuk mengangkat dan mengangkut kayu.
(8) Pemanjatan pohon : ialah memanjat pohon dalam hutan dalam rangka melakukan tugas kehutanan.
(9) Penebangan kayu : ialah menebang pohon atau pepohonan dengan alat bermesin atau tidak.
(10) Pemangkasan pohon: ialah memotong dahan, ranting, daun kulit pohon yang telah tumbang untuk menjadi kayu gelondong.
(11) Penarikan kayu : ialah menarik kayu dengan mesin, binatang, traktor maupun kabel.
(12) Peluncuran kayu : ialah meluncurkan, menggulingkan kayu, di tempat yang landai maupun datar.
(13) Pemuatan dan Pembongkaran kayu: ialah memuat atau membongkar kayu ke atau dari suatu kendaraan.
(14) Penimbunan dan penumpukan kayu : ialah menimbun atau menumpuk kayu untuk menanti pengerjaan kayu selanjutnya.
(15) Pengapungan kayu : ialah untuk mengangkut kayu secara diapungkan di air sungai telaga atau laut.
(16) Alat pelindung diri : ialah alat atau perlengkapan untuk dipakai tenaga kerja guna melindungi dirinya terhadap lingkungan kerja.


BAB II
Pasal 2
Yang diatur oleh Peratuan Menteri ini adalah keselamatan kerja dalam tempat kerja yang terdapat pada penbangan dan pengangkutan kayu di wilayah hutan.


BAB III NORMA-NORMA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA PENEBANGAN DAN PENGANGKUTAN KAYU.
Pasal 3
Norma-norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada penjelasan hutan (timber cruising) adalah:
1. Adanya pemeriksaan kesehatan terhadap tenaga kerja sebelum melaksanakan penjelajahan hutan yang dilakukan oleh Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur.
2. Perlu adanya perlengkapan-perlengkapan (kompas, peta dengan ukuran skala sekurang-kurangnya 1:50.000, parang, peluit, kelambu dan tenda);
3. Penentuan lokasi kemah mengikuti pedoman:
a. dekat sungai yang mengalir;
b. jauh dari pohon mati;
c. daerah yang kering dan cukup mendapat sinar matahari;
d. dapur harus terpisah dengan kemah atau tempat tidur.
4. Adanya usaha-usaha sebagai berikut:
a. terpisahnya penjelajah dari regunya;
b. penggunaan tanda atau peluit apabila penjelajah terpisah dari regunya. c. berkemah sebelum malam hari;
d. terhindarnya dari medan yang curam;
e. pemakaian alat-alat pelindung diri bagi setiap anggota pada waktu bekerja.
5. Adanya laporan keinduk pangkalan (base camp) bila salah seorang anggota penjelajah hutan tersebut tersesat, yang dilakukan oleh kepala regu atau wakilnya sehingga dapat diambil langkah-langkah pencarian secepat mungkin.
6. adanya komunikasi antara induk pangkalan (base camp) dengan regu penjelajah apabila terjadi sesuatu hal (kecelakaan) untuk secepatnya mendapatkan pertolongan.

Pasal 4
Norma-norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada penebangan kayu:
1. Sebelum menebang sebuah pohon, pekerja harus memeriksa dengan teliti untuk menetukan dari bagian manakah pemotongan harus dilakukan dari sisi yang aman;
2. Waspada terhadap kulit kayu yang terlepas ataupun dahan-dahan kayu yang lapuk dan dapat menimpa orang, batang-batang, potongan-potongan kayu ataupun rintangan- rintangan lainnya yang dapat melenting atau terlempar dari pangkal pohon yang ditebang;
3. Pembersihan reruntuhan yang ada disekitar pangkal pohon yang mungkin dapat mengganggu keselamatan;
4. Pemilihan dan pembuatan jalan yang aman untuk menyelamatkan diri;
5. Permintaan nasehat pada pimpinan kerja apabila penebang belum yakin akan keselamatannya pada waktu penebangan kayu atau pemotongan yang berbahaya;
6. Tidak seorangpun boleh berdiri langsung sejajar dengan ujung batang pohon yang ditebang;
7. Potongan bawah (mata) dilakukan dengan satu taktikan yang aman, dalam dan tingginya kira-kira 1/3 garis menengah, sedangkan ganjal dibiarakan pada pohon yang akan ditumbangkan kearah tertentu;
8. Potongan belakang (balas) dilakukan kemudian kira-kira 1/3 inchi diatas potongan mata dan harus dijaga agar membentuk satu sudut yang baik. Penahanan kayu harus dilakukan secara berhati-hati sehingga kayu hanya jatuh kearah yang dikehendaki;
9. Pencegahan adanya kayu yang mencuat dengan pemotongan balok extra yang cukup miring dengan sudut keatas;
10. Pemasangan ganjal atau biji hanya diperlukan apabila ada bahaya kayu akan kearah belakang;
11. Pemotongan kayu sejauh mungkin dilakukan didaerah terbuka;
12. Kewaspadaan terhadap lentingan balik dari dahan-dahan dan ujung kayu sewaktu menumbangkan pohon;
13. Kewaspadaan terhadap kulit kayu atau dahan kayu yang dapat jatuh pada waktu mengganjal atau memasang baji pohon;
14. Pemukulan ganjal atau baji hanya boleh dlakukan dengan martil;
15. Penghentian motor (mesin) dan pemberian peringatan kepada orang-orang yang berada disekitar daerah dimana kayu akan ditumbangkan sebelum penyelesaian akhir potongan belakang;
16. Penghindaran kemungkinan gergaji saling berbenturan dilakukan dengan cara bekerja tidak terlalu dekat satu dengan lainnya;
17. Penebangan pohon tidak boleh dilakukan apabila angin bertiup yang dapat merubah arah penebangan yang dikehendaki;
18. Larangan berhenti di daerah pada jarak 6 meter dari pangkal pohon yang ditebang pada waktu menghindarkan diri;
19. Pemindahan gergaji mesin dari pohon yang satu ke pohon yang lain atau dari pemotongan yang satu kepomotongan yang lain harus dilakukan dalam keadaan mesin berhenti;
20. Penggunaan gergaji mesin dilakukan dengan kedudukan kaki yang kuat;
21. Cara turun dari batang pohon tidak boleh dilakukan dengan cara meloncat untuk menghindarkan terjadinya kecelakaan.

Pasal 5
Norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja pada penyeretan dengan traktor (yarding):
1. Operator traktor harus mengikuti pedoman sebagai berikut:
1.1 Pemeriksaan terhadap olie, bahan bakar, air, baut-bautan dan peralatan lain sebelum mengoperasikan traktor;
1.2 Berusaha jangan sampai ada orang lain menjalankan traktor dimaksud selama waktu bekerja;
1.3 Tidak diperbolehkan mengangkut penumpang sewaktu mengoperasikan traktor;
1.4 Diperhatikannya keadaan sekelilingnya (medan kerja, terutama terhadap pembantunya/chokerman selama mengoperasikan traktor;
1.5 Pemakaian alat-alat pelindung diri selama bekerja (sarung tangan, topi pengaman, kaca mata pengaman);
1.6 Berada dalam jarak yang aman dari daerah penebangan;
1.7 Penarikan di daerah berbukit harus dilakukan dengan cermat;
1.8 Pisau traktor (bulldozer) harus selalu diletakkan dalam kedudukan yang terendah sewaktu berhenti beroperasi;
1.9 Sewaktu mengisi bahan bahan dilarang menyalakan api (merokok);
1.10 Segera dilaporkan setiap kali ada gangguan atau gejala gangguan mesin kepada pimpinan kerja/mekanik yang bertugas;

2 Pembantu (chokerman) harus mengikuti pedoman-pedoman sebagai berikut:
2.1 Pemakaian alat-alat pelindung diri selama bekerja (sarung tangan, topi pengaman dan lain-lain);
2.2 Berada dalam jarak yang aman (sselalu dibelakang samping kayu yang sedang ditarik;
2.3 Diperhatikannya keadaan sekelilingnya (terutama terhadap pohon- pohon/ranting-ranting yang lapuk/mati;
2.4 Pemasangan tali pengikat (sling) dilakukan dengan sempurna (mengikat secara kuat-kuat).

Pasal 6
Norma-norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada pemuatan kayu dengan loader:
1. Pemeriksaan kabel, pipa-pipa angin dan peralatan lain sebelum beroperasi;
2. Waspada terhadap keadaan sekitarnya terutama terhadap karyawan-karyawan lain dengan cara membunyikan/memberikan tanda-tanda (isyarat).
3. Tidak diperkenankan mengangkut (mengayun) kayu melewati pekerja.
4. Peletakan kayu diatas truk harus selalu tepat dan jangan sampai melewati kabin truk;
5. Segera dilaporkan setiap ada gangguan atau gejala gangguan mesin pada pimpinan kerja/mekanik.

Pasal 7
Norma-norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada pengangkutan kayu dengan truk:
1. Pengemudi truk harus mengikuti pedoman-pedoman sebagai berikut:
1.1 Pemakaian alat pelindung diri untuk keselamatan kerja;
1.2 Pemeriksaan olie, bahan bakar, air, rem, ban, dan peralatan lainnya sebelum mengoperasikan truk;
1.3 Pemeriksaan keadaan kabel pengikat (sling) sebelum dipergunakan;
1.4 Pengikatan kayu harus dilakukan dengan sempurna;
1.5 Kecepatan jangan melampaui daya muat truk dengan mengingat keadaan jalan dan jembatan yang akan dilalui;
1.6 Kecepatan tidal boleh melampaui batas yang telah ditetapkan dan selalu memperhatikan rambu-rambu jalan;
1.7 Setiap 20 km perjalanan diadakan pemeriksaan terhadap tali-tali pengikat kayu;
1.8 Tidak dibenarkan menbawa penumpang lain selama membawa muatan;
1.9 Segera dilaporkan setiap ada gangguan atau gejala-gejala gangguan mesin kepada pimpinan kerja/mekanik;
1.10 Berusaha jangan sampai ada orang lain menjalankan truk dimaksud selama waktu bekerja;
1.11 Dilarang berada dalam kabin dan berada di depan truk sewaktu pemuatan dilakukan;
1.12 Mengusahakan agar tidak seorangpun boleh berada di depan truk sewaktu pemuatan-pemuatan dilakukan.

Pasal 8
Norma-norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada pengangkutan kayu dengan lori/loko. Masinis harus mengikuti pedoman-pedoman sbagai berikut:
1. Pemakaian alat-alat pelindung diri;
2. Pemeriksaan peralatan dan perlengkapan (bahan bakar, olie, rem dan peralatan lainnya) sebelum mengoperasikan loko beserta rangkaiannya;
3. Beban yang ditarik lakomotif tidak boleh melampaui batas beban keadaan jalan rel yang telah ditetapkan oleh Pengusaha Pengurus;
4. Tidak melampaui batas kecepatan yang telah ditetapkan dan memprhatikan rambu- rambu serta keadaan rel dan bantalan;
5. Tidak diperbolehkan mengangkut penumpang sewaktu mengoperasikan loko;
6. Segera dilaporkan setiap ada gejala-gejala gangguan dan gangguan mesain kepada pimpinan kerja;
7. Kecuali masinis yang bertugas tidak dibenarkan orang lain menjalankan loko.

Pasal 9
Norma-norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada waktu pemuatan kayu ke kapal:
1. Pemakian alat-alat pelindung diri (sarung tangan, topi, pelampung);
2. Diperhatikannya keadaan sekelilingnya pada waktu melepaskan rakit-rakit;
3. Pemasangan tali pengikat dilakukan dengan sempurna;
4. Memperhatikan kode/tanda-tanda yang dipakai dalam waktu pemuatan;
5. Tidak dibenarkan melakukan pemuatan pada waktu ada hujan deras dan angin ribut;
6. Kapal penarik/tug boat harus selalu dipersiapkan selama berlangsungnya pemuatan untuk memberi pertolongan kepada karyawan yang mendapat kecelakaan.

Pasal 10
Disamping norma-norma yang harus diperhatikan seperti diatas maka setiap unit kerja pada penebangan dan pengangkutan kayu harus diperhatikan pula:
1. Pada pekerjaan pengankutan barang dari bawah sikap tubuh harus tegak dengan lutut berada dalam keadaan menekuk dan pekerjaan mengangkat dilakukan dengan kekuatan tumpahan pada kaki bukan pada punggung;
2. Tersedianya peralatan dan obat-obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan termasuk untuk pencegahan:
a. Lintah/pacet, serangga, ular;
b. Malaria;
c. Sakit perut;
d. Keracunan terhadap pestisida.
3. Tersedianya penerangan lampu yang cukup, apabila pekerjaan dilakukan pada waktu malam hari.


BAB IV KEWAJIBAN PENGUSAHA/PENGURUS PADA PENEBANGAN DAN PENGANGKUTAN KAYU.
Pasal 11
Selain kewajiban yang telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun1970. Pengusaha/Pengurus dalam Peraturan Menteri ini berkewajiban pula:
1. Menerapkan norma-norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Seperti tersebut di atas Bab II Peraturan Menteri ini.

2. Harus memperhatikan tentang:
2.1 kondisi- kondisi dan bahaya yang mungkin timbul dalam tempat kerja dan mengusahakan pencegahannya;
2.2 penyediaan dan penggunaan alat-alat pelindung diri dalam tempat kerja dan alat- alat pengaman termasuk alat penyelamat diri.
3. Menyediakan tempat pemukiman sementara buruh dan sekitarnya yang harus selalu dipelihara dalam keadaan baik dan bersih.


BAB V PELAKSANAAN UMUM
Pasal 12
Untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan Menteri ini Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja dapat melakukan kerja sama dengan Direktur Jenderal Kehutanan.

Pasal 13
Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja dalam hal ini Lembaga Nasional Perusahaan dan Kesehatan Kerja beserta Lembaga-lembaga Daerah melakukan pengujian Laboratorium pengembangan keahlian dan penerapan yang bersangkutan dengan Norma-norma sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 14
Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat memberikan petunjuk- petunjuk dalam hal kemungkinan timbulnya bahaya-bahaya akibat belum adanya norma- norma seperti ayng telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 15
Kepala kantor wilayah setempat melakukan koordinasi pelaksanaan Peraturan Menteri ini di daerah.


BAB VI SANKSI DAN KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Setiap orang yang bersangkutan meupun tidak bersangkutan dengan pekerjaan ditempat kerja ini, yang tidak melaksanakan peraturan menteri ini diancam dengan hukuman sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1970.

Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 07 Februari 1978
MENTERI
TENAGA KERJA, TRANSMIGRASI DAN KOPERASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUBROTO


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TRANSMIGRASI DAN KOPERASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.03/MEN/1978 TENTANG PERSYARATAN PENUNJUKAN DAN WEWENANG SERTA KEWAJIBAN PEGAWAI PENGAWAS KESELAMATAN KERJA DAN AHLI KESELAMATAN KERJA.


Menimbang :
bahwa wewenang dan kewajiban pegawai pengawas dan Ahli Keselamatan Kerja sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 perlu dikeluarkan peraturan
pelaksanaannya.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 3 tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan (Lembaran Negara No. 4 tahun 1951).
2. Pasal 1 ayat (4), (5), (6) dan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kera (Lembaran Negara No. 1 tahun 1970).
3. Surat Keputusan Presiden R.I No. 5 tahun 1973 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan II.
4. Keputusan Presiden R.I. No. 44 dan 45 tahun 1974 No. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi R.I. No. Kep.-1000/Men/1977 tanggal 30 Juli 1977 tentang Penunjukan Direktur dimaksud dalam Undang- undang No. 1 tahun 1970;
5. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi R.I. No. 79/MEN/1977 tanggal 30 Juli 1977 tentang Penunjukan Direktur dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TRANSMI- GRASI DAN KOPERASI TENTANG PERSYARATAN PE- NUNJUKAN WEWENANG DAN KEWAJIBAN PEGAWAI PENGAWAS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DAN AHLI KESELAMATAN KERJA.


Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
(1) Direktur adalah direktur sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi R.I. No. 79/MEN/1977 tanggal 30 juli 1977;
(2) Pegawai Pengawas adalah pegawai pengawas sebagaimana telah ditetapkan pada Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Keselamatan Kerja No. 1 Tahun 1970;
(3) Ahli Keselamatan Kerja adalah seorang ahli sebagaimana telah ditetapkan pada Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Keselamatan Kerja No. 1 Tahun 1970.

Pasal 2
Pegawai Pengawas Keselamatandan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) dalam Peraturan ini ditunjuk oleh Menteri atas usul Direktur Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja.

Pasal 3
(1) Untuk dapat ditunjuk sebagai Pengawas Keselamatan Kerja harus memenuhi syarat- syarat:
a. Pegawai Negeri Departemen Tenaga Kerja Transkop. b. Mempunyai keahlian khusus.
c. Telah mengikuti pendidikan calon pegawai pengawas yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja Transkop.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai ahli keselamatan kerja harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Mempunyai keahlian khusus.
b. Telah mengikuti pendidikan oleh Departemen Tenaga Kerja Transkop.
c. Mengetahui ketentuan-ketentuan peraturan perUndang-undangan perubahan pada umumnya serta bidang keselamatan dan kesehatan kerja pada khususnya.

Pasal 4
(1) Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja berwenang untuk:
a. memasuki semua tempat kerja.
b. Meminta keterangan baik tertulis maupun lisan kepada pengusaha, pengurus dan tenaga kerja mengenai syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Memerintahkan agar Pengusaha, pengurus dan tenaga kerja melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja.
d. Mengawasi langsung terhadap ditaatinya Undang-undang Keselamatan Kerja beserta peraturan pelaksanaanya termasuk:
1. Keadaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, alat-alat serta peralatan lainnya, bahan-bahan dan sebagainya;
2. Lingkungan;
3. Sifat pekerjaan;
4. Cara kerja;
5. Proses produksi;
e. Memerintahkan kepada pengusaha/pengurus untuk memperbaiki, merubah dan atau mengganti bilamana terdapat kekurangan, kesalahan dalam melaksanakan persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja.
f. Melarang penggunaan pesawat-pesawat, alat-alat maupun proses produksi yang membahayakan.
g. sesuai dengan Pasal 8 Undang-undang No. 3 Tahun 1951 Pegawai Pengawas Keselamatn dan Kesehatan Kerja berwenang pula untuk melakukan pengusutan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan peraturan PerUndang-undangan Kese- lamatan Kerja.
(2) Pegawai Pengawas berkewajiban:
a. Mengadakan pemeriksaan disemua tempat kerja;
b. Menelaah dan meneliti segala perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja;
c. Memberikan petunjuk dan penerangan kepada pengusaha, pengurus dan tenaga kerja atas segala persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja;
d. Memberikan laporan kepada Direktur mengenai hasil segala kegiatan yang diwajibkan tersebut diatas menurut garis hirarchi Departemen Tenaga Kerja Transkop;
e. Merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan yang dapat berhubungan dengan jabatannya.

Pasal 5
(1) Ahli Keselamatan Kerja berwenang untuk:
a. Memasuki tempat kerja yang ditentukan dalam surat pengangkatannya dan tempat kerja lain yang diminta oleh Direktur;
b. Meminta keterangan baik tertulis maupun lisan kepada pengusaha, pengurus dan tenaga kerja yang bersangkutan mengenai syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja;
c. Memerintahkan agar Pengusaha, pengurus dan tenaga kerja melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang bersangkutan;
d. Mengawasi langsung terhadap ditaatinya Undang-undang Keselamatan Kerja beserta peraturan pelaksanaanya termasuk:
1. Keadaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, alat-alat serta peralatan lainnya, bahan-bahan dan sebagainya;
2. Lingkungan;
3. Sifat pekerjaan;
4. Cara kerja;
5. Proses produksi.
e. Memerintahkan kepada pengusaha/pengurus untuk memperbaiki, merubah dan atau mengganti bilamana terdapat kekurangan, kesalahan dalam melaksanakan persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja;
f. Melarang penggunaan pesawat-pesawat, alat-alat maupun proses produksi yang membahayakan.
(2) Ahli Keselamatan Kerja berkewajiban:
a. Mengadakan pemeriksaan di tempat kerja yang ditentukan dalam surat pengangkatannya dan tempat kerja lain yang diminta oleh Direktur;
b. Menelaah dan meneliti segala perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja yang bersangkutan;
c. Memberikan laporan kepada Direktur mengenai hasil segala kegiatan yang diwajibkan tersebut diatas menurut garis hirarchi Departemen Tenaga Kerja Transkop;
d. Memberikan petunjuk dan penerangan kepada pengusaha, pengurus dan tenaga kerja atas segala persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja;
e. Merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan yang didapat berhubung dengan jabatannya.

Pasal 6
(1) Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja yang dengan sengaja membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) sub e dan Pasal 5 ayat (2) sub e dalam Peraturan ini dihukum sesuai Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan.
(2) Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja karena kehilapannya menyebabkan rahasia tersebut menjadi terbuka dihukum sesuai Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan.

Pasal 7
(1) Sebelum diadakan penunjukkan kembali berdasarkan Peraturan Menteri ini. Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja yang telah ada tetap melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.
(2) Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bahwa semua persatuan perUndang-undangan yang telah ada tetap berkalu sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Maret 1978
MENTERI TENAGA KERJA, TRANSMIGRASI DAN KOPERASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUBROTO


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No: PER.01/MEN/1979 TENTANG KEWAJIBAN LATIHAN HYGIENE PERUSAHAAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA BAGI TENAGA PARA MEDIS PERUSAHAAN.


Menimbang :
1. Bahwa pelaksanaan perlindungan dan perawatan tenaga kerja terhadap kesehatan dan keselamatan ditempat kerja perlu dijamin penyelenggaraannya sehingga betul-betul dapat dinikmati oleh para tenaga kerja;
2. Bahwa tenaga kerja Para Medis hygiene perusahaan-perusahaan dan keselamatan kerja harus dapat melaksanakan usaha penyelenggaraan hygiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja diperusahaan atau tempat kerja masing-masing;
3. Bahwa untuk dapat melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan ter- sebut tenaga Para Medis hygiene perusahaan dan keselamatan kerja harus mendapatkan latihan dalam bidang hygiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja;
4. Bahwa untuk melaksanakan usaha-usaha tersebut pada angka 3, maka perlu dikeluarkan peraturan tentang Kewajiban Latihan Hygiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi tenaga Para Medis Perusahaan.

Mengingat :
1. Undang-undang No.14 Tahun 1969;
2. Pasal 9 ayat 3 Undang-undang No.1 Tahun 1970;
3. Keputusan Presiden R.I No 44 dan 45 Tahun 1975.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Transkop No. Per/01/Men 76;
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.71/Men 78

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi TENTANG KEWAJIBAN LATIHAN HYGIENE PERUSAHAAN, KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA BAGI TENAGA PARA MEDIS PERUSAHAAN.


Pasal 1
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga Para Medis diwajibkan untuk mengirimkan setiap tenaga tersebut untuk mendapatkan latihan dalam bidang Hygiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja.


Pasal 2
Yang dimaksud tenaga Para Medis ialah tenaga Para Medis yang ditunjuk atau ditugaskan untuk melaksanakan atau membantu penyelenggaraan tugas-tugas Hygiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselarnatan Kerja diperusahaan atas petunjuk dan bimbingan dokter perusahaan.

Pasal 3
Pusat dan Balai Bina Hygiene Perusahaan dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja ditunjuk untuk menyelenggarakan latihan dalam lapangan hygiene perusahaan kesehatan dan keselamatan kerja dalam Pasal 1 serta melaporkan tugas-tugas tersebut kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja.

Pasal 4
(1) Setiap tenaga Para Medis yang telah dapat menyelenggarakan latihan akan mendapatkan sertifikat.
(2) Dengan sertifikat tersebut tenaga kerja medis yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat untuk menyelenggarakan pelayanan hygiene perusahaan dan kesehatan kerja sesuai dengan fungsinya.

Pasal 5
Segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan Latihan Hygiene Perusahaan, Kesehatan Kerja tersebut akan ditentukan oleh Kepala Pusat Bina Hygiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Pasal 6
Perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut pada Pasal 1 dari peraturan ini diancam dengan hukuman sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 7
Pegawai Pengawas Kesehatan Kerja akan melakukan pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 1.

Pasal 8
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Februari 1979
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HARUN ZAIN


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. PER.01/MEN/1980 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KONSTRUKSI BANGUNAN


Menimbang :
a. bahwa kenyataan menunjukan banyak terjadi kecelakaan, akibat belum ditanganinya pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja secara mantap dan menyeluruh pada pekerjaan konstruksi bangunan, sehingga karenanya perlu diadakan upaya untuk membina norma perlindungan kerjanya;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya pembangunan dengan penggunaan teknologi modern, harus diimbangi pula dengan upaya keselamatan tenaga kerja atau orang lain yang berada di tempat kerja.
c. bahwa sebagai pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan kerja, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan- ketentuan yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan kerja pada pekerjaan Konstruksi Bangunan.

Mengingat :
1. Pasal 10 (a) Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang ketentuan- ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja.
2. Pasal 2 (2c) dan Pasal 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KONSTRUKSI BANGUNAN.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Konstruksi Bangunan ialah kegiatan yang berhubungan dengan seluruh tahapan yang dilakukan di tempat kerja.
b. Tempat Kerja ialah tempat sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, k, l, Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
c. Direktur ialah Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. Kep. 79/MEN/1977.
d. Pengurus ialah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan pada konstruksi bangunan secara aman.
e. Perancah (Scaffold) ialah bangunan peralatan (platform) yang dibuat untuk sementara dan digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan-bahan serta alat-alat pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan termasuk pekerjaan pemeliharaan dan pembongkaran.
f. Gelagar (putlog or bearer) ialah bagian dari perancah untuk tempat meletakan papan peralatan.
g. Palang penguat, (brace) ialah bagian dari perancah untuk memperkuat dua titik konstruksi yang berlainan guna mencegah pergeseran konstruksi bangunan perancah tersebut.
h. Perancah tangga (ladder scaffold) ialah suatu perancah yang mengunakan tangga sebagai tiang untuk penyangga peralatannya.
i. Perancah kursi gantung (beatswain’s chair) ialah suatu perancah yang berbentuk tempat duduk yang digantung dengan kabel atau tambang.
j. Perancah dongkrak tangga (ladder jack scaffold) ialah suatu perancah yang perala- tannya mempergunakan dongkrak untuk menaikan dan menurunkannya dan dipasang pada tangga.
k. Perancah topang jendela (window jack scaffold) ialah suatu perancah yang pelata- rannya dipasang pada balok tumpu yang ditempatkan menjulur dari jendela terbuka.
l. Perancah kuda-kuda (trestle scaffold) ialah suatu perancah yang disangga oleh kuda-kuda.

Pasal 2
Setiap pekerjaan konstruksj bangunan yang akan dilakukan wajib dilaporkan kepada Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 3
(1) Pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan harus diusahakan pencegahan atau dikurangi terjadinya kecelakaan atau sakit akibat kerja terhadap tenaga kerjanya.
(2) Sewaktu pekerjaan dimulai harus segera disusun suatu unit keselamatan dan kesehatan kerja, hal tersebut harus diberitahukan kepada setiap tenaga kerja.
(3) Unit keselamatan dan kesehatan kerja tersebut ayat (2) Pasal ini meliputi usaha-usaha pencegahan terhadap: kecelakaan, kebakaran, peledakan, penyakit akibat kerja, pertolongan pertama pada kecelakaan dan usaha-usaha penyelamatan.

Pasal 4
Setiap terjadi kecelakaan kerja atau kejadian yang berbahaya harus dilaporkan kepadaDirektur atau Pejabat yang ditunjuknya.


BAB II TENTANG TEMPAT KERJA DAN ALAT-ALAT KERJA Pasal 5
(1) Disetiap tempat kerja harus dilengkapi dengan sarana untuk keperluan keluar masuk dengan aman.
(2) Tempat-tempat kerja, tangga-tangga, lorong-lorong dan gang-gang tempat orang bekerja atau sering dilalui, harus dilengkapi dengan penerangan yang cukup sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Semua tempat kerja harus mempunyai ventilasi yang cukup sehingga dapat mengurangi bahaya debu, uap dan bahaya lainnya.

Pasal 6
Kebersihan dan kerapihan di tempat kerja harus dijaga sehingga bahan-bahan yang berserakan, bahan-bahan bangunan, peralatan dan alat-alat kerja tidak merintangi atau menimbulkan kecelakaan.

Pasal 7
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin bahwa peralatan perancah, alat- alat kerja, bahan-bahan dan benda-benda lainnya tidak dilemparkan, diluncurkan atau dijatuhkan ke bawah dari tempat yang tinggi sehingga dapat menyebabkan kecelakaan.

Pasal 8
Semua peralatan sisi-sisi lantai yang terbuka, lubang-lubang di lantai yang terbuka, atap-atap atau panggung yang dapat dimasuki, sisi-sisi tangga yang terbuka, semua galian-galian dan lubang-lubang yang dianggap berbahaya harus diberi pagar atau tutup pengaman yang kuat.

Pasal 9
Kebisingan dan getaran di tempat kerja tidak boleh melebihi ketentuan Nilai Ambang Batas (NAB) yang berlaku.

Pasal 10
Orang yang tidak berkepentingan, dilarang memasuki tempat kerja.

Pasal 11
Tindakan harus dilakukan untuk mencegah bahaya terhadap orang yang disebabkan oleh runtuhnya bagian yang lemah dari bangunan darurat atau bangunan yang tidak stabil.


BAB III TENTANG PERANCAH
Pasal 12
Perancah yang sesuai dan aman harus disediakan untuk semua pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dengan aman oleh seseorang yang berdiri di atas konstruksi yang kuat dan permanen, kecuali apabila pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan aman dengan mempergunakan tangga.

Pasal 13
(1) Perancah harus diberi lantai papan yang kuat dan rapat sehingga dapat menahan dengan aman tenaga kerja, peralatan dan bahan yang dipergunakan.
(2) Lantai perancah harus diberi pagar pengaman, apabila tingginya lebih dari 2 meter.

Pasal 14
Jalan-jalan sempit, jalan-jalan dan jalan-jalan landasan (runway) harus dari bahan dan konstruksi yang kuat, tidak rusak dan aman untuk tujuan pemakaiannya.

Pasal 15
(1) Perancah tiang kayu yang terdiri dari sejumlah tiang kayu dan bagian atasnya dipasang gelagar sebagai tempat untuk meletakan papan-papan perancah harus diberi palang pada semua sisinya.
(2) Untuk perancah tiang kayu harus digunakan kayu lurus yang baik.

Pasal 16
(1) Perancah gantung harus terdiri dari angker pengaman, kabel-kabel baja penggan-tung yang kuat dan sangkar gantung dengan lantai papan yang dilengkapi pagar pengaman.
(2) Keamanan perancah gantung harus diuji tiap hari sebelum digunakan.
(3) Perancah gantung yang digerakan dengan mesin harus mengunakan kabel baja.

Pasal 17
Perancah tupang sudut (outrigger cantilever) atau perancah tupang siku (jib scaffold), hanya boleh digunakan oleh tukanng kayu, tukang cat, tukang listrik, dan tukang-tukang lainnya yang sejenis, dan dilarang menggunakan panggung perancah tersebut untuk keperluan menempatkan sejumlah bahan-bahan.

Pasal 18
(1) Tangga yang digunakan sebagai kaki perancah harus dengan konstruksi yang kuat dan dengan letak yang sempurna. Perancah tangga hanya boleh digunakan untuk pekerjaan ringan.
(2) Dilarang menggunakan perancah jenis dongkrak tangga (ledder jack) untuk peker- jaan pada permukaan yang tinggi.
(3) Perancah kuda-kuda hanya boleh digunakan sewaktu bekerja pada permukaan rendah dan jangka waktu pendek.
(4) Perancah siku dengan penunjang (bracket scaffold) harus dijangkarkan ke dalam dinding dan diperhitungkan untuk dapat menahan muatan maksimum pada sisi luar dari lantai peralatan.
(5) Perancah persegi (square scaffold) harus dibuat secara teliti untuk menjamin kestabilan perancah tersebut.

Pasal 19
Perancah tupang jendela hanya boleh digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan ringan dengan jangka waktu pendek dan hanya untuk melalui jendela terbuka dimana perancah jenis tersebut ditempatkan.

Pasal 20
Tindakan pencegahan harus dilakukan agar dapat dihindarkan pembebanan lebih terhadap lantai perancah yang digunakan untuk truck membuang sampah.

Pasal 21
Perancah pada pipa logam harus terdiri dari kaki, gelagar palang dan pipa penghubung dengan ikatan yang kuat, dan pemasangan pipa-pipa tersebut harus kuat dan dilindungi terhadap karat dan cacat-cacat lainnya.

Pasal 22
Perancah beroda yang dapat dipindah-pindahkan (mobile scaffold) harus dibuat sede- mikian rupa sehingga perancah tidak memutar waktu dipakai.

Pasal 23
Perancah kursi gantung dan alat-alat sejenisnya hanya digunakan sebagai perancah dalam hal pengecualian yaitu apabila pekerjaan tidak dapat dilakukan secara aman dengan menggunakan alat-alat lainnya.

Pasal 24
Truck dengan perancah bak (serial basket trucks) harus dibuat dan digunakan sedemikian rupa sehingga tetap stabil dalam semua kedudukan dan semua gerakan.


BAB IV TENTANG TANGGA DAN TANGGA RUMAH Pasal 25
(1) Tangga harus terdiri dari 2 kaki tangga dan sejumlah anak tangga yang dipasang pada kedua kaki tangga dengan kuat.
(2) Tangga harus dibuat, dipelihara dan digunakan sebaik-baiknya sehingga dapat menjamin keselamatan tenaga kerja.

Pasal 26
(1) Tangga yang dapat dipindah-pindahkan (portable stepledders) dan tangga kuda-kuda yang dapat dipindah-pindahkan, panjangnya tidak boleh lebih dari 6 meter dan pengembangan antara kaki depan dan kaki belakang harus diperkuat dengan pengaman.
(2) Tangga bersambung dan tangga mekanik, panjangnya tidak boleh lebih dari 15 meter. (3) Tangga tetap harus terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca dan kondisi lainnya, yang panjangnya tidak boleh lebih dari 9 meter.

Pasal 27
Tangga rumah harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menahan dengan aman beban yang harus dibawa melalui tangga tersebut, dan harus cukup lebar untuk pema-kaiannya secara aman.


BAB V TENTANG ALAT-ALAT ANGKAT
Pasal 28
Alat-alat angkat harus direncanakan dipasang, dilayani dan dipelihara sedemikian rupa sehingga terjamin keselamatan dalam pemakaiannya.

Pasal 29
Poros penggerak, mesin-mesin, kabel-kabel baja dan pelataran dari semua alat-alat angkat harus direncanakan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kecelakaan karena terjepit, muatan lebih kerusakan mesin atau putusnya kabel baja pengangkat.

Pasal 30
(1) Setiap kran angkat harus dibuat dan dipelihara sedemikian rupa sehingga setelah diperhitungkan besarnya, pengaruhnya, kondisinya, ragamnya muatan dan kekuatan, perimbangan dari setiap bagian peralatan bantu yang terpasang, maka tegangan maksimum yang terjadi harus lebih kecil dari tegangan maksimum yang diijinkan dan harus ada keseimbangan sehingga dapat berfungsi tanpa melalui batas-batas pemuaian, pelenturan, getaran, puntiran dan tanpa terjadi kerusakan sebelum batas waktunya.
(2) Setiap kran angkat yang tidak direncanakan untuk mengangkut muatan kerja maksimum yang diijinkan pada semua posisi yang dapat dicapai, harus mempunyai petunjuk radius muatan dan petunjuk tersebut harus dipelihara agar selalu bekerja dengan baik.
(3) Derek (Derricks) harus direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga ter- jamin kestabilannya waktu bekerja.
(4) Kaki rangka yang berbentuk segitiga harus dari bahan yang memenuhi syarat dan dibangun sedemikian rupa sehinga terjamin keamanannya waktu menggangkat beban maksimum.

Pasal 31
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk melarang orang memasuki daerah lintas keran jalan (travelling crane) untuk menghindarkan kecelakaan karena terhimpit.

Pasal 32
Pesawat-pesawat angkat monoril harus dilengkapi sakelar pembatas untuk menjamin agar perjalanan naik dan peralatan angkat (lifting device) harus berhenti dijarak yang aman pada posisi atas.

Pasal 33
Tiang derek (gin pales) harus dari bahan yang kuat dan harus dijangkarkan dan diperkuat dengan kabel.

Pasal 34
Semua bagian-bagian dari kerekan (winches) harus direncanakan dan dibuat dapat menahan tekanan beban maksimum dengan aman dan tidak merusak kabel atau tambang.

Pasal 35
(1) Penggunaan dongkrak harus pada posisi yang aman sehingga tidak memutar atau pindah tempat.
(2) Dongkrak harus dilengkapi dengan peralatan yang effektif untuk mencegah agar tidak melebihi posisi maksimum (over travel).


BAB VI TENTANG KABEL BAJA, TAMBANG, RANTAI DAN PERALATAN BANTU
Pasal 36
(1) Semua tambang, rantai dan peralatan bantunya yang digunakan untuk mengang-kat, menurunkan atau menggantungkan harus terbuat dari bahan yang baik dan kuat dan harus diperiksa dan diuji secara berkala untuk menjamin bahwa tambang, rantai dan peralatan bantu tersebut kuat untuk menahan beban maksimum yang diijinkan dengan faktor keamanan yang mencukupi.
(2) Kabel baja harus digunakan dan dirawat sedemikian rupa sehingga tidak cacat karena membelit, berkarat, kawat putus dan cacat lainnya.

Pasal 37
Bantalan yang sesuai harus digunakan untuk mencegah agar tambang tidak menyentuh permukaan, pinggir atau sudut yang tajam atau sentuhan lainnya yang dapat mengaki- batkan rusaknya tambang tersebut.

Pasal 38
(1) Rantai-rantai harus dibersihkan dan harus dilakukan pemeriksaan berkala, untuk mengetahui adanya cacat, retak, rengat atau cacat-cacat lainnya.
(2) rantai-rantai yang cacat dilarang untuk dipergunakan.

Pasal 39
(1) Beban maksimum yang diijinkan harus dikurangi apabila (sling) digunakan pada bermacam-macam sudut.
(2) Pengurangan tersebut ayat (1) di atas harus dihitung kekuatannya dan beban maksimum yang diijinkan yang telah dihitung tersebut harus diketahui betul oleh tenaga kerja.

Pasal 40
Blok ckara (putty block) harus direncanakan dibuat dan dipelihara dengan baik sehingga tegangannya sekecil mungkin dan tidak merusak kabel atau tambang.

Pasal 41
Kaitan (hooks) dan Pengunci (scackles) harus dibuat sedemikian rupa sehingga beban tidak lepas.


BAB VII TENTANG MESIN-MESIN
Pasal 42
(1) Mesin-mesin yang digunakan harus dipasang dan dilengkapi dengan alat penga-man untuk menjamin keselamatan kerja.
(2) Alat-alat pengaman tersebut ayat (1) di atas harus terpasang sewaktu mesin dijalankan.

Pasal 43
(1) Mesin harus dihentikan untuk pemeriksaan dan perbaikan pada tenggang waktu yang sesuai dengan petunjuk pabriknya.
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghindarkan terjadinya kecela-kaan karena mesin bergerak secara tiba-tiba.

Pasal 44
Operator mesin harus terlatih untuk pekerjaannya dan harus mengetahui peraturan keselamatan kerja untuk mesin tersebut.


BAB VII TENTANG PERALATAN KONSTRUKSI BANGUNAN Pasal 45
(1) Alat-alat penggalian tanah yang digunakan harus dipelihara dengan baik sehingga terjamin keselamatan dan kesehatan dalam pemakaiannya.
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin kestabilan mesin penggali tanah (power shevel) dan harus diusahakan agar orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk ketempat kerja yang terdapat bahaya kejatuhan benda.

Pasal 46
Sebelum meninggalkan bulldpzer atau scraper, operator harus melakukan tindakan pen- cegahan yang perlu untuk menjamin agar mesin-mesin tersebut tidak bergerak.

Pasal 47
Perlengkapan instansi pengolahan aspal harus direncanakan, dibuat dan dilengkapi dengan alat-alat pengaman dan dijalankan serta dipelihara dengan baik untuk menjamin agar tidak ada orang, yang mendapat kecelakaan oleh bahan-bahan panas, api terbuka, uap dan debu yang berbahaya.

Pasal 48
(1) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin agar kestabilan tanah tidak membahayakan sewaktu mesin penggiling jalan digunakan.
(2) Sebelum meninggalkan mesin penggiling jalan operator harus melakukan segala tindakan untuk menjamin agar mesin penggiling jalan tersebut tidak bergerak atau pindah tempat.

Pasal 49
Mesin adukan beton (concrete mixer) yang digunakan harus dilengkapi dengan alat-alat pengaman dan dijalankan serta dipelihara untuk menjamin agar tidak ada orang yang mendapat kecelakaan disebabkan bagian-bagian mesin yang berputar atau bergerak atau boleh karena kejatuhan bahan-bahan.

Pasal 50
Mesin pemuat (loading machines) harus dilengkapi dengan kap (cab) yang kuat dan dilengkapi dengan alat pengaman sehingga tenaga kerja tidak tergencet oleh bagian- bagian mesin yang bergerak.

Pasal 51
Mesin-mesin pekerjaan kayu yang digunakan harus dipelihara dengan baik sehingga terjamin keselamatan dan kesehatan dalam pemakaiannya.

Pasal 52
(1) Gergaji bundar harus dilengkapi dengan alat-alat untuk mencegah bahaya sing-gung dengan mata gergaji dan alat pencegah bahaya tendangan belakang, terkena serpihan yang berterbangan atau mata gergaji yang patah.
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan agar daun gergaji bundar tidak terjepit atau mendapat tekanan dari samping.

Pasal 53
Daun gergaji pita harus dengan tegangan, dudukan dan ketajaman yang memenuhi syarat dan harus tertutup kecuali bukan yang perlu untuk menggergaji.

Pasal 54
Mesin ketam harus dilengkapi dengan peralatan yang baik untuk mengurangi bidang bukan serut yang membahayakan dan untuk mengurangi bahaya tendangan belakang.

Pasal 55
(1) Alat-alat kerja tangan harus dari mutu yang cukup baik dan harus dijaga supaya selalu dalam keadaan baik.
(2) Penyimpanan dan pengangkutan alat-alat tajam harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan.
(3) Perencanaan dan pembuatan alat-alat kerja tangan harus cocok untuk keperluan-nya dan tidak menyebabkan terjadinya kecelakaan.
(4) Alat-alat kerja tangan boleh digunakan khusus untuk keperluannya yang telah direncanakan.

Pasal 56
Semua bagian-bagian alat-alat peneumatik termasuk selang-selang dan selang sambungan harus direncanakan untuk dapat menahan dengan aman tekanan kerja maksimum dan harus dilayani dengan hati-hati sehingga tidak merusak atau menimbulkan kecelakaan.

Pasal 57
(1) Alat penembak paku (pawder actuated tools) harus dilengkapi dengan alat penga-man untuk melindungi atau menahan pantulan kembali dari paku dan benda-benda yang ditembakkan oleh alat tersebut.
(2) Untuk keperluan alat tersebut ayat (1) di atas harus dipergunakan patrum (cartridge) dan paku tembak (projectile) yang cocok.
(3) Operator yang menggunakan alat tersebut ayat (1) harus berumur paling sedikit 18 tahun dan terlatih.
(4) Penyimpanan dan pengangkutan alat penembak paku dan patrum harus sedemi-kian rupa untuk mencegah kecelakaan.

Pasal 58
(1) Traktor dan truck yang digunakan harus dipelihara sedemikian rupa untuk menja-min agar dapat menahan tekanan dan muatan maksimum yang diijinkan dan dapat dikemudikan serta direm dengan aman dalam situasi bagaimananapun juga.
(2) Traktor dan truck tersebut ayat (1) Pasal ini hanya boleh dijalankan oleh penge-mudi yang terlatih.

Pasal 59
Truck lif (lift truck) yang digunakan harus dijalankan sedemikian rupa untuk menjamin kestabilannya.


BAB IX TENTANG KONSTRUKSI DI BAWAH TANAH Pasal 60
Setiap tenaga kerja dilarang memasuki konstruksi bangunan di bawah tanah kecuali tempat kerja telah diperiksa dan bebas dari bahaya-bahaya kejatuhan benda, peledakan, uap, debu, gas atau radiasi yang berbahaya.

Pasal 61
(1) Apabila bekerja dalam terowongan, usaha pencegahan harus dilakukan untuk menghindarkan jatuhnya orang atau bahan atau kecelakaan lainnya.
(2) Terowongan harus cukup penerangan dan dilengkapi dengan jalan keluar yang aman direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga dalam keadaan darurat terowongan harus segera dapat dikosongkan.

Pasal 62
Apabila terdapat kemungkinan bahaya runtuhnya batu atau tanah dari atas sisi konstruksi bangunan di bawah tanah, maka konstruksi tersebut harus segera diperkuat.

Pasal 63
Untuk mencegah bahaya kecelakaan, penyakit akibat kerja maupun keadaan yang tidak nyaman, konstruksi di bawah tanah harus dilengkapi dengan ventilasi buatan yang cukup.

Pasal 64
(1) Pada Konstruksi bangunan di bawah tanah harus disediakan sarana penanggulang-an bahaya kebakaran.
(2) Untuk keperluan ketentuan ayat (1) di atas, harus disediakan alat pemberantas kebakaran.

Pasal 65
(1) Di tempat kerja atau di tempat yang selalu harus disediakan penerangan yang cukup sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Penerangan darurat harus disediakan di tempat-tempat tersebut ayat (1) di atas tenaga kerja dapat menyelamatkan diri dalam keadaan darurat.

Pasal 66
(1) Tenaga kerja yang mengebor tanah harus dilindungi dari bahaya kejatuhan benda benda, bahaya debu, uap, gas, kebisingan dan getaran.
(2) Tenaga kerja dilarang masuk ke tempat dimana kadar debunya melebihi ketentu nilai ambang batas yang berlaku, kecuali apabila mereka memakai respirator.


BAB X TENTANG PENGGALIAN
Pasal 67
(1) Setiap pekerjaan, harus dilakukan sedemikian rupa sehingga terjamin tidak adanya bahaya terhadap setiap orang yang disebabkan oleb kejatuhan tanah, batu atau bahan- bahan lainnya yang terdapat di pinggir atau di dekat pekerjaan galian.
(2) Pinggir-pinggir dan dinding-dinding pekerjaan galian harus diberi pengaman penunjang yang kuat untuk menjamin keselamatan orang yang bekerja di dalam lubang atau parit.
(3) Setiap tenaga kerja yang bekerja dalam lubang galian harus dijamin pula kesela- matannya dari bahaya lain selain tersebut ayat (1) dan (2) di atas.


BAB XI TENTANG PEKERJAAN MEMANCANG Pasal 68
(1) Mesin pancang yang digunakan harus dipasang dan dirawat dengan baik sehingga terjamin keselamatan dalam pemakaiannya.
(2) Mesin pancang dan peralatan yang dipakai harus diperiksa dengan teliti secara berkala dan tidak boleh digunakan kecuali sudah terjamin keamanannya.

Pasal 69
Tenaga kerja yang tidak bertugas menjalankan mesin pancang dilarang berada disekitar mesin pancang yang sedang dijalankan.

Pasal 70
Mesin pancang jenis terapung (floating pile drivers) yang digunakan harus dilengkapi pengaman dan dijalankan sedemikian rupa sehingga stabil atau tidak tenggelam.

Pasal 71
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghindarkan agar supaya pelat penahan (sheet piling) tidak berayun atau berputar yang tidak terkendalikan oleh tekanan angin, roboh oleh tekanan air atau tekanan lainnya.


BAB XII TENTANG PEKERJAAN BETON
Pasal 72
Pembangunan konstruksi beton harus direncanakan dan dihitung dengan teliti untuk menjamin agar konstruksi dan penguatnya dapat memikul beban dan tekanan lainnya sewaktu membangun tiap-tiap bagiannya.

Pasal 73
(1) Usaha pencegahan yang praktis harus dilakukan untuk menghindarkan terjadinya kecelakaan tenaga kerja selama melakukan pekerjaan persiapan, dan pem-bangunan konstruksi beton.
(2) Pencegahan kecelakaan dimaksud ayat (1) Pasal ini terutama adalah:
a. singgungan langsung kulit terhadap semen dan dapur;
b. kejatuhan benda-benda dan bahan-bahan yang diangkut dengan ember adukan beton (concrete buckets);
c. sewaktu beton dipompa atau dicor pipa-pipa termasuk penghubung atau sambungan dan penguat harus kuat;
d. sewaktu pembekuan adukan (setting concrete) harus terhindar dari goncangan dan bahan kimia yang dapat mengurangi kekuatan;
e. sewaktu lempengan (panel) atau lembaran beton (slab) dipasang ke dalam dudukannya harus digerakan dengan hati-hati.
f. terhadap melecutnya ujung besi beton yang mencuat sewaktu ditekan atau diregang dan sewaktu diangkat atau diangkut;
g. terhadap getaran sewaktu menjalankan alat penggetar (vibrator).

Pasal 74
Setiap ujung-ujung mencuat yang membahayakan harus dilengkungkan atau dilindungi.

Pasal 75
Menara atau tiang yang dipergunakan untuk mengangkat adukan beton (concrete bucket towers) harus dibangun dan diperkuat sedemikian rupa sehingga terjamin kestabilannya.

Pasal 76
Beton harus dikerjakan dengan hati-hati untuk menjamin agar pemetian beton (bekisting) dan penguatnya dapat memikul atau menahan seluruh beban sampai beton menjadi beku.


BAB XIII TENTANG PEKERJAAN LAINNYA
Pasal 77
Bagian-bagian yang siap dipasang (prefabricated parts) harus direncanakan dan dibuat dengan baik sehingga dapat diangkut dan dipasang dengan aman.

Pasal 78
(1) Bagian-bagian konstruksi baja sedapat mungkin harus dirakit sebelum dipasang.
(2) Selama pekerjaan pembangunan konstruksi baja, harus dilakukan tindakan pence- gahan bahaya jatuh atau kejatuhan benda terhadap tenaga kerja.

Pasal 79
Bagian atas dari lantai sumuran harus tertutup papan atau harus dilengkapi dengan peralatan lain untuk melindungi tenaga kerja terhadap kejatuhan benda.

Pasal 80
Pemasangan rangka atap harus dilakukan dari peralatan perancah atau tenaga kerja harus dilengkapi dengan peralatan pengaman lainnya.

Pasal 81
Untuk melindungi tenaga kerja sewaktu melakukan pekerjaan konstruksi, harus dibuatkan lantai kerja sementara yang kuat.

Pasal 82
Alat pemanas yang digunakan untuk memanaskan aspal harus direncanakan, dibuat dan digunakan sedemikian rupa sehingga dapat mencegah kebakaran dan tenaga kerja tidak tersiram bahan panas.

Pasal 83
(1) Tenaga kerja harus dilindungi terhadap bahaya singgungan langsung kulit dan bahaya-bahaya singgung lainnya terhadap bahan pengawet kayu.
(2) Kayu yang telah diawetkan dilarang dibakar di tempat kerja.

Pasal 84
Apabila bahan-bahan yang mudah terbakar digunakan untuk keperluan lantai permukaan dinding dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, harus dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindarkan adanya api terbuka, bunga api dan sumber-sumber api lainnya yang dapat menyulut uap yang mudah terbakar yang timbul di tempat kerja atau daerah sekitarnya.

Pasal 85
(1) Asbes hanya boleh digunakan apabila bahan lainnya yang kurang berbahaya tidak tersedia.
(2) Apabila asbes digunakan, maka tindakan pencegahan harus dilakukan agar tenaga kerja tidak menghirup serat asbes.

Pasal 86
Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di atas atap harus dilengkapi dengan alat pelindung diri yang sesuai untuk menjamin agar mereka tidak jatuh dari atap atau dari bagian-bagian atap yang rapuh.

Pasal 87
(1) Dalam pekerjaan mengecat dilarang menggunakan bahan cat, pernis dan zat warna yang berbahaya, atau pelarut yang berbahaya.
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan agar tukang cat tidak menghirup uap, gas, asap dan debu yang berbahaya.
(3) Apabila digunakan bahan cat yang mengandung zat yang dapat meresap ke dalam kulit, tukang cat harus menggunakan alat pelindung diri.

Pasal 88
(1) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghindarkan timbulnya kebakaran sewaktu mengelas dan memotong dengan las busur.
(2) Juru las dan tenaga kerja yang berada disekitarnya harus dilindungi terhadap serpihan bunga api, uap radiasi dan sinar berbahaya lainnya.
(3) Penggunaan dan pemeliharaan peralatan las harus dilakukan dengan baik untuk menjamin keselamatan dan kesehatan juru las dan tenaga kerja yang berada disekitarnya.

Pasal 89
(1) Untuk menjamin keselamatan dalam pekerjaan peledakan (blasting) harus dilaku-kan tindakan pencegahan kecelakaan.
(2) Tindakan pencegahan dimaksud ayat (1) Pasal ini terutama adalah:
a. sewaktu peledakan dilakukan sedapat mungkm jumlah orang yang berada di sekitarnya hanya sedikit dan cuaca serta kondisi lainnya tidak berbahaya;
b. lubang peledakan harus dibor dan diisi bahan peledak dengan hati-hati untuk menghindarkan salah peledakan atau peledakan secara tiba-tiba waktu pengisian.
c. peledakan harus dilakukan dengan segera setelah pengisian dan peledakan tersebut harus dilakukan sedemikian rupa untuk mencegah salah satu peledakan atau terjadinya peledakan-peledakan sebagian;
d. sumbu-sumbu dari mutu yang baik dan dipergunakan sedemikian rupa untuk menjamin peledakan dengan aman;
e. menghindarkan peledakan mendadak jika peledakan dilakukan dengan tenaga listrik;
f. tenaga kerja dilarang memasuki daerah peledakan sesudah terjadinya peledakan kecuali apabila telah diperiksa dan dinyatakan aman.

Pasal 90
Untuk menjamin kesehatan tenaga kerja yang mengolah batu agar tidak menghisap debu silikat, harus dilakukan tindakan pencegahan.


BAB XIV TENTANG PEMBONGKARAN Pasal 91
(1) Rencana pekerjaan pengangkutan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum peker-jaan pembongkaran dimulai.
(2) Semua instalasi, listrik, gas, air, dan uap harus dimatikan, kecuali apabila diperlu-kan sepanjang tidak membahayakan.

Pasal 92
(1) Semua bagian-bagian kaca, bagian-bagian yang lepas, bagian-bagian yang men-cuat harus disingkirkan sebelum pekerjaan pembongkaran dimulai.
(2) Pekerjaan pembongkaran harus dilakukan tingkat demi tingkat dimulai dari atap dan seterusnya ke bawah.
(3) Tindakan-tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghindarkan bahaya rubuhnya bangunan.

Pasal 93
(1) Alat mekanik untuk pembongkaran harus direncanakan, dibuat dan digunakan sedemikian rupa sehingga terjamin keselamatan operatornya.
(2) Sewaktu alat mekanik untuk pembongkaran digunakan, terlebih dahulu harus di- tetapkan daerah berbahaya dimana tenaga kerja dilarang berada.

Pasal 94
Dalam hal tenaga kerja atau orang lain mungkin tertimpa bahaya yang disebabkan oleh kejatuhan bahan atau benda dari tempat kerja yang lebih tinggi, harus dilengkapi dengan penadah yang kuat atau daerah berbahaya tersebut harus dipagar.

Pasal 95
(1) Dinding-dinding tidak boleh dirubuhkan kecuali lantai dapat menahan tekanan yang diakibatkan oleh runtuhnya dinding tersebut.
(2) Tenaga kerja harus dilindungi terhadap debu dan pecahan-pecahan yang berhamburan.

Pasal 96
(1) Apabila tenaga kerja sedang membongkar lantai harus tersedia papan yang kuat yang ditumpu tersendiri bebas dari lantai yang sedang dibongkar.
(2) Tenaga kerja dilarang melakukan pekerjaan di daerah bawah lantai yang sedang dibongkar dan daerah tersebut harus dipagar.

Pasal 97
Konstruksi baja harus dibongkar bagian demi bagian sedemikian rupa sehingga terjamin kestabilan konstruksi tersebut agar tidak membahayakan sewaktu dilepas.

Pasal 98
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin agar tenaga kerja dan orang-orang lain tidak kejatuhan bahan-bahan atau benda-benda dari atas sewaktu cerobong-cerobong yang tinggi dirubuhkan.


BAB XV TENTANG PENGGUNAAN PERLENGKAPAN PENYELAMATAN DAN PERLINDUNGAN DIRI
Pasal 99
(1) Alat-alat penyelamat dan pelindung diri yang jenisnya disesuaikan dengan sifat pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing tenaga kerja harus disediakan dalam jumlah yang cukup.
(2) Alat-alat termaksud pada ayat (1) Pasal ini harus selalu memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang telah ditentukan.
(3) Alat-alat tersebut ayat (1) Pasal ini harus digunakan sesuai dengan kegunaannya oleh setiap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja.
(4) Tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja diwajibkan mengguna-kan alat-alat termaksud pada ayat (1) Pasal ini.


BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 100
Setiap pekerjaan konstruksi bangunan yang sedang direncanakan atau sedang dilaksa- nakan wajib diadakan penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.


BAB XVII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 101
Terhadap pengertian istilah-istilah “cukup”, “sesuai”, “baik”, “aman”, “tertentu”, “sejauh..., sedemikian rupa” yang terdapat dalam Peraturan Menteri ini harus sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku atau ditentukan oleh Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 102
Pengurus wajib melaksanakan untuk ditaatinya semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


BAB XVIII KETENTUAN HUKUMAN
Pasal 103
(1) Dipidana selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah), pengurus yang melakukan pelanggaran atas keten-tuan Pasal 102.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini adalah pelanggaran.
(3) Menteri dapat meminta Menteri yang membawahi bidang usaha konstruksi bangunan guna mengambil sanksi administratif terhadap tidak dipenuhinya keten-tuan atau ketentuan-ketentuan Peraturan Menteri ini.


BAB XIX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 104
Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja melakukan pengawasan terhadap ditaatinya Pelaksanaan peraturan ini.

Pasal 105
(1) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Menteri ini akan diatur lebih lanjut. (2) Hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini akan
ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur.

Pasal 106
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Maret 1980
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HARUN ZAIN


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per.02/MEN/1980 TENTANG PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA DALAM PENYELENGGARAAN KESELAMATAN KERJA.


Menimbang :
a. bahwa keselamatan kerja yang setinggi-tingginya dapat dicapai bila antara lain kesehatan tenaga kerja berada dalam taraf yang sebaik- baiknya.
b. bahwa untuk menjamin kemampuan fisik dan kesehatan tenaga kerja yang sebaik-baiknya perlu diadakan pemeriksaan kesehatan yang terarah.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970;
2. Keputusan Presiden RI No.44 Tahun 1974 dan No.45 Tahun 1974;
3. Keputusan Presiden R.I No.47 Tahun 1979;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transkop No. Kepts. 79/Men/1977;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Transkop No. Per. 0l/Men/1976;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.71/MEN/1978.

MEMUTUSKAN
menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi tentang Pemeriksaan
Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.


Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
(a) Pemeriksaan Kesehatan sebelum kerja adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja diterima untuk melakukan pekerjaan.
(b) Pemeriksaan kesehatan berkala adalah pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh dokter.
(c) Pemeriksaan Kesehatan Khusus adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu.
(d) Dokter adalah dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan telah memenuhi syarat sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Transmigrasi dan Koperasi No. Per 10/Men/1976 dan syarat-syarat lain yang dibenarkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja.
(e) Direktur ialah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. Kepts. 79/Men/1977.

Pasal 2
(1) Pemeriksaan Kesehatan sebelum bekerja ditujukan agar tenaga kerja yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang akan mengenai tenaga kerja lainnya, dan cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan sehingga keselamatan dan kesehatan tenaga kerja yang bersangkutan dan tenaga kerja yang lain-lainnya dapat dijamin.
(2) Semua perusahaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1970 harus mengadakan Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja.
(3) Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kese- garan jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin, serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu.
(4) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu perlu dilakukan pemeriksaan yang sesuai dengan kebutuhan guna mencegah bahaya yang diperkirakan timbul.
(5) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja yang menjamin penempatan tenaga kerja sesuai dengan kesehatan dan pekerjaan yang akan dilakukannya dan pedoman tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh Direktur.
(6) Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja dibina dan dikembangkan mengikuti kemampuan perusahaan dan kemajuan kedokteran dalam keselamatan kerja.
(7) Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter yang dimaksud Pasal 1 (sub d), tidak ada keraguan-raguan maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja.

Pasal 3
(1) Pemeriksaan Kesehatan Berkala dimaksudkan untuk mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada dalam pekerjaannya, serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan seawal mungkin yang perlu dikendalikan dengan usaha-usaha pencegahan.
(2) Semua perusahaan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas harus melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kerja sekurang-kurangnya 1 tahun sekali kecuali ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja.
(3) Pemeriksaan Kesehatan Berkala meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratoriuin rutin serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu.
(4) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman pemeriksaan kese- hatan berkala sesuai dengan kebutuhan menurut jenis-jenis pekerjaan yang ada.
(5) Pedoman Pemeriksaan kesehatan berkala dikembangkan mengikuti kemampuan perusahaan dan kemajuan kedokteran dalam keselamatan kerja.
(6) Dalam hal ditemukan kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan kesehatan pada tenaga kerja pada pemeriksaan berkala, pengurus wajib mengadakan tindak lanjut untuk memperbaiki kelainan-kelainan tersebut dan sebab-sebabnya untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan kesehatan kerja.
(7) Agar pemeriksaan kesehatan berkala mencapai sasaran yang luas, maka pelayanan kesehatan diluar perusahaan dapat dimanfaatkan oleh pengurus menurut keperluan.
(8) Dalam melaksanakan kewajiban pemeriksaan kesehatan berkala Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja dapat menunjuk satu atau beberapa Badan sebagai penyelenggara yang akan membantu perusahaan yang tidak mampu melakukan sendiri pemeriksaan kesehatan berkala.

Pasal 4
Apabila Badan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (8) didalam melakukan pemeriksaan kesehatan berkala menemukan penyakit-penyakit akibat kerja, maka Badan tersebut harus melaporkan kepada Ditjen Binalindung Tenaga Kerja melalui Kantor Wilayah Ditjen Binalindung Tenaga Kerja.

Pasal 5
(1) Pemeriksaan Kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh- pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja atau golongan-golongan tenaga kerja tertentu.
(2) Pemeriksaan Kesehatan Khusus dilakukan pula terhadap:
a. tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit yang memerlukan perawatan yang lebih dari 2 (dua minggu).
b. tenaga kerja yang berusia diatas 40 (empat puluh) tahun atau tenaga kerja wanita dan tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja muda yang melakukan pekerjaan tertentu.
c. tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai gangguan- gangguan kesehatannya perlu dilakukan pemeriksaan khusus sesuai dengan kebutuhan.
(3) Pemeriksaan Kesehatan Khusus diadakan pula apabila terdapat keluhan-keluhan diantara tenaga kerja, atau atas pengamatan pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerja, atau atas penilaian Pusat Bina Hyperkes dan Keselamatan dan Balai- balainya atau atas pendapat umum dimasyarakat.
(4) Terhadap kelainan-kelainan dan gangguan-gangguan kesehatan yang disebabkan akibat pekerjaan khusus ini berlaku ketentuan-ketentuan Asuransi Sosial Tenaga Kerja sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Pasal 6
(1) Perusahaan-perusahaan yang diwajibkan melakukan pemeriksaan kesehatan seba- gaimana dimaksud pada Pasal 2, 3, dan 5 wajib membuat rencana pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, berkala dan pemeriksaan kesehatan khusus.
(2) Pengurus wajib membuat laporan dan menyampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sesudah pemeriksaan kesehatan dilakukan kepada Direktur Jenderal Bina- lindung Tenaga Kerja melalui Kantor Wilayah Ditjen Binalindung Tenaga Kerja setempat.
(3) Pengurus bertanggung jawab terhadap ditaatinya Peraturan ini.
(4) Peranan dan fungsi paramedis dalam pemeriksaan kesehatan kerja ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh dokter sebagaimana tersebut Pasal 1 sub (d).

Pasal 7
(1) Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970 melakukan pengawasan terhadap ditaatinya pelaksanaan peraturan ini.
(2) Untuk menilai pengaruh pekerjaan terhadap tenaga kerja Pusat Bina Hyperkes dan Keselamatan Kerja beserta Balai-balainya menyelenggarakan pelayanan dan pengujian di perusahaan.
(3) Bentuk/formulir permohonan sebagai dokter Pemeriksa Kesehatan, pelaporan dan bentuk/formulir lain yang diperlukan pelaksanaan Peraturan Menteri ini ditetapkan oleh Direktur.

Pasal 8
(1) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai hasil pemeriksaan kesehatan berkala, dan pemeriksaan kesehatan khusus, maka penyelesaiannya akan dilakukan oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan Daerah.
(2) Apabila salah satu pihak tidak menerima putusan yang telah diambil oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan Daerah, maka dalam jangka waktu 14 hari setelah tanggal pengambilan keputusan tersebut pihak yang bersangkutan dapat mengajukan persoalannya kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan Pusat.
(3) Pembentukan susunan keanggotaan serta tugas dan wewenang Majelis Pertimbangan Kesehatan Pusat dan Daerah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja.

Pasal 9
Pengurus bertanggung jawab atas biaya yang diperlukan terhadap pemeriksaan kesehatan berkala atau pemeriksaan kesehatan khusus yang dilaksanakan atas perintah baik oleh Pertimbangan Kesehatan Daerah ataupun oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan Pusat.

Pasal 10
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini diancam dengan hukuman sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 11
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Maret 1980
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
ttd
HARUN ZAIN


SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN PERBURUHAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA No. Kept. 40/DP/1980 TENTANG PENETAPAN BENTUK/FORMULIR SEBAGAIMANA DIMAKSUD Pasal 7 AYAT (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan TransmigrasiDAN TRANSMIGRASI


Menimbang :
a. Bahwa sesuai Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per. 02/Men/1980 bentuk/formulir permohonan sebagai Dokter Pemeriksa, serta bentuk/formulir lain yang diperlukan guna pelaksanaan Peraturaan Menteri tersebut ditetapkan oleh Direktur;
b. bahwa untuk itu perlu diterbitkan Surat Keputusan Ditjen Binalindung Tenaga Kerja untuk menetapkan bentuk/formulir dimaksud.

Mengingat :
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Transkop No. 01/Men/1976;
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transkop No. Kepts. 79/Men/1977;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per. 02/Men/1980.

Menetapkan:
MEMUTUSKAN
Pertama : Bentuk/formulir yang harus dipergunakan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Transmigrasi No. 02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Kerja. Sebagaimana termuat dalam Lampiran 1 sampai dengan V Surat Keputusan ini.
Kedua : Surat Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 09 Juni 1980
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN PERBURUHAN DAN PERLINDUNGN TENAGA KERJA
ttd
OETOJO OESMAN S.H.
NIP : 160015903


CONTOH : PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA SEBELUM BE- KERJA DI PERUSAHAAN.

Pemeriksaan Kesehatan sebelum bekerja seperti lazimnya yang dilakukan oleh setiap dokter meliputi:
I. Anamnesa
II. Pemeriksaan mental
III. Pemeriksaan fisik
IV. Pemeriksaan kesegaran jasmani
V. Pemeriksaan radiologi
VI. Pemeriksaan laboratorium
VII. Pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut


I. ANAMNESA.
Pada anamnesa ini dokter pemeriksa kesehatan menegaskan agar supaya pernyataan- pernyataan dijawab dengan teliti dan seluas-luasnya.

Yang perlu ditanyakan adalah:
1. riwayat-riwayat penyakit umum; tuberkolosa, diabetes, penyakit jantung, penyakit syaraf, penyakit jiwa, penyakit kuning, penyakit asthma, tekanan darah tinggi atau rendah, penyakit ginjal, penyakit perut, tumor, penyakit kulit, penyakit hernia, wajir, dll.
2. riwayat perawatan di Rumah Sakit; alasan dirawat, belum atau pernah dirawat, berapa lama dan jenis penyakit yang diderita.
3. riwayat kecelakaan; apakah pernah mendapat kecelakaan, apakah ada hubungan antara kecelakaan dengan pekerjaan, bagian anggota badan yang cidera, apakah dirawat atau tidak, kalau dirawat tanyakan pula berapa lama waktu perawatan dan juga ditanyakan apakah menderita cacat sementara atau tetap.
4. riwayat operasi; pernah atau tidak, kalau pernah maka tanyakan jenis operasi apa, kapan dilaksanakan operasi tersebut, dimana dan berapa lama perawatan operasi.
5. riwayat pekerjaan; apakah pernah bekerja atau belum, bila sudah bekerja dimana dan berapa lama serta mengapa terhenti dari pekerjaan tersebut tanyakan pula apakah ada kemungkinan adanya penyakit jabatan dari pekerjaan yang terdahul itu.
6. bila dicurigai adanya penyakit jabatan, perlu dilakukan pemeriksaan khusus untuk menunjang kebenaran dugaan tersebut.
7. riwayat haid, bagi tenaga kerja wanita perlu ditanyakan; kapan mulai haid, teratur atau tidak, lamanya sakit atau tidak serta ditanyakan masalah kehamilan, melahirkan, keluarga berencana, keguguran dan jumlah anak baik yang hidup maupun yang mati.


II. PEMERIKSAAN MENTAL
Pemeriksaan mental diselenggarakan sewaktu dilakukan anamnesa atau pemeriksaan fisik dengan cara mengemukakan pertanyaan-pertanyaan umum dan spesifik tentang hal-hal sebagai berikut: maksud melamar pekerjaan, tujuan apabila diterima dalam jabatan tertentu, rasa puas dengan berbagai situasi mengenai diri dan lingkungannya, motivasi untuk bekerja dan sebagainya.
Yang diperiksa diluar pemeriksaan mental ini adalah fungsi-fungsi umum dan fungsi-fungsi khusus sebagai berikut:
1. Fungsi Umum:
a. – Keadaan
 – Orientasi perorangan
 – Orientasi waktu
 – Orientasi ruang
 – Orientasi situasi
b. Sikap & Tingkah Laku
– Mudah tidaknya penyesuaian sikap dan tingkah laku dengan suasana yang ada.
Kesimpulan status mentalis adalah:
– Normal
– Terganggu dan perlu pengobatan atau
– Perlu konsultasi


III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik lengkap dilakukan menurut perincian dalam kartu pemeriksaan. Pemeriksaan fisik ini diselenggarakan di tempat yang penerangannya cukup dan dalam suasana tenang serta tidak tergesa-gesa, serta meliputi sebagai berikut:
1. Pengukuran berat badan dilaksanakan dalam keadaan berpakaian minim.
2. pengukuran tinggi badan dilakukan tanpa alas kaki.
3. pengukuran lingkaran dada dilaksanakan setinggi pelakatan rusuk (insertio constalis) kelima, bila terdapat perbedaan antara ukuran pada waktu inspirasi maksimal dan ekspirasi maksimal sebesar 4 cm atau kurang maka diduga adanya kelainan intrahorakal.
4. pengukuran nadi dan frekuensi pernafasan dilakukan dalam keadaan berbaring dengan tenang, kalau denyut nadi teratur maka frekuensinya cukup diukur selama 30 detik dan hasilnya dilakukan dua untuk memperoleh nadi permenit, kalau denyut nadi tidak teratur, pengukuran denyut nadi dilakukan selama 1 menit
5. tekanan darah diukur dalam posisi berbaring dengan tenang.
6. pemeriksaan indra penglihatan meliputi keadaan fisik mata, ketajaman peng- lihatan, luas lapangan penglihatan dan kemampuan membedakan warna.
7. pemeriksaan indra pendegaran meliputi keadaan fisik telinga serta ketajaman pendengaran dan dilakukan dengan membisikkan kata tunggal bagi masing- masing telinga sementara telinga yang lain ditutup.
8. pemeriksaan indra penciuman meliputi fisik hidung dan ketajaman penciuman.
9. Kontak mental dan perhatian :
Kemampuan untuk mengadakan hubungan mental dalam waktu cukup panjang dalam bentuk-bentuk:
– Kontak psikis
– Kewajaran
– lamanya
10. Inisiatif:
Kesanggupan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang disebut asli yaitu (tidak meniru atau tidak mencontoh atau tidak atas perintah). Insiati : normal, kurang atau lebih.
11. Fungsi Spesifik/Khusus :
a. alam perasaan yang meliputi keadaan, emosi, dan effek.
- wajar;
- terlalu gembira;
- depresif atau
- siklotinik (berubah-ubah). b. Intelegensia dan intelek:
Apakah kecerdasan sesuai dengan taraf pendidikan; keadaan intelegensia normal atau menurun.
c. Proses berfikir:
- Keadaan jelas dan tajam
Proses berfikir abnormal seperti:
- delusi
- halusinasi
- fikiran yang melompat-lompat.
- gejala-gejala lainnya.
12. pemeriksaan indra perabaan meliputi kemampuan alat peraba untuk dapat membedakan suhu dan bentuk alat penglihatan indra perabaan dalam keadaan mata tertutup.
13. pemeriksaan indra perasaan kulit meliputi kemampuan alat perasa serta ketajaman.


V. PEMERIKSAAN KESEGARAN JASMANI
Maksud pemeriksaan ini ialah untuk menentukan tingkat kesegaran sesuai dengan keperluan jenis pekerjaan fisik yang berat. Cara yang dipakai adalah pengujian Scneider test. Bagi yang berumur lebih dan 40 tahun, juga dilakukan uji langkah menurut master dan pemeriksaan elektro-cardiografi (EKG).


VI. PEMERIKSAAN SINAR TEMBUS
Pemeriksaan ini terutama untuk meliputi keadaan paru-paru dan jantung.


VII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemenksaan laboratorium meliputi pemeriksaan danah, air seni dan tinja. Pemeriksaan darah terdiri dan pemeriksaan kadar Hb, pemeriksaan jumlah sel-sel darah putih secara menyeluruh dan menurut pemeriksaan laju endapan darah. Pemeriksaan Laboratorium air seni meliputi jenis, pemeriksaan warna, kejernihan, reduksi, protein dan sedimen. Pemeriksaan tinja meliputi : pemeriksaan warna, konsistensi dan telur cacing.


VIII. PEMERIKSAAN LEBIH LANJUT
Pemeriksaan lebih lanjut adalah pemeriksaan yang dilakukan lebih mendalam mengenai keadaan mental, fisik, kesegaran jasmani, pemeriksaan sinar tembus dan pengujian laboratorium lainnya atas dasar pertunbangan medis dan pertimbangan jenis pekerjaan serta keadaan lingkungan kerja agar tercipta keselamatan dan kesehatan kerja yang baik bagi yang diperiksa maupun orang sekitarnya atau umum. Contoh-contoh pemeriksaan tambahan seperti : elektro enchephalografi (EEG), pemeriksaan faal hati, faal ginjal, apirometri, pemeriksaan cairan otak dan sebagainya.


IX. KESIMPULAN PENGUJIAN
Setelah dilakukan pengujian kesehatan sebelum bekerja, dokter pemeriksa mengambil kesimpulan tentang keadaan kesehatan calon tenaga kerja dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Memenuhi syarat untuk jenis pekerjaan ringan atau sedang.
2. Memenuhi syarat untuk jenis pekerjaan berat.
3. Memenuhi syarat untuk jenis pekerjaan sebagalniana dimaksud dalam angka 1 atau 2 dengan persyaratan tertentu.
4. Ditolak sementara oleh karena untuk sementara belum memenuhi syarat kesehatan dan memerlukan pengobatan atau perawatan. Pemeriksaan kesehatan diulang setelah selesai pengobatan / perawatan.
Kesimpulan tersebut diatas diambil dan pertimbangan tingkat kesehatan terhadap persyaratan kesehatan menurut pekerjaan yang ada.


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No : PER.04/MEN/1980 TENTANG SYARAT-SYARAT PEMASANGAN DAN PEMELIHARAN ALAT PEMADAM API RINGAN.


Menimbang :
a. bahwa dalam rangka untuk mensiap-siagakan pemberantasan pada mula terjadinya kebakaran, maka setiap alat pemadam api ringan harus memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja;
b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Peraturan Menteri yang mengatur tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan tersebut.

Mengingat :
1. Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
2. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 158 Tahun 1972 Tentang Program Operasionil, serentak, singkat, padat, untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi tentang Syarat- Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.


BAB I KETERANGAN UMUM
Pasal 1
(1) Alat pemadam api ringan ialah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran.
(2) Menteri ialah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
(3) Pegawai pengawas ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri.
(4) Ahli keselamatan kerja ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengawasi ditaatinya peraturan ini.
(5) Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagian yang berdiri sendiri.

Pasal 2
(1) Kebakaran dapat digolongkan:
a. Kebakaran bahan padat kecuali logam (Golongan A);
b. Kebakaran bahan cair atau gas yang mudah terbakar (Golongan B);
c. Kebakaran instalasi listrik bertegangan (Golongan C);
d. Kebakaran logam (Golongan D).
(2) Jenis alat pemadam api ringan terdiri:
a. Jenis cairan (air);
b. Jenis busa;
c. Jenis tepung kering;
d. Jenis gas (hydrocarbon berhalogen dan sebagainya);
(3) Penggolongan kebakaran dan jenis pemadam api ringan tersebut ayat (1) dan ayat
(2) dapat diperluas sesuai dengan perkembangan tehnologi.

Pasal 3
Tabung alat pemadam api ringan harus diisi sesuai dengan jenis dan konstruksinya.


BAB II PEMASANGAN
Pasal 4
(1) Setiap satu atau kelompok alat pemadam api ringan harus ditempatkan pada posisi yang mudah dilihat dengan jelas, mudah dicapai dan diambil serta dilengkapi dengan pemberian tanda pemasangan.
(2) Pemberian tanda pemasangan tersebut ayat (1) harus sesuai dengan lampiran I.
(3) Tinggi pemberian tanda pemasangan tersebut ayat (1) adalah 125 cm dari dasar lantai tepat diatas satu atau kelompok alat pemadam api ringan bersangkutan.
(4) Pemasangan dan penempatan alat pemadam api ringan harus sesuai dengan jenis dan penggolongan kebakaran seperti tersebut dalam lampiran 2.
(5) Penempatan tersebut ayat (1) antara alat pemadam api yang satu dengan lainnya atau kelompok satu dengan lainnya tidak boleh melebihi 15 meter, kecuali ditetapkan lain oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan Kerja.
(6) Semua tabung alat pemadam api ringan sebaiknya berwarna merah.

Pasal 5
Dilarang memasang dan menggunakan alat pemadam api ringan yang didapati sudah berlubang-lubang atau cacat karena karat.

Pasal 6
(1) Setiap alat pemadam api ringan harus dipasang (ditempatkan) menggantung pada dinding dengan penguatan sengkang atau dengan konstruksi penguat lainnya atau ditempatkan dalam lemari atau peti (box) yang tidak dikunci.
(2) Lemari atau peti (box) seperti tersebut ayat (1) dapat dikunci dengan syarat bagian depannya harus diberi kaca aman (safety glass) dengan tebal maximum 2 mm.

Pasal 7
(1) Sengkang atau konstruksi penguat lainnya seperti tersebut Pasal 6 ayat (1) tidak boleh dikunci atau digembok atau diikat mati
(2) Ukuran panjang dan lebar bingkai kaca aman (safety glass) tersebut Pasal 6 ayat (2) harus disesuaikan dengan besarya alat pemadam api ringan yang ada dalam lemari atau peti (box) sehingga mudah dikeluarkan.

Pasal 8
Pemasangan alat pemadam api ringan harus sedemikian rupa sehingga bagian paling atas (puncaknya) berada pada ketinggian 1,2 m dari permukaan lantai kecuali jenis CO2 dan tepung kering (dry chemical) dapat ditempatkan lebih rendah dengan syarat, jarak antara dasar alat pemadam api ringan tidak kurang 15 cm dan permukaan lantai.

Pasal 9
Alat pemadam api ringan tidak boleh dipasang dalam ruangan atau tempat dimana suhu melebihi 49°C atau turun sampai minus 44°C kecuali apabila alat pemadam api ringan tersebut dibuat khusus untuk suhu diluar batas tersebut diatas.

Pasal 10
Alat pemadam api ringan yang ditempatkan di alam terkuka harus dilindungi dengan tutup pengaman.


BAB III PEMEIHARAAN
Pasal 11
(1) Setiap alat pemadam api ringan harus diperiksa 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu:
a. pemeriksaan dalam jangka 6 (enam) bulan;
b. pemeriksaan dalam jangka 12 (dua belas) bulan;
(2) Cacat pada alat perlengkapan pemadam api ringan yang ditemui waktu pemeriksaan, harus segera diperbaiki atau alat tersebut segera diganti dengan yang tidak cacat.

Pasal 12
(1) Pemeriksaan jangka 6 (enam) bulan seperti tersebut Pasal 11 ayat (1) meliputi hal- hal sebagai berikut:
a. Berisi atau tidaknya tabung, berkurang atau tidaknya tekanan dalam tabung, rusak atau tidaknya segi pengaman cartridge atau tabung bertekanan dan mekanik penembus segel;
b. Bagian-bagian luar dari tabung tidak boleh cacat termasuk handel dan label harus selalu dalam keadaan baik
c. Mulut pancar tidak boleh tersumbat dan pipa pancar yang terpasang tidak boleh retak atau menunjukan tanda-tanda rusak.
d. Untuk alat pemadam api ringan cairan atau asam soda, diperiksa dengan cara mencampur sedikit larutan sodium bicarbonat dan asam keras diluar tabung, apabila reaksinya cukup kuat, maka alat pemadam api ringan tersebut dapat dipasang kembali;
e. Untuk alat pemadam api ringan jenis busa diperiksa dengan cara mencampur sedikit larutan sodium bicarbonat dan aluminium sulfat diluar tabung, apabila cukup kuat, maka alat pemadam api ringan tersebut dapat dipasang kembali;
f. Untuk alat pemadam api ringan hydrocarbon berhalogen kecuali jenis tetrachlorida diperiksa dengan cara menimbang, jika beratnya sesuai dengan aslinya dapat dipasang kembali;
g. Untuk alat pemadam api jenis carbon tetrachlorida diperiksa dengan cara melihat isi cairan didalam tabung dan jika memenuhi syarat dapat dipasang kembali.
h. Untuk alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) harus diperiksa dengan cara menimbang serta mencocokkan beratnya dengan berat yang tertera pada alat pemadam api tersebut, apabila terdapat kekurangan berat sebesar 10% tabung pemadam api itu harus diisi kembali sesuai dengan berat yang ditentukan.
(2) Cara-cara pemeriksaan tersebut ayat (1) diatas dapat dilakukan dengan cara lain sesuai dengan perkembangan.

Pasal 13
(1) Pemeriksaan jangka 12 (dua belas) bulan seperti tersebut Pasal 11 ayat (1) b untuk semua alat pemadam api yang menggunakan tabung gas, selain dilakukan pemeriksaan sesuai Pasal 12 dilakukan pemeriksaan lebih lanjut menurut ketentuan ayat (2),(3),(4)dan (5) Pasal ini.
(2) Untuk alat pemadam api jenis cairan dan busa dilakukan pemeriksaan dengan membuka tutup kepala secara hati-hati dan dijaga supaya tabung dalam posisi berdiri tegak, kemudian diteliti sebagai berikut:
a. isi alat pemadam api harus sampai batas permukaan yang telah ditentukan;
b. pipa pelepas isi yang berada dalam tabung dan saringan tidak boleh tersumbat atau buntu;
c. ulir tutup kepala tidak boleh cacat atau rusak, dan saluran penyemprotan tidak boleh tersumbat.
d. peralatan yang bergerak tidak boleh rusak, dapat bergerak dengan bcbas, mempunyai rusuk atau sisi yang tajam dan bak gesket atau paking harus masih dalam keadaan baik;
e. gelang tutup kepala harus masih dalam keadaan baik;
f. bagian dalam dan alat pemadam api tidak boleh berlubang atau cacat karena karat;
g. untuk jenis cairan busa yang dicampur sebelum dimasukkan larutannya harus dalam keadaan baik;
h. untuk jenis cairan busa dalam tabung yang dilak, tabung harus masih dilak dengan baik;
i. lapisan pelindung dan tabung gas bertekanan, harus dalam keadaan baik;
j. tabung gas bertekanan harus terisi penuh sesuai dengan kapasitasnya.
(3) Untuk alat pemadam api jenis hydrocarbon berhalogen dilakukan pemeriksaan dengan membuka tutup kepala secara hati-hati dan dijaga supaya tabung dalam posisi berdiri tegak, kemudian diteliti menurut ketentuan sebagai berikut;
a. isi tabung harus diisi dengan berat yang telah ditentukan;
b. pipa pelepas isi yang berada dalam tabung dan saringan tidak boleh tersumbat atau buntu;
c. ulir tutup kepala tidak boleh rusak dan saluran keluar tidak boleh tersumbat;
d. peralatan yang bergerak tidak boleh rusak, harus dapat bergerak dengan bebas, mempunyai rusuk atau sisi yang tajam dan luas penekan harus da!am keadaan baik;
e. gelang tutup kepala harus dalam keadaan baik;
f. lapiran pelindung dari tabung gas harus dalam keadaan baik;
g. tabung gas bertekanan harus terisi penuh sesuai dengan kapasitasnya.
(4) Untuk alat pemadam api ringan jenis tepung kering (dry chemical) dilakukan pemeriksaan dengan membuka tutup kepala secara hati-hati dan dijaga supaya tabung dalam posisi berdiri tegak dan kemudian diteliti menurut ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. isi tabung harus sesuai dengan berat yang telah ditentukan dan tepung keringnya dalam keadaan tercurah bebas tidak berbutir;
b. ulir tutup kepala tidak boleh rusak dan saluran keluar tidak boleh buntu atau tersumbat;
c. peralatan yang bergerak tidak boleh rusak, dapat bergerak dengan bebas, mempunyai rusuk dan sisi yang tajam;
d. gelang tutup kepala harus dalam keadaan baik;
e. bagian dalam dan tabung tidak boleh berlubang-lubang atau cacat karena karat;
f. lapisan pelindung dari tabung gas bertekanan harus dalam keadaan baik;
g. tabung gas bertekanan harus terisi penuh, sesuai dengan kapasitasnya yang diperiksa dengan cara menimbang.
(5) Untuk alat pemadam api ringan jenis pompa tangan CTC (Carbon Tetrachiorida)
harus diadakan pemeriksaan lebih lanjut sebagai benikut:
a. peralatan pompa harus diteliti untuk memastikan bahwa pompa tersebut dapat bekerja dengan baik;
b. tuas pompa hendaklah dikembalikan lagi pada kedudukan terkunci sebagai semula;
c. setelah pemeriksaan selesai, bila dianggap perlu segel diperbaharui.

Pasal 14
Petunjuk cara-cara pemakaian alat pemadam api ringan harus dapat dibaca dengan jelas.

Pasal 15
(1) Untuk setiap alat pemadam api ringan dilakukan percobaan secara berkala dengan jangka waktu tidak melebihi 5 (lima) tahun sekali dan harus kuat menahan tekanan coba menurut ketentuan ayat (2),(3), dan ayat (4), Pasal ini selama 30 (tiga puluh) detik.
(2) Untuk alat pemadam api jenis busa dan cairan harus tahan terhadap tekanan coba sebesar 20 kg per cm2.
(3) Tabung gas pada alat pemadam api ringan dan tabung bertekanan tetap (stored pressure) harus tahan terhadap tekanan coba sebesar satu setengah kali tekanan kerjanya atau sebesar 20 kg per cm2 dengan pengertian. kedua angka tersebut dipilih yang terbesar untuk dipakai sebagai tekanan coba.
(4) Untuk alat pemadam api ringan jenis Carbon Dioxida (CO2) harus dilakukan percobaan tekan dengan syarat:
a. percobaan tekan pertama satu setengah kali tekanan kerja;
b. percobaan tekan ulang satu setengah kali tekanan kerja;
c. jarak tidak boleh dari 10 tahun dan untuk percobaan kedua tidak lebih dari 10 tahun dan untuk percobaan tekan selanjutnya tidak boleh lebih dari 5 tahun.
(5) Apabila alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) setelah diisi dan oleh sesuatu hal dikosongkan atau dalam keadaan dikosongkan selama lebih dan 2 (dua) tahun terhitung dan setelah dilakukan percobaan tersebut pada ayat (4), terhadap alat pemadam api tersebut harus dilakukan percobaan tekan ulang sebelum diisi kembali dan jangka waktu percobaan tekan berikutnya tidak boleh lebih dari 5 (lima) tahun.
(6) Untuk tabung-tahung gas (gas containers) tekanan cobanya harus memenuhi ke tentuan seperti tersebut ayat (4) Pasal ini.
(7) Jika karena sesuatu hal tidak mungkin dilakukan percobaan tekan terhadap tabung alat pemadam api dimaksud Pasal 15 ayat (6) di-atas, maka tabung tersebut tidak boleh digunakan sudah 10 (sepuluh) tahun terhitung tanggal pembuatannya dan selanjutnya dikosongkan.
(8) Tabung-tabung gas (gas containers) dan jenis tabung yang dibuang setelah digunakan atau tabungnya telah terisi gas selama 10 (sepuluh) tahun tidak diperkenankan dipakai lebih lanjut dan isinya supaya dikosongkan.
(9) Tabung gas (tahung gas containers) yang telah dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk dipakai lebih lanjut harus dimusnahkan.

Pasal 16
Apabila dalam pemeriksaan alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 terdapat cacat karena karat atau beratnya berkurang 10% dari berat seharusnya, terhadap alat pemadam api tersebut harus dilakukan percobaan tekan dan jangka waktu percobaan tekan berikutnya tidak boleh lebih dari 5 (lima tahun).

Pasal 17
Setelah dilakukan percobaan tekan terhadap setiap alat pemadam api ringan, tanggal percobaan tekan tersebut dicatat dengan cap diselembar pelat logam pada badan tabung.

Pasal 18
(1) Setiap tabung alat pemadam api ringan harus diisi kembali dengan cara:
a. untuk asam soda, busa, bahan kimia, harus diisi setahun sekali;
b. untuk jenis cairan busa yang dicampur lebih dahulu harus diisi 2 (dua) tahun sekali;
c. untuk jenis tabung gas hydrocarbon berhalogen, tabung harus diisi 3 (tiga tahun sekali, sedangkan jenis Iainnya diisi selambat-lambatnya 5 (lima) tahun
(2) Waktu pengisian tersebut ayat (1) disesuaikan dengan lampiran 3.
(3) Bagian dalam dari tabung alat pemadam api ringan hydrocarbon berhalogen atau tepung kering (dry chemical) harus benar-benar kering sebelum diisi kembali

Pasal 19
Alat pemadam api ringan jenis cairan dan busa diisi kembali dengan cara:
(1) Bagian dalam dari tabung alat pemadam api jenis cairan dan busa (Chemical. harus dicuci dengan air bersih)
(2) Saringan, bagian dalam tabung, pipa pelepas isi dalam tabung dan alat-alat expansi tidak boleh buntu atau tersumbat.
(3) Pengisian ulang tidak boleh melewati tanda batas yang tertera.
(4) Setiap melakukan penglarutan yang diperlukan, harus dilakukan dalam bejana yang tersendiri.
(5) Larutan sodium bicarbonat atau larutan lainnya yang memerlukan penyaringan pelaksanaannya dilakukan secara menuangkan kedalam tabung melalui saringan.
(6) Timbel penahan alat lainnya untuk menahan asam atau larutan garam asam ditempatkan kembali ke dalam tabung.
(7) Timbel penahan yang agak longgar harus diberi lapisan tipis/petroleum jelly sebelum dimasukan.
(8) Tabung gas sistim dikempa harus diisi dengan gas atau udara sampai pada batas tekanan kerja, kemudian ditimbang sesuai dengan berat isinya termasuk lapisan zat pelindung.

Pasal 20
Alat pemadam api ringan jenis hydrocarbon berhalogen harus diisi kernbali dengan cara: (1) Untuk tabung gas bertekanan, harus diisi dengan gas atau udara kering sampai batas tekanan kerjanya.
(2) Tabung gas bertekanan dimaksud ayat (1) harus ditimbang dan lapisan cat pelidung dalam keadaan baik.
(3) Jika digunakan katup atau pen pengaman, katup atau pen pengaman tersebut harus sudah terpasang sebelum tabung dikembalikan pada kedudukannya.

Pasal 21
(1) Alat pemadam api ringan jenis tepung kering (dry chemical) harus diisi dengan cara:
a. Dinding tabung dan mulut pancar (nozzle) dibersihkan dan tepung kening (dry chemical) yang melekat;
b. Ditiup dengan udara kering dan kompressor;
c. Bagian sebelah dalam dari tabung harus diusahakan selalu dalam keadaan kering;
(2) Untuk tabung gas bertekanan harus ditimbang dan lapisan cat perlindungan harus dalam keadaan baik.
(3) Katup atau pen pengaman harus sudah terpasang sebelum tabung dikembalikan pada kedudukannya.

Pasal 22
(1) Semua alat pemadam api ringan sebelum diisi kembali sebagaimana dimaksud Pasal 18, 19, 20 dan Pasal 21, harus dilakukan pemeriksaan sesuai ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dan kemungkinan harus dilakukan tindakan sebagai berikut:
a. Isinya dikosongkan secara normal;
b. Setelah seluruh isi tabung dialihkan keluar, katup kepala dibuka dan tabung serta alat-alat diperiksa.
(2) Apabila dalam pemeriksaan alat-alat tersebut ayat (1) terdapat adanya cacat yang rnenyebabkan kurang amannya alat pemadam api dimaksud, maka segera harus diadakan penelitian.
(3) Bagian dalam dan luar tabung, harus diteliti untuk memastikan bahwa tidak terdapat tubang-lubang atau cacat karena karat.
(4) Setelah cacat-cacat sebagaimana tersebut ayat (3) yang mungkin mengakibatkan kelemahan konstruksi diperbaiki, alat pemadam api harus diuji kembali dengan tekanan sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 15.
(5) Ulir tutup kepala harus diberi gemuk tipis, gelang tutup ditempatkan kembali dan tutup kepala dipasang dengan mengunci sampai kuat.
(6) Apabila gelang tutup seperti tersebut ayat (5) terbuat dari karet, harus dijaga gelang tidak terkena gemuk.
(7) Tanggal, bulan dan tahun pengisian, harus dicatat pada badan alat pemadam api ringan tersebut.
(8) Alat pemadam api ringan ditempatkan kembali pada posisi yang tepat.
(9) Penelitian sebagaimana tersebut ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga terhadap jenis yang kedap tumpah dan botol yang dipecah.

Pasal 23
Pengisian kembali alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 22 tersebut diatas.

Pasal 24
Pengurus harus bertanggung jawab terhadap ditaatinya peraturan ini.


BAB IV KETENTUAN PIDANA
Pasal 25
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan tersebut Pasal 24 diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah) sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Alat pemadam api ringan yang sudah dipakai atau digunakan sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan, pengurus diwajibkan memenuhi ketentuan peraturan ini dalam waktu satu tahun sejak berlakunya Peraturan ini.


BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 April 1980
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HARUN ZAIN


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi NOMOR : PER.01/MEN/1981 TENTANG KEWAJIBAN MELAPOR PENYAKIT AKIBAT KERJA


Menimbang :
a. bahwa penyakit akibat kerja berat bertalian dengan kemajuan teknologi sehingga pengetahuan tentang penyakit-penyakit tersebut perlu dikembangankan antara lain dengan pemilikan data yang lengkap;
b. bahwa “untuk melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja terhadap pengaruh akibat kerja, perlu adanya tindakan pencegahan lebih lanjut;
c. bahwa penyakit akibat kerja yang diderita oleh tenaga kerja merupakan suatu kecelakaan yang harus dilaporkan.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 14 tahun 1964;
2. Undang-undang No. 2 tahun 1951;
3. Undang-undang No. 1 tahun 1970;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi Nomor Per. 02/Men/1980

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi TENTANG KEWAJIBAN MELAPORKAN PENYAKIT AKIBAT KERJA.


Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ini dengan:
a. Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
b. Pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin langsung suatu kegiatan kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
c. Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja ialah dokter atau pegawai yang berkeahlian khusus yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
d. Dokter ialah dokter sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per. 02/Men/1980.

Pasal 2
(1) Apabila dalam pemeriksaan kesehatan bekerja dan pemeriksaan kesehatan khusus sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per. 02/Men/1980 ditemukan penyakit kerja yang diderita oleh tenaga kerja, pengurus dan Badan yang ditunjuk wajib melaporkan secara tertulis kepada Kantor Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja setempat.
(2) Penyakit akibat kerja yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 3
(1) Laporan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) harus dilakukan dalam waktu paling lama 2 x 24 jam setelah penyakit tersebut dibuat diagnosanya.
(2) Bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja.

Pasal 4
(1) Pengurus wajib dengan segera melakukan tindakan-tindakan preventif agar penyakit akibat kerja yang sama tidak terulang kembali diderita oleh tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya.
(2) Apabila terdapat keraguan-keraguan terhadap hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Dokter, pengurus dapat meminta bantuan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam hal ini aparatnya untuk menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja.
(3) Pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

Pasal 5
(1) Tenaga kerja harus memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan bila diperiksa oleh Dokter atau pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Tenaga kerja harus memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat kerja.
(3) Tenaga kerja harus memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat untuk pencegahan penyakit akibat kerja.
(4) Tenaga kerja berhak meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat-syarat pencegahan penyakit akibat kerja sebagaimana ditetapkan pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3).
(5) Tenaga kerja berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan pada pekerjaan yang diragukan keadaan pencegahannya terhadap penyakit akibat kerja.

Pasal 6
(1) Pusat Bina Hygiene Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja menyelenggarakan latihan-latihan dan penyuluhan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, dalam meningkatkan pencegahan penyakit akibat kerja.
(2) Pusat Bina Hygiene Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan badan-badan lain yang ditunjuk oleh Menteri menyelenggarakan bimbingan diagnostik penyakit akibat kerja.

Pasal 7
Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970 melakukan pengawasan terhadap ditaatinya pelaksanaan peraturan ini.

Pasal 8
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan-ketentuan dalam peraturan Menteri ini, diancam dengan hukuman sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja.

Pasal 9
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 04 April 1981
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HARUN ZAIN



PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR : PER. 01/MEN/1982 TENTANG BEJANA TEKANAN

Menimbang :
a. bahwa dengan meningkatnya pembangunan khususnya dibidang teknologi baru, maka dalam proses produksi banyak digunakan tekanan.
b. bahwa dalam pembuatan, pemasangan, pemakaian, pengisian dan perawatan bejana tekanan terkandung bahaya potensial bagi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja.
c. bahwa untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja tersebut dalam pembuatan, pemasangan, pemakaian, dan perawatan bejana tekanan perlu diatur lebih lanjut.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja (LN. - 1970 No. 1);
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Transmigrasi dan Koperasi No. Kep. 79/Men/1977 tentang Penunjukan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :
I. Mencabut:
1. Surat Keputusan Kepala Jawatan Pengawasan Keselamatan Kerja No. 1/Bb3/P/62 tanggal 1 Desember 1962 tentang Pengaturan Khusus Mengenai Perusahaan Pabrik-pabrik, bengkel-bengkel dimana dibuat, dipakai dikempa Gas di dalam Botol baja, silinder atau bejana (Peraturan Khusus FF).
2. Surat Keputusan Kepala Jawatan Pengawasan Keselamatan Kerja No. 3/Bp 3/P tanggal 17 Desember 1960 tentang Peraturan Khusus DD, untuk Bejana-bejana berisi dengan udara yang dikempa dan dipergunakan untuk menggerakan motor- motor, diesel (Peraturan Khusus DD).

II. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi tentang Bejana Tekanan.


BAB I ISTILAH-ISTILAH
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Direktur ialah sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. Kep. 79/Men/1977.
b. Pegawai Pengawas ialah sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Transmigrasi dan Koperasi No. Per. 03/Men/ Tahun 1978.
c. Pengurus ialah Orang atau Badan Hukum seperti dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 yang bertanggung-jawab terhadap penggunaan bejana tekanan dengan aman.
d. Pengusaha ialah Orang atau Badan Hukum seperti yang dimaksud dalam Undang- undang No. 1 tahun 1970, yang memiliki bejana tekanan.
e. Bejana Tekanan ialah bejana selain Pesawat Uap di dalamnya terdapat tekanan yang melebihi dari tekanan udara luar, dan dipakai untuk menampung gas atau campuran gas termasuk udara, baik dikempa menjadi cair dalam keadaan larut atau beku.
f. Termasuk bejana tekanan dimaksud pada huruf e di atas ialah:
1. Botol-botol baja yang mempunyai volume air paling tinggi 60 Liter.
2. Bejana transport yang mempunyai volume air lebih dari 60 Liter yang digunakan untuk penyimpanan maupun pengangkutan.
3. Pesawat pendingin yang digunakan sebagai pendingin suatu zat dengan memproses gas pendingin yang berada di dalam pesawat, sedemikian rupa sehingga temperatur gas pendingin tersebut lebih rendah dari pada temperatur sekitarnya dan dapat menyerap temperatur zat atau temperatur ruangan yang lebih tinggi menjadi lebih rendah sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki.
4. Bejana penyimpanan gas atau campuran dalam keadaan padat dikempa menjadi cair terlarut atau terbeku.
g. Batas mulur ialah muatan dalam kilogram pada batas mulur terendah dibagi penampang semula dari batang coba dalam milimeter persegi atau jika batas mulur terendah tidak mungkin didapat, batas mulur terendahnya ialah muatan pada percobaan tarik dalam kilogram, dimana panjang yang diukur pada batang coba menunjukan pemuaian tetap sebesar kelebihan 0,2 % dibagi dengan penampang pada batang semula dalam milimeter persegi.
h. Kekuatan tarik ialah muatan tertinggi dalam kilogram yang dapat dibebankan kepada batang coba dibagi dengan penampang batang coba semula dalam milimeter persegi.
i. Regang hingga putus ialah kelebihan dari panjang batang coba setelah diuji, dihitung dalam prosentasi terhadap panjang batang coba semula.
j. Alat Pengaman ialah semua alat perlengkapan bejana, tekanan yang ditunjukan untuk melengkapi bejana agar pemakaiannya dapat digunakan dengan aman.
k. Pemeriksaan bejana tekanan ialah pemeriksaan dari luar dan dalam baik menggu- nakan alat-alat bantu maupun tidak.
l. Pengujian ialah pemeriksaan dan semua tindakan untuk mengetahui kemampuan bahan dan konstruksi bejana tekanan.


BAB II RUANG LINGKUP
Pasal 2
Peraturan ini berlaku untuk perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan, dan penyimpanan bejana tekanan.

Pasal 3
Untuk pesawat pendingin serta bagian-bagiannya yang bertekanan kurang dari 20 kg/cm2 atau bagiannya yang mempunyai isi kurang dari 10 liter bilamana dapat ditutup tersendiri, hanya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 9 ayat (1), (2), (4) dan (5), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 22 ayat (4) sub b, Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 26.

Pasal 4
Peraturan ini tidak berlaku untuk bejana-bejana yang bertekanan kurang dari 2 kg/cm2 dan atau bejana-bejana yang mempunyai isi (air) kurang dari 220 cm3.


BAB III SYARAT-SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Pasal 5
(1) Bahan dan konstruksi bejana tekanan harus cukup kuat dan memenuhi syarat.
(2) Bahan dari bejana tekanan yang dibuat dari baja zat arang harus mempunyai kekuatan tarik tidak kurang dari 35 kg/mm2, dan tidak lebih dari 56 kg/mm2 kecuali jika bejana tekanan itu tidak mempunyai sambungan kekuatan tariknya setinggi-tingginya 75 kg/mm2.
(3) Angka regang hingga putus dalam proses dari baja zat arang pada batang coba d.p 5 sekurang-kurangnya sesuai dengan lampiran 1.
(4) Bilamana tebal bahan yang termaksud dalam ayat 2, kurang dari 8 mm, maka untuk setiap milimeter yang menjadi kekurangan dari 8 mm tadi angka regang boleh kurang dari yang ditetapkan pada lampiran 1.
(5) Apabila bejana-bejana tersebut dibuat selain baja zat arang bahannya harus mempunyai sifat-sifat yang diperlukan bagi tujuan pemakaian dan mendapat persetujuan dari Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya.
(6) Batang coba untuk percobaan kekuatan tarik dari pelat bahan bejana harus diambil dari jurusan memanjang.

Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut Pasal 5 maka:
a. Untuk bejana-bejana harus disertai sertifikat asli dari bahan konstruksinya dari badan yang tidak memihak dan diakui.
b. Bejana-bejana tekanan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam dasar-dasar perhitungan kekuatan konstruksi bejana tekanan yang dikeluarkan Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.
(2) Botol-botol yang dipergunakan untuk Acetyllen terlarut dalam aceton harus seluruhnya diisi dengan sesuatu massa yang mengandung kerinik (Forous massa) yang merata.
(3) Bahan kerenik aceton maupun acetyllen dan persenyawaannya harus tidak merusak bahan botol.
(4) Bahan keramik harus tidak melesak atau mengkeret dan tidak menim-bulkan kantong- kantong karena sentuhan atau temperatur sampai 50 °C.
(5) Bejana tekanan baru yang tidak mempunyai sambungan dan dibuat dari baja leleh harus bebas dari lekuk-lekuk gilingan atau lekuk-lekuk tarik, capuk-capuk, keriput- keriput dan cacat lainnya.
(6) Khusus bejana tekanan yang diproses dan ditarik dari blok yang panas tidak boleh mempunyai lubang-lubang angin di dalamnya atau bagian-bagian yang melekuk keluar maupun melekuk kedalam seperti bekas stempel dari pabrik pembuat atau tanda pengesahan, bagian-bagian yang menonjol atau cekung dapat mempengaruhi kekuatan konstruksi.
(7) Perbaikan dengan secara las pada bejana-bejana yang baru yang tidak mempunyai sambungan tidak diperbolehkan.

Pasal 7
(1) Setiap botol saja harus diperlengkapi dengan katup penutup yang baik kecuali bagi botol-botol yang dirangkaikan satu sama lainnya diperbolehkan memakai satu katup penutup bersama, jika dari sudut keselamatan dapat dipertanggung jawabkan.
(2) Ulir penghubung pada botol-botol baja dengan pipa pengisi yang dipergunakan untuk gas yang mudah terbakar harus ke kiri, sedangkan untuk las lainnya harus mempunyai ulir kanan, kecuali untuk botol acetyllene harus mempunyai ulir kanan atau dengan penghubung sengkang.
(3) Katup penutup untuk botol acetyllen atau amoniak harus seluruhnya dari baja, sedangkan katup-katup penutup botol gas lainnya harus seluruhnya dari perunggu atau logam lain yang cukup baik.
(4) Ukuran katup penutup harus dibuat sedemikian rupa, sehingga jarak dinding bagian dalam kap pelindung dengan bagian-bagian katup penutup paling sedikit 3 milimeter.
(5) Konstruksi mur paking dari batang katup dari katup penutup harus mempunyai pengaman sedemikian rupa sehingga tidak akan berputar apabila batang katup diputar, kecuali apabila mur paking dapat dibuka maka batang katup tidak boleh turut lepas dan isi botol tidak dapat keluar.
(6) Katup penutup pada botol baja yang berisi acetyllen terlarut dalam aceton harus sedemikian rupa sehingga kebocoran gas rnelalui batang katup tidak mungkin terjadi pada setiap kedudukan dari katupnya.

Pasal 8
(1) Katup penutup botol baja harus diberi tutup pelindung yang baik dan kuat yang diberi lubang dengan garis tengah sekurang-kurangnya 6 1/2 mm dan apabila diberi dua lubang atau lebih maka garis tengahnya sekurang-kurangnya 5 mm serta tutup pelindung harus selalu dipasangkan kecuali jika sedang dipergunakan.
(2) Alat-alat pemadam api ringan dan alat untuk bernafas yang kecil tidak diharuskan adanya tutup pelindung.
(3) Katup penutup bejana-bejana transport harus dilindungi dengan sebaik-baiknya.
(4) Lubang pengeluaran gas dari katup penutup harus dilengkapi dengan mur-mur penutup atau sumbat penutup berulir untuk menjaga masuknya kotoran dan air sebagai penghalang terhadap bocoran-bocoran gas.

Pasal 9
(1) Bejana yang berisi gas atau gas campuran yang dapat menimbulkan tekanan melebihi (atmel) lebih tinggi dari yang diperbolehkan harus diberi tingkap pengaman atau alat pengaman sejenis yang dapat bekerja dengan baik.
(2) Bejana tekanan yang berisi gas atau gas campuran yang dikempa menjadi cair melarut atau menjadi padat dan gas yang dipanasi sampai melebihi 50°C, termasuk juga bagian dari pesawat pendingin yang dipanasi harus diberi tingkap pengaman, kecuali apabila telah terdapat pelat patah, atau alat yang dapat menunjukan dengan segera berat dari pada gas atau campuran gas yang berada di dalamnya.
(3) Tingkap pengaman tersebut harus bekerja bilamana tekanan melebihi lebih besar dari tekanan kerja yang diperbolehkan.
(4) Bejana tekanan yang berisi gas atau campuran dalam keadaan cair terlarut atau padat akan dipakai sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) sub e pada tekanan yang lebih rendah dari pada 2/3 dari tekanan percobaan (PI), terhadap botol-botol dan bejana transport untuk gas atau campuran seperti tersebut Pasal 14 ayat (1) dan (5) kecuali ditetapkan pada ayat (5) Pasal ini harus diberi tingkap pengaman.
(5) Bilamana karena sifatnya gas atau lain keadaan khusus tingkap pengaman tidak dapat dipergunakan, maka bejana yang bersangkutan harus diberi suatu pelat pengaman yang dapat pecah apabila meningkat sampai dengan 5/4 kali tekanan yang diperbolehkan.
(6) Semua alat pengaman dalam Pasal ini seluruhnya harus bekerja dalam keadaan baik dan harus berhubungan langsung dengan bejana.
(7) Alat-alat pengaman yang dihubungkan dengan pipa pembuang yang tidak dapat tertutup harus dibuat sedemikian rupa sehingga gas dan uap harus disalurkan langsung dengan pipa pembuang di atas atap bangunan.
(8) Pipa pembuang tersebut ayat (7) harus lebih tinggi 1 meter dari atap dan ujungnya harus dilengkungkan ke bawah.

Pasal 10
(1) Setiap bejana tekanan, kompresor yang memadat gas ke dalam bejana dan pesawat pendingin harus diperlengkapi dengan pedoman tekanan yang dapat ditempatkan pada kompresornya atau mesin pendinginnya selama masih berhubungan secara langsung.
(2) Pedoman tekanan harus dapat menunjukan tekanan melebihi dalam kg/cm2 dengan jelas dan benar sampai sekurang-kurangnya sebesar tekanan percobaan dari bejana tekanan itu.
(3) Pedoman tekanan harus dipasang sedemikian rupa sehingga tenaga kerja yang melayani dapat melihatnya dengan mudah.
(4) Pedoman tekanan harus dibubuhi strip merah pada tekanan kerja tertinggi yang diperbolehkan.
(5) Pedoman tekanan harus diperlengkapi dengan sebuah keran cabang tiga yang mempunyai plendes dengan garis tengah 40 mm dan tebal 5 mm.

Pasal 11
(1) Bejana tekanan yang berisi gas atau gas campuran yang dipadatkan menjadi gas cair yang tidak dilengkapi dengan alat pengaman sesuai Pasal 9 ayat (2), (3), atau (4) harus dilengkapi suatu alat untuk menentukan berat gas atau gas campuran yang dicairkan yang berada dalam bejana itu.
(2) Bejana tekanan yang berisi gas dalam keadaan beku harus diperlengkapi dengan alat yang dapat menunjukan berat gas dalam kg yang dapat diisikan yang nilainya tidak melebihi hasil bagi isi bejana dalam liter dengan nilai volume jenis (V) seperti tersebut pada lampiran 2.
(3) Bagian bawah dari bejana yang berisi gas terpadat harus diberi alat pembuang gas yang baik dan mudah dilayani.

Pasal 12
(1) Botol-botol dan bejana-bejana transport harus diberi alat anti guling untuk menghindarkan menggelindingnya botol-botol atau bejana transport tersebut kecuali botol dan bejana transport yang karena pengangkutannya ataupun pemakaiannya tidak mungkin menggelinding.
(2) Alat anti guling tidak boleh berhubungan dengan tutup pelindungnya.

Pasal 13
(1) Tingkap penurun tekanan pada bejana untuk zat asam harus dipasang sedemikian rupa sehingga tingkap pengamannya harus berdiri tegak menghadap ke atas.
(2) Tingkap penurun tekanan bejana zat air harus dipasang berdiri sedemikian rupa sehingga pada waktu tingkap dibuka tidak terjadi penyalaan.
(3) Pedoman-pedoman tekanan dari tingkap penurun tekanan harus dipasang sedemikian rupa sehingga mudah dibaca dan harus terhindar dari sentuhan bagian-bagian tingkap penurun tekanan yang bergerak.
(4) Untuk gas yang mudah beroxyda pemakaian tingkap penutup maupun tingkap penurun, tekanannya harus dibuat sedemikian rupa sehingga kejutan tekanan dalam tingkap penurun tekanan dapat diatasi.
(5) Semua alat perlengkapan termasuk tingkap penurun tekanan dari bejana tekanan untuk zat asam dan lain gas yang mudah beroksidasi dilarang menggunakan gemuk dan bahan-bahan pelumas yang mengandung minyak dan paking yang mudah terbakar.

Pasal 14
Untuk botol-botol dan bejana transport berisi gas atau campuran gas yang dipadat menjadi gas cair atau terlarut harus sesuai dengan persyaratan tersebut lampiran 2.

Pasal 15
(1) Pada pemeriksaan pertama, bejana tekanan harus diadakan percobaan padat.
(2) Pada pemeriksaan ulang bejana tekanan tidak perlu diadakan percobaan padat dengan air apabila hasil pemeriksaan bejana luar dan dalamnya memberikan hasil yang baik, sehingga tidak perlu diadakan pengujian.
(3) Dalam pelaksanaan percobaan padat dengan air bejana tekanan tidak boleh berkeringat, bocor atau terjadi perubahan bentuk yang menetap melebihi 0,2 % dari isi bejana semula.
(4) Pada pemeriksaan dan pengujian ulang bejana transport atau botol baja beratnya harus ditetapkan kembali dan tidak boleh lebih kecil atau lebih besar 5% dari berat semula sesuai dengan tanda-tanda yang tercantum pada bejana transport atau botol baja tersebut.
(5) Jika perlu suatu bejana tekanan dapat diperiksa dengan mempergunakan alat-alat yang khusus.
(6) Botol-botol yang dipergunakan untuk acetyllen yang terlarut dalam aceton percobaan padat pertama dengan air dilakukan sebelum masa yang kerenik dimasukan dan setelah pemadatan pertama maka percobaan padat selanjutnya dari botol-botol ini tidak perlu dilakukan.

Pasal 16
(1) Setiap bahan dan bagian konstruksi bejana tekanan harus memiliki surat tanda hasil pengujian atau sertifikat bahan yang diakui.
(2) Apabila dianggap perlu, bejana tekanan dapat diuji bahannya, untuk setiap kelompok pembuatan itu lebih dari 200 buah maka dapat diambil 1/200 dari kelompok pembuatan dan jumlah dibulatkan keatas.
(3) Jika hasil pengujian dimaksud ayat (2) Pasal ini tidak memuaskan maka dapat diadakan pengujian ulang dari sejumlah kelompok botol tersebut.
(4) Pada pemeriksaan pertama bilamana dianggap perlu dapat diadakan pengujian untuk memeriksa lebih jauh tentang bahan atau sambungan dari bejana tekanan.
(5) Untuk gas atau campuran yang tidak tercantum dalam tabel tersebut lampiran 2 nilai dari P1, P8, V dan n ditetapkan oleh Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.
(6) Tekanan Po tersebut dalam lampiran 2 berlaku untuk temperatur 15°C, untuk temperatur selain 15°C, Po harus diperhitungkan tersendiri.
(7) Setiap perbedaan satu derajat diatas atau dibawah temperatur 15°C, sebagaimana dimaksud ayat (3) tekanan P harus ditambah atau dikurangi dengan 0,4 kg/cm2 untuk acetyllen terlarut 0,43 kg/cm2 untuk gas minyak dan 0,52 kg/cm2 untuk gas lainnya.
(8) Untuk butan, isobutan, propan yang dikempa, menjadi padat dan menjadi cair atau campuran berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam mengangkut gas-gas tersebut ditetapkan lima macam bejana transport atau botol digolongkan menurut tekanan pemadatannya dengan tekanan melebihi (P1) = 10, 15, 20, 25 dan 30 kg/cm2.
b. Bejana-bejana transport atau botol-botol tersebut pada sub a tidak boleh diisi selain dengan gas butan, isobutan dan propan, dengan tekanan lebih dari 2/3 tekanan P1 sub a pada temperatur 50°C.
c. Ukuran volume jenis dalam dm3/kg yang diperuntukan bagi bejana transport atau botol dari gas-gas yang diterangkan dalam Pasal ini (V) ditentukan dengan rumus: V = 0,8 × (2V - 1)
V adalah isi jenis dalam liter untuk setiap kg, dari gas yang dipadat menjadi cair diukur pada 15°C.
d. Jangka waktu pengujian ulang tidak boleh lebih dari 5 (Lima) tahun.
(9) Tekanan melebihi (etmel) dalam kg/cm2 yang dipakai untuk memadat bejana tekan dengan air adalah 1 1/2 x (satu setengah kali) atau 2 (dua) kali dari tekanan melebihi yang akan dipergunakan oleh bejana tekanan.
(10) Dengan tidak membedakan bejana tekanan yang dapat atau tidak dapat diperiksa dari dalam, jangka waktu pengujian ulang tidak boleh lebih dari 5 (Lima) tahun.

Pasal 17
(1) Apabila dianggap perlu dari botol acetyllen terlarut dalam aceton pada pengujian pertamanya dapat diambil beberapa botol, untuk diadakan pemeriksaan dan pengujian masa idi kareniknya.
(2) Pengujian ulang dengan mengadakan pemeriksaan luar dan dalam (masa kareniknya) dengan sempurna sekurang-kurangnya harus diadakan setiap 5 (Lima) tahun dengan pengambilan contoh paling banyak 1 (satu) buah tiap-tiap kelompok 200 atau 1/200 dari kelompok botol-botol tersebut dibulatkan keatas.
(3) Apabila dalam pengujian dimaksudkan ayat (2) Pasal ini menunjukan adanya lubang- lubang dalam masa kareniknya, maka terhadap kelompok botol-botol itu diadakan pengujian kembali dengan pengambilan contoh lagi dari kelompok botol acetyllen tersebut.
(4) Jika dalam pengujian dimaksud ayat (3) Pasal ini tidak memberikan hasil yang memuaskan maka terhadap kelompok botol-botol yang bersangkutan diadakan pengambilan contoh lagi untuk pengujian kembali sehingga didapatkan hasil pengujian yang memuaskan.

Pasal 18
(1) Setiap pengujian bejana tekanan yang menunjukan hasil baik, pegawai pengawas yang bertugas memeriksa harus memberikan tanda baik pada bejana yang bersangkutan dengan dibubuhi pula nomor kode wilayah, bulan dan tahun pengujian.
(2) Hasil pengujian dan tanda baik hanya berlaku dalam jangka waktu seperti ditetapkan pada Pasal 14 ayat (5) dan (7).
(3) Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya tanda baik dimaksud ayat (1) Pasal ini pengurus atau pengusaha yang memiliki bejana tekanan harus memberitahukan kepada Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 19
Bila dianggap perlu Direktur atau pejabat yang ditunjuknya dapat melakukan atau pengujian ulang terhadap bejana-bejana tekanan yang sudah dibubuhi tanda baik, sebelum masa berlakunya berakhir.

Pasal 20
Direktur menentukan bentuk dan cara pemberian tanda baik dan tidak dari hasil pengujian bejana tekanan.

Pasal 21
(1) Pengurus atau pengusaha yang memiliki bejana tekanan wajib membantu pegawai pengawas yang melakukan pemeriksaan dan pengujian berupa tenaga kerja, alat-alat lain yang diperlukan untuk pemeriksaan dan pengujian.
(2) Biaya pemeriksaan dan pengujian yang dimaksud dalam Pasal 16 dibebankan kepada pengusaha yang memiliki bejana tekanan atau yang mengajukan permohonan.

Pasal 22
(1) Setiap bejana diberikan tanda-tanda pengenal sebagai berikut:
a. Nama pemilik.
b. Nama dan nomor urut pabrik pembuat.
c. Nama gas yang diisikan (bukan simbol kimia).
d. Berat dari botol baja dalam keadaan kosong tanpa keran dan tutup. e. Tekanan pengisian yang diijinkan kg/cm2 (Po).
f. Berat maximum dari isinya untuk bejana berisi gas yang dikempa menjadi cair. g. Besarnya volume bila diisi air untuk bejana berisi gas yang dikempa.
h. Tanda dari bahan pengisi (untuk botol baja yang berisi larutan acetyllen). i. Bulan dan tahun pemadatan pertama dan berikutnya.
(2) Terhadap botol baja yang berisi gas dimaksud Pasal 14 ayat (5) tanda-tanda pengenal dimaksud ayat 1 sub e dan f Pasal ini harus diganti dengan tanda 2 = Campuran I, Campuran II, Campuran III, Campuran IV dan Campuran V dengan ketentuan tekanan pemadatannya (P1) masing-masing sebesar 10, 15, 20, 25 dan 30 kg/cm2 demikian juga isinya dalam liter.
(3) Bagi botol acetyllen yang dilarutkan dalam aceton tanda-tanda pengenal ayat 1 sub g Pasal ini harus diganti dengan berat tarra, yaitu berat dari jumlah botol yang kosong dengan tingkap massa kerenik dan banyaknya aceton yang diperkenankan.
(4) Tanda-tanda pengenal seperti dimaksud ayat (1), (2) dan (3), Pasal ini harus jelas dan tidak dapat dihapus serta dicapkan pada bagian kepala yang tebal dari dinding bejana tekanan yang mudah dilihat dan dibaca dan tidak mudah dilepas, kecuali jika pengecapan tidak dimungkinkan maka dapat dicantumkan pada plat tersendiri pada bagian-bagian bejana.
(5) Pengecapan tanda pengenal pada bejana tekanan yang mempunyai tebal plat kurang dari 4 mm adalah dilarang.
(6) Direktur atau pejabat yang ditunjuknya berwenang menentukan penempatan lain tanda-tanda dimaksud ayat-ayat pada Pasal ini.

Pasal 23
(1) Bejana tekanan atau yang dipergunakan untuk zat asam, harus dicat biru muda.
(2) Bejana tekanan yang dipergunakan untuk gas yang mudah terbakar harus dicat warna merah.
(3) Bejana tekanan yang dipergunakan untuk gas yang beracun harus dicat warna kuning.
(4) Bejana tekanan untuk gas yang beracun dan juga mudah terbakar harus dicat warna kuning dan merah.


BAB IV PENGISIAN
Pasal 24
(1) Sebelum diisi bejana-bejana tekanan harus dibersihkan dan diperiksa dari adanya karatan atau retakan-retakan yang dapat membahayakan.
(2) Pada pengisian bejana tekanan dengan gas beroxyd dan gas yang mudah terbakar harus dilaksanakan secara langsung tanpa hambatan dan harus terhindar dari bahan yang membahayakan, baik di luar maupun di dalam bejana.
(3) Bila ternyata terdapat bahan-bahan yang membahayakan, sebelum pengisian menurut ayat (1) bejana harus dibersihkan yang lebih teliti.

Pasal 25
(1) Pada pengisian bejana tekanan dengan zat asam, sisa tekanan yang mungkin masih ada harus dihilangkan sama sekali, dan gas yang dikeluarkan itu diperiksa baunya secara teliti sehingga tingkapnya diketahui tidak ada kotoran bahan-bahan yang mudah terbakar.
(2) Aceton yang diisikan ke dalam botol acetyllen boleh melebihi 42% dari masa kerenik. (3) Bejana tekanan bekas syanida (misalnya gas batu bara) tidak boleh diisikan dengangas lain apabila membersihkan bajanya kurang sempurna.

Pasal 26
(1) Cara membersihkan botol zat asam arang, zat lemas, zat air dan sebagainya harus sesuai dengan ketentuan ayat (3) Pasal 24 atau dilakukan sebagai:
1. Tingkap dilepas, botol dibalik dan dipukuli dengan palu kayu sehingga karatnya dan lain-lain kotoran dapat jatuh keluar.
2. Botol disandarkan kepala di bawah dengan sudut 20°, dimasukan pipa uap yang hampir sampai dasar botol, disemprot dengan uap selama 2 (dua) jam, setiap setengah jam botol diputar 90 derajat.
3. Kemudian botol didirikan dengan kepala di bawah selama 2 (dua) jam sehingga air dapat mengalir keluar.
4. Selanjutnya botol didirikan kembali dan melalui pipa yang hampir sampai dasar disemprot dengan angin kering selama 20 menit.
(2) Cara membersihkan botol untuk gas beroxcyd dilakukan sesuai dengan ayat (3) Pasal 24 dan ayat (1) Pasal ini ditambah dengan cara berikut:
1. Botol yang sudah dikeringkan diisi dengan sedikit-dikitnya 1 Liter totual, benzol atau bensin dan ditutup rapat-rapat kemudian diputar balikan selama 15 menit dengan penempatan tengah-tengah botol di atas balok.
2. Bahan cair tersebut dituangkan dalam botol gelas yang jernih didiamkan sampai semua kotoran turun, kemudian bahan cair diuji dan apabila ternyata masih kotor maka harus diulangi memasukan bahan cair lagi sampai bahan cair membilas tersebut bersih dan tidak berwarna.
3. Botol disemprot dengan uap kering selama satu jam kemudian dikeringkan dengan angin.
(3) Cara mengeringkan botol-botol dengan angin bertekanan atau zat lemas harus dijaga dengan gas yang dipergunakan untuk mengeringkan itu tidak mengandung minyak misalnya karena memadat dengan kompresor.

Pasal 27
(1) Pada gas-gas yang mudah terbakar, pesawat penggerak yang menjalankan kompresor gas harus dapat berhenti dengan sendirinya atau otomatis, bila tekanan melebihi dalam pipa pengisi kurang dari 5 mm kolom air.
(2) Dalam pembuatan zat asam dan zat air dengan cara electrolitis, zat asam yang dikempakan dalam botol hanya boleh mengandung 2% (persen) isi zat air, dan untuk zat air hanya boleh 1% isi zat asam tercampur dalam peredarannya.
(3) Tingkat kemurnian zat asam dan zat air yang dikempakan secara bersama ke dalam beberapa botol tidak tergantung pada analisa yang ditunjukan alat elektrolit, tetapi tingkat kemurnian zat tersebut harus diselidiki dengan cara mengambil salah satu botol dari yang isi bersama.

Pasal 28
Bejana-bejana tekanan yang tidak dibubuhi tanda “baik” yang sah atau dibubuhi tanda
“tidak baik” dilarang diisi atau dipakai.

Pasal 29
(1) Bejana-bejana tekanan tidak boleh dipakai dengan tekanan yang lebih tinggi dari pada tekanan kerja yang diijinkan.
(2) Bejana yang diisi dengan gas atau campuran gas dalam keadaan cair atau terlarut tidak boleh melebihi berat yang dinyatakan dengan kilogram dari gas atau campuran gas tersebut yaitu hasil bagi dari angka yang menunjukan isi bejana tekanan dalam liter dan nilai V sebagaimana lampiran 2 (dua).

Pasal 30
(1) Botol-botol baja atau bejana transport untuk gas cair selama diisi harus ditimbang untuk menetapkan adanya kemungkinan pengisian yang berlebihan, sesudahnya harus ditimbang kembali sebagai penelitian.
(2) Penimbangan penelitian dimaksud ayat (1) Pasal ini harus dilakukan dengan timbangan kontrol dimana botol baja atau bejana transport tersebut tidak diperbolehkan adanya sambungan-sambungan pengisi atau penyaluran yang melekat pada bejana tersebut yang dapat mengurangi penimbangan.
(3) Timbangan kontrol dimaksud ayat (2) Pasal ini diperiksa oleh pengurus perusahaan sekurang-kurangnya sebulan sekali.

Pasal 31
(1) Butan, isobutan, propan, campuran-campuran dari gas ini, juga gas tanah yang tidak berbau sebelum dipadat dalam pemadatan ke dalam bejana tekanan, dalam pemakaiannya harus dicampur dengan bau-bauan yang sesuai, sehingga apabila 1% dari gas tersebut berada di udara bebas segera dapat diketahui.
(2) Untuk carbon monooxyd dan zat cair dari gas ini juga tanah yang tidak berbau, sebelum dipadat dalam pemadatan ke dalam bejana tekanan, dalam pemakaiannya harus dicampur dengan bau-bauan yang sesuai sehingga apabila 1% dari gas tersebut berada di udara bebas segera dapat diketahui.

Pasal 32
(1) Sebelum diadakan pengisian ulang, botol acetyllen dissous atau acetylien terlarut dalam aceton harus mempunyai berat tarra:
1. Untuk botol-botol isi 40 liter tidak boleh berkurang 1 atau lebih.
2. Untuk botol-botol isi 5 liter tidak berkurang 0,2 kg atau lebih.
(2) Apabila berat tarra dimaksud ayat (1) berkurang, pengisian ulang ditangguhkan sesudahnya ditambah aceton atau bila perlu ditambah massa kerenik.

Pasal 33
(1) Dilarang memadat bejana tekanan dengan tekanan lebih besar dari tekanan pemadatan terakhir yang ditentukan.
(2) Dilarang mengadakan perubahan tanda pengenal yang tertera pada bejana tekanan sebagaimana dimaksud Pasal 22 dengan cara apapun selama bejana tekanan itu masih mempunyai tanda “baik” yang sah.
(3) Pengurus atau pengusaha yang mempunyai botol-botol atau bejana-bejana transport diharuskan mempunyai daftar (register) yang memuat:
1. tentang sejarah dan kemampuan:
a. nomor urut,
b. nama pembuat atau penjual botol, c. nomor seri pabrik pembuat,
d. nama gas yang diisikan, e. isi air dalam liter,
2. tentang percobaan padat:
a. tanggal,
b. tekanan melebihi untuk pemadatan, c. hasil-hasil percobaan.
3. Lain-lain:
a. nama pembeli apabila botol atau bejana-bejana transport yang dijual. b. catatan-catatan lainnya.
(4) Direktur atau pejabat yang ditunjuknya menentukan bentuk daftar (register) dimaksud ayat (3) Pasal ini.

Pasal 34
(1) Bejana tekanan isi maupun kosong tidak boleh dilempar atau dijatuhkan maka harus menggunakan alat perlengkapan yang baik dan praktis.
(2) Pengosongan bejana tekanan yang berisi gas beroxyd dan mudah terbakar, harus dilakukan dengan menyisahkan tekanan melebihi, untuk menjaga masuknya kotoran.
(3) Pengisian kembali bejana tekanan untuk zat asam dan gas beroxyd yang lain dila-rang memakai peralatan pemadat dan perlengkapan bejana yang mengandung gemuk dan minyak.
(4) Untuk mengisi dan mengosongkan kembali bejana tekanan untuk gas cair tidak boleh dipercepat dengan pemanasan langsung dengan api terbuka atau nyala gas, tetapi dapat menggunakan pemanasan dengan kain basah atau udara panas atau menggunakan alat pemanas listrik yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut, temperatur kontak bahan dipanaskan tidak boleh melebihi 40°C.
(5) Pada pengisian kembali bejana tekanan berisi acetyllen yang terlarut dalam aceton, bidang penghubung dari tingkat penurun tekanan harus dilapisi secara sempurna.

Pasal 35
(1) Dalam membangun tempat penyimpanan botol-botol baja dan bejana transport dengan jumlah yang besar harus diperhatikan bahaya-bahaya yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tempat penyimpanan tersebut atau bahaya-bahaya yang datang dari sekitarnya.
(2) Ruangan penyimpanan khusus untuk gas beracun menggigit, atau mudah terbakar dan ruangan penyimpanan botol-botol baja dan bejana transport yang kosong, harus mempunyai ventilasi yang cukup dan harus mempunyai pintu-pintu keluar atau pintu penyelamat
(3) Dalam satu ruangan hanya diperbolehkan ada satu bejana tekanan atau botol baja yang sedang dipergunakan, sebagai cadangan disimpan digudang atau ruangan lain yang ditentukan oleh Direktur sesuai dengan peraturan.
(4) Dilarang menaruh atau menyimpan bejana tekanan dan botol baja dekat tangga, gang, di muka lubang pemasukan angin, alat pengangkat dan benda-benda bergerak yang dapat menyentuh atau menimpa.
(5) Dilarang menyimpan botol-botol baja dan bejana transport bersama-sama dengan botol-botol baja yang berisi bahan-bahan yang mudah terbakar.
(6) Botol-botol baja dan bejana transport yang berisi gas yang mudah terbakar harus disimpan dalam ruangan yang tahan api.
(7) Botol-botol baja dan bejana transport yang berisi bermacam-macam gas harus disimpan secara terpisah-pisah.
(8) Botol-botol baja dan bejana transport yang berisi ditaruh diudara bebas harus di lindungi dari cahaya matahari.
(9) Bejana tekanan yang mempunyai perbandingan berat lebih besar dari perban-dingan berat atau volume udara luar tidak boleh disimpan dalam ruangan di bawah tanah.

Pasal 36
(1) Botol-botol baja dan bejana transport yang berisi gas yang mudah terbakar atau berbahaya bagi kesehatan dalam keadaan terkempa menjadi cair atau terlarut, bila tidak dihubungkan dengan pipa-pipa pengisi atau pipa-pipa lain yang sejenis harus diletakan dalam keadaan berdiri, sehingga zat cairnya tidak dapat keluar sendiri.
(2) Botol-botol baja dan bejana transport untuk gas yang dikempa atau terlarut yang dilengkapi suatu pipa guna pengambilan gas atau zat cair dari kedudukan botol atau bejana transport tertentu harus dilengkapi tanda penunjuk arah aliran gas yang benar.
(3) Botol-botol baja yang berisi acetyllen terlarut dalam aceton, apabila gasnya tidak dapat disadap krannya harus ditutup.
(4) Kunci-kunci pembuka dan penutup tingkap penutup dari botol yang berisi acetyllen terlarut dalam aceton, selama botol-botol digunakan harus selalu tergantung pada botolnya.
(5) Pengujian pemadatan dengan air terhadap bejana-bejana gas beroxyd hanya boleh digunakan dengan air bersih dan tidak mengandung minyak atau gemuk.
(6) Dilarang menggunakan gas terpadat untuk membersihkan kotoran debu pada pakaian tenaga kerja.
(7) Bejana-bejana tekanan yang berisi atau botol-botol baja harus dilindungi dari sumber panas dan penyebab karat.


BAB V PENGANGKUTAN
Pasal 37
(1) Dilarang mengangkat bejana tekanan dengan menggunakan magnit pengangkat sling yang membelit pada bejana tekanan.
(2) Bejana tekanan harus ditempatkan dalam alat pengangkut yang dapat memuat bejana tekanan, sehingga tidak menimbulkan gerakan-gerakan yang mem-bahayakan.
(3) Pengangkutan bejana-bejana tekanan yang berisi harus sedemikian rupa sehingga tidak menonjol dari kendaraan yang mengangkutnya dan harus dilindungi dari pengaruh cahaya matahari.

Pasal 38
(1) Selama pengangkutan dalam kendaraan, bejana-bejana tekanan yang berisi harus dicegah terhadap rebah, beralih dari kedudukan semula, terbentur atau mendapat tekanan setempat.
(2) Setiap kendaraan yang mengangkut bejana-bejana tekanan yang berisi harus selalu disertai penjaga atau pengawal.
(3) Kendaraan pengangkut bejana-bejana tekanan berisi gas beracun menggigit atau mudah terbakar, harus disertai pengawalan yang mengerti tentang cara mengang-kut dan cara membopongnya.

Pasal 39
(1) Kendaraan pengangkut bejana-bejana berisi gas dimaksud ayat (2) dan (3) Pasal 38 dilarang mengangkut penumpang lain.
(2) Bejana-bejana tekanan kosong hanya boleh diangkut dalam keadaan tertutup keran- kerannya.
(3) Botol-botol baja dan bejana transport dilarang dipergunakan untuk rol-rol pengangkut.


BAB V PEMBUATAN DAN PEMAKAIAN
Pasal 40
(1) Barang siapa membuat bejana tekanan harus memiliki pengesahan tertulis atas gambar rencana bejana-bejana tekanan yang akan dibuatnya dari Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.
(2) Permohonan pengesahan gambar rencana bejana tekanan tersebut ayat (1) Pasal ini harus diajukan dengan melampirkan:
1. Gambar rencana lengkap dengan penjelasan ukuran-ukurannya, tebal dinding, garis tengah, dan lain-lainnya, bila mempunyai sambungan dijelaskan ukuran dan tempat sambung-sambungan pelat dan bahan yang bersangkutan, gambar rencana disampaikan dalam rangkap empat dan 1 gambar di atas kertas kalkir.
2. Keterangan-keterangan tentang:
a. jumlah-jumlah bejana tekanan yang akan dibuat:
b. untuk botol baja, terangkan nomor seri pembuatan dari pabrik pembuat;
c. bahan pelat yang dipergunakan untuk pembuatan bejana tekanan atau botol baja;
d. bila sambung-sambungannya dilas harus dijelaskan cara pelaksanaan pengelasannya;
e. untuk bahan yang dimurnikan harus dijelaskan cara pemurniannya;
f. kekuatan tarik, regangan dan batas mulur;
g. macam gas dan tekanan melebihi dari bejana tekanan yang akan dibuat;
h. untuk botol acetyllen terlarut, dijelaskan tentang sifat dan masa kerenik;
i. sertifikat bahan yang dikeluarkan instansi atau badan penguji yang diakui.
(3) Permohonan pengesahan tersebut ayat (2) Pasal ini dibuat dan diajukan menggu- nakan bentuk tertentu.
(4) Direktur atau pejabat yang ditunjuknya memberikan pengesahannya apabila gambar rencana dimaksud ayat (1) Pasal ini telah sesuai dan memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja, yang berwenang mengadakan perubahan-perubahan teknis atas gambar rencana yang diajukan.
(5) Setiap pembuatan bejana tekanan harus sesuai dengan gambar rencana dan penjelasan-penjelasan serta syarat-syarat teknis yang sudah disahkan oleh Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 41
(1) Dilarang mengisi dan menggunakan bejana tekanan yang tidak memiliki pengesa-han pemakaian dari Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.
(2) Permohonan pengesahan pemakaian tersebut ayat (1) diajukan secara tertulis kepada
Direktur atau pejabat yang ditunjuknya dengan melampirkan:
1. Gambar konstruksi lengkap dengan penjelasan ukuran-ukuran tentang tebal dinding garis tengah dalam dan lain-lainnya dan bilamana mempunyai sambungan dijelaskan ukuran dan tempat sambungan pelat bahan yang bersangkutan:
2. Keterangan-keterangan yang diperlukan antara lain:
a. jumlah bejana tekanan yang akan digunakan;
b. untuk botol baja dijelaskan nomor seri pembuatan, nomor kode pabrik pembuat;
c. bahan yang dipergunakan untuk pembuatan bejana tekanan atau kode botol baja;
d. pabrik pembuat dan tahun pembuatannya;
e. jika ada bagian-bagian yang dilas dijelaskan cara-cara pelak-sanaan pengelasannya;
f. untuk bahan yang dimurnikan dijelaskan cara-cara pemur-niannya;
g. kekuatan tarik dan regang hingga putus dan perlu batas mulurnya;
h. keterangan tentang macam gas yang diisikan dan tekanan kerja melebihi dari bejana tekanan atau botol saja yang akan digunakan;
i. bagi botol acetyllen terlarut terangkan sifat dan kerenik dari massa;
j. harus melampirkan sertifikat bahan yang dikeluarkan oleh instansi atau badan penguji yang diakui;
k. keterangan tentang tempat dimana bejana tekanan akan diuji, diisi dan digunakan.
(3) Bejana tekanan yang pembuatannya telah mendapat pengesahan sesuai Pasal 40 ayat
(1), untuk permintaan pemakaiannya cukup dengan melampirkan:
1. gambar bejana tekanan yang telah disahkan dalam rangkap 5 (lima);
2. keterangan-keterangan tentang:
a. jumlah bejana tekanan yang akan digunakan.
b. tempat dimana bejana tekanan akan diuji, diisi dan digunakan.
(4) Permohonan pengesahan pemakaian dimaksud ayat (2) dan (3) Pasal ini diajukan, dengan menggunakan bentuk tertentu.

Pasal 42
(1) Pengesahan pemakaian bejana tekanan diberikan oleh Direktur atau pejabat yang ditunjuknya setelah bejana tekanan diperiksa dan diuji serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan ini.
(2) Direktur atau pejabat yang ditunjuknya berwenang menolak permohonan penge-sahan dimaksud Pasal 40, apabila ternyata bejana tekanan itu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
(3) Pengusaha atau pengurus dilarang mengadakan perubahan, perbaikan, pengelasan atau pengolahan panas lainnya terhadap bejana-bejana tekanan yang telah disah-kan kecuali seijin Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.


BAB VII PEMASANGAN, PERBAIKAN DAN PERUBAHAN TEKNIS Pasal 43
(1) Setiap pemasangan permanen, perbaikan atau perubahan teknis terhadap bejana tekanan yang telah mendapatkan pengesahan pemakaian harus mendapat ijin tertulis dari Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.
(2) Untuk mendapatkan ijin tertulis dimaksud ayat (1) Pasal ini pengusaha harus mengajukan permohonan dengan menggunakan bentuk tertentu yang disertai:
a. gambar bejana tekanan yang akan dipasang, diperbaiki atau dirubah;
b. gambar rencana pemasangan dan fondasi serta bagian-bagiannya atau gambar rencana perbaikan, perubahan teknis dengan penjelasan cara-cara mengerjakannya;
c. penjelasan kwalifikasi pelaksana pekerjaan dan tenaga-tenaga kerja yang akan melaksanakan pekerjaan, pemasangan, perbaikan atau perubahan teknis.
(3) Direktur atau pejabat yang ditunjuknya berwenang mengadakan perubahan teknis terhadap rencana gambar yang diajukan tersebut ayat (2) butir b Pasal ini.
(4) Sebelum pelaksanaan pekerjaan dimaksud ayat (2) butir c Pasal ini pengusaha atau pengurus harus memberitahukan secara tertulis kepada Direktur.
(5) Setiap pemasangan permanen, perbaikan atau perubahan teknis bejana tekanan harus sesuai dengan gambar rencana dan penjelasan-penjelasan teknisnya yang telah disahkan oleh Direktur atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 44
Direktur atau pejabat yang ditunjuknya berwenang untuk mengadakan pemeriksaan dan pengujian terhadap konstruksi, bahan, serta alat-alat pengaman bejana tekanan yang akan dibuat atau digunakan.

Pasal 45
(1) Setiap permohonan pengesahan gambar-gambar rencana pembuatan, pemasangan, perbaikan, perubahan teknis dan pengesahan pemakaian bejana tekanan dimaksud dalam Pasal 40, 41 dan 42 pemohon diwajibkan membayar kepada Negara sejumlah biaya menurut ketentuan berlaku;
(2) Biaya dimaksud ayat (1) Pasal ini hanya dikenakan satu kali.
(3) Selain biaya dimaksud ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini pengusaha yang memiliki bejana tekanan, diwajibkan tiap-tiap tahun membayar kepada Negara biaya pengawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46
Bejana tekanan yang sudah dipakai sebelum peraturan ini ditetapkan, pengurus atau pengusaha yang memiliki bejana tekanan diwajibkan memenuhi ketentuan-ketentu dalam Peraturan Menteri ini dalam waktu 1 tahun sejak berlakunya peraturan ini.


BAB IX KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Pengurus atau pengusaha yang tidak mentaati peraturan Menteri ini diancam hukuman kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang no. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 1982
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HARUN ZAIN



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No : PER. 02/MEN/1982 TENTANG KWALIFIKASI JURU LAS DI TEMPAT KERJA


Menimbang :
a. bahwa dengan kemajuan tehnik dan teknologi dewasa ini khususnya dalam bidang kontruksi las, diperlukan tingkat ketrampilan juru las yang memadai;
b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan peraturan Menteri tentang kwalifikasi Juru Las di Tempat Kerja

Menetapkan :
1. Undang-undang uap Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970. No. 1 TLN 2918);
2. Undang-undang uap tahun 1930 (Stoom Ordonantie 1930).

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi TENTANG KWALIFIKASI JURU LAS DI TEMPAT KERJA.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini dimaksud dengan:
a. Tempat Kerja adalah tempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (1) Undang- undang No. 1 Tahun 1970.
b. Pengurus adalah Pengurus sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2) Undang undang No. 1 Tahun 1970.
c. Pegawai Pengawas adalah Pegawai Pengawas sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1970.
d. Direktur adalah Direktur sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 79 Tahun 1977;

Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini meliputi kwalifikasi juru las untuk ketrampilan pengelasan sambungan las tumpul dengan proses las busur listrik, las busur listrik submerged, las gas busur listrik tungstem, las karbit atau kombinasi dari proses las tersebut yang dilakukan dengan tangan (secara manual), otomatis atau kombinasi.
(2) Syarat untuk juru las yang melakukan pengelasan secara otomatis akan diatur lebih lanjut.

Pasal 3
(1) Juru las dianggap trampil apabila telah menempuh ujian las dengan hasil memuaskan dan mempunyai sertifikat juru las.
(2) Juru las tersebut (1) dianggap tidak trampil apabila selama 6 (enam) bulan terus menerus tidak melakukan pekerjaan las sesuai dengan yang tercantum dalam sertifikat juru las.

Pasal 4
(1) Peserta Juru las harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. berbadan sehat baik physik maupun mental yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter pemeriksa kesehatan badan tenaga kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
a. berumur sekurang-kurangnya 18 tahun;
b. pemah mengikuti dan lulus latihan las dasar atau mereka yang oleh Direktur dianggap memenuhi syarat;
(2) Direktur dapat mengadakan perubahan terhadap syarat-syarat tersebut pada ayat (1).

Pasal 5
(1) Jenis pekerjaan las yang ditetapkan pada sertifikat juru las.
(2) Pada pekerjaan las yang beraneka ragam, tiap jenis pekerjaan las dilakukan oleh juru las sesuai dengan jenis pekerjaan las yang tercantum pada masing-masing sertifikat juru las.

Pasal 6
(1) Juru las digolongkan atas:
a. Juru las kelas I (satu)
b. Juru las kelas II (dua)
c. Juru las kelas III (tiga)
(2) Juru las kelas 1 (satu) boleh melakukan pekerjaan las yang dilakukan oleh juru las kelas II (dua). dan kelas III (tiga).
(3) Juru las kelas II (dua) boleh melakukan pekerjaan las yang dikerjakan oleh juru las kelas III (tiga) tetapi dilarang mengelas jenis pekerjaan yang boleh dilakukan oleh juru las kelas I (satu)
(4) Juru las kelas III (tiga) dilarang melakukan pekerjaan las yang boleh dilakukan oleh juru las kelas 11 (dua) atau kelas I (satu).

Pasal 7
(1) Pekerjaan las yang boleh dilakukan oleh Juru las kelas I (satu), kelas II (dua) dan kelas III (tiga) tetapi dilarang mengelas jenis kelas II (dua) dan kelas Ill (tiga) adalah seperti tersebut pada lampiran I tabel 1.
(2) Direktur dapat merubah jenis pekerjaan pada lampiran I tabel 1 tersehut pada ayat (1).



BAB II PENGUJIAN JURU LAS
Pasal 8
Pengujian juru las terdiri dari:
a. Ujian teori
b. Ujian praktek.

Pasal 9
(1) Ujian teori tersebut Pasal 8 huruf a untuk juru las karbit meliputi pengetahuan peraturan, cara kerja praktis, sebagai berikut:
a. pencegahan kecelakaan, penyakit akibat kerja, kebakaran dan peledakan;
b. penggunaan alat-alat las misalnya lampu gas, botol gas, generator gas;
c. nyala gas misalnya sifat, penyetelan, pengaruh pada Las;
d. cara pengelasan;
e. persiapan mengelas;
f. pencegahan dan perbaikan kesalahan las;
g. bahan induk dan bahan pengisi.
(2) Ujian teori tersebut Pasal 8 huruf a untuk juru las busur listrik dan juru las TIG (Tungsten innert gas welding) meliputi pengetahuan peraturan, cara kerja praktis sebagai berikut:
a. pencegahan kecelakaan penyakit akibat kerja, kebakaran dan peledakan;
b. penggunaan alat dan mesin las;
c. persiapan las;
d. pencegahan dan perbaikan kesalahan las;
e. pengaruh panjang busur listrik, arus listrik, polarity, pengamatan terak-terak gas untuk TIG.
(3) Ujian teori bagi juru las selain dan pada jenis las tersebut ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Direktur.

Pasal 10
Ujian praktek tersebut pada Pasal 8 huruf b, setiap peserta juru las harus dapat me nunjukan ketrampilan mengelas seperti tersebut pada tabel 2 lampiran I dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk juru las kelas I (satu) harus lulus melakukan percobaan las, 1G, 2G, 3G, 4G, 5G, dan 6G.
b. untuk juru las kelas II (dua) harus lulus melakukan percobaan las 1G, 2G, 3G dan 4G. c. untuk juru las kelas III (tiga) harus lulus melakukan percobaan las 1G dan 2G.

Pasal 11
(1) Bagi peserta ujian praktek juru las harus menempuh contoh percobaan las pelat dan pipa seperti pada Lampiran II gambar 1 dan gambar 2.
(2) Pada contoh percobaan Las tersebut ayat (1) diberi tanda sebagai berikut:
a. tanda uji dari Pegawai Pengawas;
b. nama atau nomor kode juru las;
c. kode perusahaan;
d. tanda pelaksana ujian;
e. tanda posisi las.
(3) Pemberian tanda-tanda tersebut ayat (2) harus jelas dan terang dan ditempatkan pada bahan induk las muka dan jauh dari sambungan las.

Pasal 12
(1) Bagi juru las yang tidak lulus ujian dapat diberikan kesempatan ujian ulang dan jika tidak lulus juga, maka diharuskan mengikuti latihan las untuk memperbaiki ketrampilannya.
(2) Bagi juru las yang sudah lulus ujian akan tetapi dalam waktu 6 (enam) bulan tidak dapat membuktikan melakukan pekerjaan las sesuai dengan yang tercantum dalam sertifikat kembali harus menempuh ujian ulang.


BAB III SYARAT LULUS UJIAN
Pasal 13
(1) Contoh percobaan las diuji dengan urutan sebagai berikut:
a. sifak tampak;
b. radiografis;
c. makroskopis;
d. sifat mekanis.
(2) Apabila dari hasil pengujian sifat tampak sudah menunjukan tidak memenuhi syarat, maka sudah dapat dinyatakan tidak lulus dan pengujian selanjutnya tidak perlu dilakukan.
(3) Apabila hasil pengujian sifat tampak baik, akan tetapi hasil pengujian radiografis tidak memenuhi syarat maka sudah dapat dinyatakan tidak lulus dan pengujian selanjutnya tidak perlu dilakukan.
(4) Apabila hasil pengujian radiografis baik maka dilanjutkan dengan pengujian makroskopis dan sifat mekanis.

Pasal 14
Dalam melakukan pengujian sifat tampak, hal yang dinilai adalah sebagai benikut:
a. kampuh las harus penuh, lurus dan tinggi serta lebar las harus rata: Tinggi las tidak boleh melebihi ketentuan yang tercanturn pada Lampiran 1 tabel 3.
b. permukaan las harus rata, tidak boleh ada benjolan-benjolan, lekukan-lekukan dan pergantian setiap elektroda las harus rata serta tidak boleh terdapat takik-takik yang tajam kecuali dalam takik antara las dan bahan induk tidak melebihi 10% dari tebal pelat dan maksimum 0,5 mm.
c. dalamnya tembusan Las yang diperkenankan adalah kurang dan 0,1 tebal pelat akan tetapi tidak lebih dari 1 mm serta panjang garis terak seperti pada Lampiran 1 tabel 4;
d. apabila terdapat tembusan las yang kurang dibeberapa tempat maka jumlah panjang tembusan las yang kurang tersebut tidak boleh lebih dan 25 mm.
e. kecekungan akar las (root convavity) diperkenankan apabila permukaan akan akar las adalah rata, dalamnya cekungan tidak melebihi 1,2 mm dan tebal Las tidak kurang dan tebal pelat;
f. untuk sambungan las memanjang, kemelesetan permukaan dari bagian-bagian yang dilas tumpul tidak boleh melebihi kemelesetan 1,2 mm untuk tebal pelat sampai dengan 10 mm, 10% dari tebal pelat dengan maximum 3 mm untuk tebal pelat lebih dari 10 mm sampai dengan 32 mm dan 3 mm untuk tebal pelat lebih dari 32 mm;
g. untuk sambungan las melingkar kemelesetan permukaan dari bagian-bagian yang dilas tumpul. tidak boleh melebihi kemelesetan 1,2 mm untuk tebal pelat sampai dengan 6 mm, 10% dari tebal Pelat ditambah 1,2 mm untuk tebal pelat lebih dari 6 mm s/d 25 mm dan 4 mm untuk tebal pelat lebih dari 25 mm.

Pasal 15
(1) Dalam melakukan pengujian radiografis hal yang dinilai adalah sebagai berikut:
a. pada sambungan las tidak boleh mengandung retak-retak.
b. tidak boleh terdapat retak memanjang (garis terak) yang panjangnya melebihi ketentuan yang tercantum pada lampiran I tabel 4. Dan jika terdapat terak terak yang berjajaran dengan jarak antara kurang dari 3 m dianggap merupakan 1 (satu) buah terak.
c. tidak boleh terdapat terak-terak berjajaran yang merupakan garis dengan jumlah panjang lebih dari tebal pelat (t) untuk panjang las 12t kecuali apabila jarak antara terak-terak melebihi 6L, dimana L adalah panjang terak yang terpanjang di dalam jajaran terak.
d. Jumlah luas liang-liang renik tidak boleh lebih dari 0,60 x 25,4 x (t mm2 atau 1,5 mm2). Apabila panjang las kurang dari 150 mm, jumlah liang-liang renik berkurang menurut perbandingan.
e. Ukuran terbesar dari suatu liang renik ädalah 20% dari t, tetapi tidak boleh melebihi 3 mm, kecuali jika jarak antara liang-liang renik adalah 25 mm atau lebih, ukuran liang renik diperkenankan 30% dari t, tetapi tidak boleh melebihi 6 mm.
f. Pada panjang las 2 t, tetapi tidak lebih dari 25 mm, diperkenankan terdapat jumlah luas kumpulan-kumpulan liang-liang renik (clustered) dengan konsentrasi 0,04 x
25,4 x t mm2 atau t mm2
g. Liang-liang renik yang berjajaran dapat diterima apabila jumlah diameter dari liang-liang renik tidak melebihi pada panjang 12 t untuk < 12,5 mm dari pada panjang 150 mm untuk t> 12,5 mm dengan jarak antana liang-liang renik tidak kurang dari 6x diameter liang renik terbesar.
(2) Penentuan liang-liang renik untuk tebal pelat diantara dua gambar pembanding menurut tebal pelat yang tertipis dari dua gambar pembanding tersebut atau disesuaikan dengan tabel dan gambar tersebut pada Lampiran III.
(3) Noda-noda hitam dengan bentuk bulat atau oval diinterprestasikan sebagai liang renik (gelembung gas).
(4) Ketentuan tersebut ayat (1) huruf d s/d dapat digunakan untuk bahan feritik, austenitik, logam besi dan kantong wofrani (tungsten incusions).
(5) Tembusan las atau pembakaran las yang kurang dari hasil pengujian radiografis tersebut ayat (1) diperbolehkan dalam batas-batas tertentu sesuai dengan Pasal 14 huruf c.

Pasal 16
(1) Untuk pengujian makroskopis benda coba diambil dari bagian percobaan las dari posisi las tersukar atau dari bagian yang menurut pengujian radiografis mengandung cacat las.
(2) Penampang las melintang dari benda coba tersebut ayat (1) poles dan dietsa sampai bentuk las tampak dengan jelas.
(3) Penilaian penampang las tersebut ayat (2) tidak boleh mengandung cacat sebagai berikut:
a. retak;
b. pembakaran atau tembusan las yang kurang, melebihi batas yang ditentukan pada Pasal 14 huruf c dan d;
c. ukuran liang renik dan atau terak yang bertebaran melebihi batas yang di tentukan pada pengujian radiografis sebagaimana tersebut Pasal 15 ayat (1) huruf b,c,e,f, dan g.

Pasal 17
(1) Dalam pengujian sifat mekanis dilakukan dengan 2 (dua) percobaan lengkung las muka dan 2 (dua) percobaan lengkung.
(2) Tebal duri D maksimum untuk percobaan lengkung tersebut ayat (1) sesuai dengan Lampiran I tabel 8 dan jarak L antara kedua rol tidak boleh lebih dari D + 2, 2T.
(3) Pengambilan batang-batang coba Iengkung tersebut ayat (1) sesuai dengan Lampiran II Gambar 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.


BAB IV BATAS BERLAKUNYA BAHAN CONTOH PERCOBAAN LAS
Pasal 18
Kelompok bahan dan batas berlakunya jenis logam untuk contoh percobaan las bagi ujian juru las sesuai dengan lampiran I tabel 10 dan 11.

Pasal 19
(1) Bahan induk yang akan digunakan untuk percobaan las dikelompokan sesuai dengan Lampiran I tabel 10.
(2) Berlakunya contoh percobaan las tersebut ayat (1) sesuai dengan Lampiran I tabel 11.

Pasal 20
Bahan pengisi fluksi dari gas terdiri dari:
a. Las busur listrik. b. Las karbit.
c. Las busur listrik TIG (tungsten Innert gas welding)
d. Las busur listrik submerged.

Pasal 21
(1) Untuk las busur elektroda las dibagi dalam kelompok sesuai lampiran I tabel 2.
(2) Penggantian dari suatu kelompok elektroda las dengan kelompok elektroda las lain harus diadakan uji ulang, kecuali untuk nomor I sampai dengan nomor 4 b dengan jumlah unsur paduan tidak melebihi 6% dan berlaku untuk kelompok elektroda las nomor 4c sampai dengan nomor 6 seperti tercantum lampiran I tabel 12.

Pasal 22
(1) Untuk las karbit, kawat las dibagi dalam kelompok sesuai dengan Lampiran I tabel 13. (2) Penggantian dari suatu kelompok kawat las dengan kelompok kawat las lain harus diuji ulang.

Pasal 23
(1) Untuk las busur listrik TIG (Tungsten Innert Gas Welding) kawat las dibagi dalam kelompok sesuai dengan Lampiran 1 tabel 14.
(2) penggantian dari suatu kelompok kawat las dengan kelompok kawat lain harus diuji ulang.
(3) Penggantian dari suatu jenis gas tunggal dengan gas tunggal lain atau dengan gas campuran harus diuji ulang.

Pasal 24
(1) Untuk las busur listrik submerged, elektroda las dibagi dalam kelompok sesuai dengan Lampiran 1 tabel 15.
(2) Penggantian elektroda las dengan kadar Mn (1,75% - 2,25%) dengan elektroda las dengan kadar Mn kurang dari 1,00% atau sebaliknya harus diuji ulang.
(3) Penggantian tipe atau komposisi fluks harus diuji ulang.
(4) Penggantian ukuran butir-butir fluks tidak perlu diuji ulang.

Pasal 25
Posisi percobaan las berlaku untuk posisi las tertentu sesuai dengan Lampiran 1 tabel 9.

Pasal 26
Percobaan dari suatu proses las ke proses las yang lain atau ke proses las kombinasi diperlukan uji ulang.


BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 27
Pengelasan contoh pèrcobaan las seperti pada Lampiran 1 tabel 2 dilakukan dari satu sisi tanpa pelat alas dan berlaku untuk teknik pengelasan dari 2 (dua) sisi dan dari satu sisi dengan atau tanpa pelat alas.

Pasal 28
(1) Bagi juru las yang telah menempuh ujian juru las dan lulus dengan kwalifikasi golongan I (satu) sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diakui sebagai juru las kelas I (satu) sedangkan juru las golongan II (dua) dan golongan III (tiga) ditinjau kembali.
(2) Peninjauan kembali juru las golongan II (dua) dan golongan III (tiga) tersebut ayat (1) ditetapkan oleh Direktur.


BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
(1) Juru las yang telah menempuh ujian juru las dengan hasil memuaskan diberikan sertifikat juru las sesuai dengan kwalifikasinya disertai buku kerja juru las.
(2) Sertifikat juru las dan buku kerja juru las tersebut ayat (1) dikeluarkan oleh Direktur.


Pasal 30
(1) Pengawasan juru las dilakukan oleh Pegawai Pengawas.
(2) Juru las yang dianggap tidak terampil, sertifikat dan buku kerjanya dicabut oleh Direktur atas usul Pegawai Pengawas.

Pasal 31
Setiap 3 (tiga) bulan sekali Pengurus atau juru las harus memperlihatkan buku kerja juru las kepada Pegawai Pengawas setempat untuk dicatat dan diketahui.

Pasal 32
Pengurus wajib melaksanakan dan bertanggung jawab terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini.

Pasal 33
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan sebagaimana tersebut Pasal 32 dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2) Undang undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 34
Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri ini ditetapkan oleh Direktur.

Pasal 35
Segala peraturan yang mengatur kwalifikasi juru las yang bertentangan dengan Peraturan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 08 Maret 1982
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HARUN ZAIN


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No: PER.03/MEN/1982 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TENAGA KERJA.


Menimbang : bahwa dalam rangka melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja serta kemampuan fisik dari tenaga kerja, maka perlu dikeluarkan peraturan
tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918).
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi Nomor Per. 02/Men/1980. 3. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kepts. 79/Men/1977.


MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi DAN TRANSMI- GRASI TENTANG PELAYANAN KESEHATAN KERJA.


Pasal 1
Dalam peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Pelayanan Kesehatan adalah usaha kesehatan yang dilaksanakan dengan tujuan:
1. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental, terutama dalam penyesuaian pekerjaan dengan tenaga kerja.
2. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja.
3. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik tenaga kerja.
4. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita sakit.
b. Tempat kerja adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- undang Nomor 1 Tahun 1970.
c. Pengurus adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970.
d. Pengusaha adalah sebagaimana yang dimaksud pada surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kepts 79/Men/1977.
e. Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah dokter atau pegawai teknis yang berkeahlian khusus yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
Tugas pokok pelayanan Kesehatan Kerja meliputi:
a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus. b. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja.
c. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja. d. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitair.
e. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja.
f. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit akibat kerja. g. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.
h. Pendidikan Kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.
i. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan di tempat kerja.
j. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
k. Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai kelainan tertentu dalam kesehatannya.
l. Memberikan laporan berkala tentang Pelayanan Kesehatan Kerja kepada pengurus.

Pasal 3
(1) Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan Pelayanan Kesehatan Kerja.
(2) Pengurus wajib memberikan Pelayanan Kesehatan Kerja sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja dapat:
a. Diselenggarakan sendiri oleh pengurus.
b. Diselenggarakan oleh pengurus dengan mengadakan ikatan dengan dokter atau Pelayanan Kesehatan lain.
c. Pengurus dari beberapa perusahaan secara bersama-sama menyelenggarakan suatu Pelayanan Kesehatan Kerja.
(2) Direktur mengesahkan cara penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja sesuai dengan keadaan.

Pasal 5
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja dipimpin dan dijalankan oleh seorang dokter yang disetujui oleh Direktur.

Pasal 6
(1) Pengurus wajib memberikan kebebasan profesional kepada dokter yang menjalankan Pelayanan Kesehatan Kerja.
(2) Dokter dan tenaga kesehatan dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan Kerja, bebas memasuki tempat-tempat kerja untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dan mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan.

Pasal 7
(1) Pengurus wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Kerja kepada Direktur.
(2) Tata cara bentuk laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur.

Pasal 8
Dokter maupun tenaga kerja kesehatan wajib memberikan keterangan-keterangan tentang Pelaksanaan Kesehatan Kerja kepada Pegawai Pengawas Keselarnatan dan Kesehatan Kerja jika diperlukan.

Pasal 9
Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja melakukan pengawasan terhadap ditaatinya pelaksanaan peraturan ini.

Pasal 10
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah, sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970.
(2) Tindakan pidana tersebut pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 11
Hal-hal yang dianggap perlu untuk melaksanakan peraturan ini akan diatur oleh Direktur.

Pasal 12
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 April 1982
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HARUN ZAIN



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/1983 TENTANG INSTALASI ALARM KEBAKARAN AUTOMATIK


Menimbang:
a. bahwa dalam rangka kesiapan siagaan pemberantasan pada mula terjadinya kebakaran maka setiap instalasi alarm kebakaran automatik harus memenuhi syarat-syarat keselamatan kesehatan kerja;
b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Peraturan Menteri yang mengatur instalasi Alarm Kebakaran Automatik.

Mengingat:
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 1970 No. 2918).
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. Per 03/Men/1978 tentang Persyaratan Penunjukan dan Wewenang serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi TENTANG INSTALASI ALARM KEBAKARAN AUTOMATIK.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Instalasi Alarm Kebakaraan Automatik adalah sistem atau rangkaian alarm kebakaran yang menggunakan detektor panas, detektor asap, detektor nyala api dan titik panggil secara manual serta perlengkapan lainnya yang dipasang pada sistem alarm kebakaran;
b. Kelompok alarm adalah bagian dari sistem alarm kebakaran termasuk relai, lampu, saklar, hantaran dan detektor sehubungan dengan perlindungan satu area;
c. Detektor lini adalah detektor yang unsur perasa ataupenginderaannya berbentuk batang atau pita;
d. Titik panggil manual atau tombol pecah kaca adalah alat yang bekerja secara manual dan alarmnya tidak dapat dioperasikan sepanjang kaca penghalangnya belum dipecahkan;
e. Ruang kontrol adalah ruangan dimana panil indikator ditempatkan;
f. Detektor adalah alat untuk mendeteksi pada mula kebakaran yang dapat membangkitkan alarm dalam suatu sistem;
g. Panil indikator adalah suatu panil kontrol utama yang dilengkapi indikator beserta peralatannya;
h. Detektor panas adalah suatu detektor yang sistem bekerjanya didasarkan atas panas;
i. Detektor nyala api (flamedetektor) adalah detektor yang sistem bekerjanya didasarkan atas panas api;
j. Detektor asap (smoke detector) adalah detektor yang sistem bekerjanya didasarkan atas asap;
k. Panil mimik adalah panil tiruan yang memperlihatkan indikasi kelompok alarm kedalam bentuk diagram ataau gambar;
l. Panil pengulang adalah suatu panil indikator kebakaraan duplikat yanga hanya berfungsi memberi petunjuk saja dan tidak dilengkapi peralatan lainnya;
m. Tegangan ekstra rendah adalah tegangan antara fasa dan nol, paling tinggi 50 volt;
n. Sistem penangkap asap (sampling device) adalah suatu rangakaian yang terdiri dari penginderaan dengan alat-alat penangkap asapnya;
o. Pengurus adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab terhadap penggunaan instalasi alarm kebakaraan automatik;
p. Pegawai Pengawas atau Ahli Keselamatan Kerja adalah Pegawai Teknis berkeahlian khusus yang ditunjuk oleh Menteri sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamaan Kerja;
q. Direktur adalah Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transkop No. Kepts.-79/Men1977;
r. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2
Peraturan ini mulai berlaku untuk perencanaan, pemasangan, pemeliharaan, dan pengujian instalasi alarm kebakaran automatik di tempat kerja.

Pasal 3
(1) Detektor harus dipasang pada bagian bangunan kecuali apabila bagian bangunan tersebut telah dilindungi dengan sistem pemadam kebakaran automatik.
(2) Apabila detektor-detektor dipasang dalam suatu ruangan aman yang tahan api (strong room), maka detektor-detektor tersebut harus memiliki kelompok alarm yang terpisah atau harus terpasang dengan alat yang dapat mengindikasi sendiri yang dipasang diluar ruangan tersebut.
(3) Setiap ruangan harus dilindungi secara tersendiri dan apabila suatu ruangan terbagi oleh dinding pemisah atau rak yang mempunyai celah 30 (tiga puluh) cm kurang dari langit-langit atau dari balok melintang harus dilindungi secara sendiri sendiri.
(4) Barang-barang dilarang untuk disusun menumpuk seolah-olah membagi ruangan, kecuali untuk ruang demikian telah diberikan perlindungan secara terpisah.

Pasal 4
(1) Pada gedung yang dipasang sistem alarm kebakaran automatik maka untuk ruangan tersembunyi harus dilindungi dan disediakan jalan untuk pemeliharaannya, kecuali hal-hal sebagai berikut:
a. ruangan tersembunyi dimana api kebakaran dapat tersekat sekurang-kurangnya selama satu jam;
b. ruangan tersembunyi yang berada diantara lantai paling bawah dengan tanah yang tidak berisikan perlengkapan listrik atau penyimpanan barang dan tidak mempunyai jalan masuk;
c. ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 80 (delapan puluh) cm di bawah atap;
d. ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 80 (delapan puluh) cm yang terletak diantara langit-langit palsu dan lembaran tahan api di atasnya.
e. ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 35 (tiga puluh lima) cm yang terletak diantara permukaan sebelah langit-langit dengan permukaan sebelah bawah lantai atasnya tanpa menghiraukan konstruksinya.
(2) Apabila suatu ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 80 (delapan puluh) cm sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) c dan d terdapat peralatan listrik yang dihubungkan dengan hantaran utama dan peralatan listrik tersebut tidak diselubungi dengan bahan yang tidak dapat terbakar, maka pada ruangan tersebut harus dipasang detektor dengan jarak 6 (enam) m dari lokasi peralatan listrik tersebut.

Pasal 5
(1) Setiap perlengkapan listrik seperti papan saklar, papan pengukur dan sejenisnya yang memiliki luas permukaan melampaui 1,5 (satu setengah) m2 dan ditempatkan dalam almari, maka almari itu harus dipasang detektor, kecuali bila perlengkapan tersebut secara sepenuhnya terselubung dalam bahan yang tidak dapat terbakar.
(2) Setiap perlengkapan hubung bagi yang tidak ditempatkan secara masuk ke dalam tembok harus dianggap sebagai telah dilindungi oleh perlindungan normal bagi daerah yang bersangkutan
(3) Setiap perlengkapan hubung bagi yang terbuat dari bahan yang tidak terbakar dan pemasangannya dimasukan ke dalam tembok tidak perlu dipasang detektor

Pasal 6
(1) Setiap almari dalam tembok yang memiliki tinggi lebih dari 2 (dua) m atau tingginya mencapai langit-langit serta mempunyai isi lebih dari 3 (tiga) m3 harus dipasang detektor.
(2) Almari seperti tersebut ayat (1) tidak diperlukan pemasangan detektor bila ruangan- nya terbagi-bagi oleh pemisah atau rak-rak sehingga menjadi bilik-bilik yang mempunyai isi kurang dari 3 (tiga) m3.

Pasal 7
Almari tembok tempat kain atau sejenisnya tanpa menghiraukan ukurannya harus dipasang detektor.

Pasal 8
(1) Lubang untuk sarana alat pengangkut, peluncur lift, penaik vertikal dan lubang sejenisnya dengan luas lebih dari 0,1 (satu persepuluh) m2 dan kurang dari 9 (sembilan) m2 serta kedap.
(2) Bila lubang seperti tersebut dalam ayat (1) tidak kedap kebakaran, maka detektor harus dipasang di setiap langit-langit lantai dengan jarak horizontal tidak lebih 1,5 (satu setengah) m dari lubangnya.
(3) Setiap daerah diantara dua lantai yang memiliki lubang dengan luas lebih dari 9 (sembilan) m2, maka disetiap tingkat harus dipasang satu detektor pada langit-langit dengan jarak 1,5 (satu setengah) m dari sisi lubang.
(4) Bila lubang seperti tersebut dalam ayat (1) dengan pintu tahan api dan dapat menutup sendiri secara automatik tidak perlu dipasang detektor pada setiap lantainya.

Pasal 9
Ruang bangunan tangga dalam bangunan yang kedap kebakaran harus dipasang detektor di atasnya sedangkan untuk ruang bangunan tangga yang tidak kedap kebakaran harus dipasang detektor pada setiap permukaan lantai utamanya.

Pasal 10
(1) Bila pintu tahan api memisahkan daerah yang dilindungi dengan daerah yang tidak dilindungi, maka harus dipasang detektor di daerah yang dilindungi dengan jarak 1,5 (satu setengah) m dari pintu tersebut.
(2) Bila pintu tahan api memisahkan dua daerah yang dilindungi penempatan detektor seperti ayat (1) tidak diperlukan.

Pasal 11
Setiap lantai gedung dimana secara khusus dipasang saluran pembuangan udara harus dilindungi sekurang-kurangnya satu detektor asap atau sejenisnya yang ditempatkan pada saluran mendatar lubang pengisap sedekat mungkin dengan saluran tegaknya.

Pasal 12
(1) langit-langit yang membentuk kisi-kisi dengan luas yang terbuka lebih dari 2/3 (dua per tiga) luas seluruh langit-langit tidak diperlukan detektor di bawah langit-langit tersebut dan detektor dipasang pada langit-langit sebelah atasnya.
(2) Apabila bagian langit-langit yang berbentuk kisi-kisi mempunyai ukuran tiap kisinya dengan salah satu sisi lebih dari 2 (dua) m dan luasnya lebih dari 5 (lima) m2 harus dipasang detektor di bawahnya.
(3) Bila digunakan detektor nyala api untuk maksud langit-langit seperti ayat (1), maka detektor harus dipasang pada bagian atas dan bawah dari langit-langit tersebut.

Pasal 13
(1) Dinding luar dari bangunan yang akan dilindungi terbuat dari baja yang digalvanisasi, kayu, semen, asbestos atau bahan semacam itu maka harus dipasang detektor bila:
a. bangunan tersebut berada pada jarak 9 (sembilan) m dari bangunan yang tidak dilindungi yang terbuat dari bahan yang sama.
b. bangunan tersebut berada pada jarak 9 (sembilan) m dari gudang (tempat penim- bunan) bahan-bahan yang mudah terbakar.
(2) Detektor tersebut ayat (1) harus ditempatkan di bawah emperan atap sepanjang dinding luar dengan jarak 12 (dua belas) m satu dengan lainnya.

Pasal 14
Rumah Penginapan, Unit Perumahan yang tidak terbagi dan semacamnya yang memiliki bentuk yang tidak lazim serta merupakan hunian tunggal dengan luas tidak lebih dari 46 (empat puluh enam) m2 cukup dilindungi dengan sebuah detektor sedang kamar mandi dan kakusnya tidak diperlukan perlindungan khusus.

Pasal 15
Bila gedung memiliki atap tidak datar yang berbentuk gigi gergaji prisma atau sejenisnya harus dipasang satu deretan detektor dengan jarak tidak lebih dari 1 (satu) m dari garis tegak lurus di bawah bubungan atapnya dan kelandaian atap lebih kecil dari 1 (satu) : 20 (dua puluh) dianggap beratap datar.

Pasal 16
Lokasi atau area yang tidak memerlukan pemasangan detektor adalah:
a. kakus tunggal, kamar mandi/pancuran atau kamar mandi tunggal;
b. berada terbuka dengan deretan tiang kolom, jalanan beratap atau atap yang meng- gantung dan sebagainya jika terbuat dari bahan yang tidak dapat terbakar dan ruangan tersebut tidak dipakai untuk menyimpan barang ataupun sebagai tempat parkir mobil/kendaraan;
c. pelataran, kap penutup, saluran dan sejenisnya yang lebarnya kurang dari 2 (dua) m serta tidak menghalangi mengalirnya udara yang harus bebas mencapai detektor yang terpasang di atasnya.

Pasal 17
Semua permukaan kontak listrik dari saluran sistem harus memiliki kontak yang baik dengan permukaan yang rata dan terbuat dari perak atau bahan sejenisnya.

Pasal 18
Detektor, pemancar berita kebakaran dan panil indikator harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga alat tersebut secara normal tidak terganggu oleh getaran atau goncangan yang dapat menimbulkan operasi palsu dari sistem.

Pasal 19
(1) Perlengkapan yang akan ditempatkan pada lokasi yang mengandung kelembaban, korosi atau keadaan khusus yang lainnya, maka disain dan konstruksi harus menjamin bekerjanya sistem tanpa meragukan.
(2) Peralatan serta perlengkapan yang dipasang pada ruangan yang mengandung gas atau debu yang mudah terbakar atau meledak, maka peralatan serta perlengkapan tersebut harus memenuhi persyaratan untuk penggunaan ruangan tersebut.

Pasal 20
Panil indikator harus dilengkapi dengan:
a. fasilitas kelompok alarm;
b. sakelar reset alarm;
c. pemancar berita kebakaran;
d. fasilitas pengujian dan pemeliharaan;
e. fasilitas pengujian baterai dengan volt meter dan amper meter;
f. sakelar penguji beterai;
g. indikator adanya tegangan listrik;
h. sakelar yang dilayani secara manual serta lampu peringatan untuk memisahkan lonceng dan peralatan kontrol jarak jauh (remote control);
i. petunjuk alarm yang dapat didengar.
j. sakelar petunjuk bunyi untuk kesalahan rangkaian.

Pasal 21
(1) Panil indikator harus ditempatkan dalam bangunan pada tempat yang aman, mudah terlihat dan mudah dicapai dari ruangan masuk utama dan harus mempunyai ruang bebas 1 (satu) m di depannya.
(2) Apabila panil indikator di disain untuk dapat melakukan pemeliharaan dari belakang panil, maka harus diadakan ruangan bebas 1 (satu) m.
(3) Apabila panil indikator ditempatkan dibelakang pintu, maka pintu tersebut harus diberi tanda sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan tidak boleh dikunci.
(4) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) panil indikator dapat ditempatkan pada tempat yang jauh dari ruangan masuk utama dengan syarat harus dipasang panil mimik atau panil pengulang secara jelas kelihatan dari ruangan masuk utama.

Pasal 22
Setiap kelompok alarm harus dilengkapi dengan:
a. indikator alarm yang berupa lampu merah atau sarana lain yang setaraf.
b. indikator yang mengeluarkan isyarat palsu yang berupa lampu kuning. atau isyarat lain yang setaraf dan indikator tersebut dapat digunakan untuk beberapa kelompok alarm.
c. penguji alarm berupa fasilitas pengujian untuk simulasi detektor dalam membang- kitkan alarm.
d. penguji kepalsuan fasilitas pengujian kesalahan.
e. sakelar penyekat dilengkapi lampu putih dengan tulisan “SEKAT” dan untuk indikator gabungan dengan tulisan “SEKAT KELOMPOK”.
f. tanda pengenal untuk sakelar atau indikator yang ditempatkan di bagian depan panil indikator.

Pasal 23
Pada panil indikator harus dipasang suatu isyarat yang dapat terlihat dan terdengar dari jarak jauh yang bekerja apabila ada sebuah detektor atau terjadi suatu rangkaian terbuka.

Pasal 24
Pada bagian depan panil indikator harus dipasang:
a. amper meter jenis kumparan dengan batas ukur yang sesuai atau lampu berwarna biru untuk menunjukan pengisian atau pengosongan;
b. volt meter jenis kumparan dengan batas ukur yang sesuai dan dipasang tetap;
c. sakelar penguji baterai dengan kemampuan uji 3 (tiga) kali beban penuh dalam keadaan sakelar pengisi terbuka dan sakelar tersebut harus dari jenis yang tidak mengunci yang dapat meriset sendiri.

Pasal 25
Lampu panil indikator bila digunakan lampu jenis kawat pijar harus dari jenis kawat pijar kembar dengan kedudukan bayonet atau dua lampu pijar tunggal dan tegangan yang masuk tidak boleh lebih dari 80 (delapan puluh) % tegangan lampu.

Pasal 26
(1) Penyusunan indikator harus sedemikian rupa, sehingga bekerjanya setiap indikator dapat menunjukan secara jelas asal suatu panggilan.
(2) Apabila luas bangunan atau lokasi detektor mungkin menunjukan semua lokasi secara tepat pada panil indikator maka penyusunan dan penempatan indikator dapat dilakukan pada suatu panil yang terpisah didekatnya dengan diberi tanda secara permanen.

Pasal 27
(1) Pengawatan dari bagian tegangan ekstra rendah pada panil indikator, panil pengulang atau panil mimik harus menggunakan kabel PVC atau yang sederajat dengan ukuran yang sesuai.
(2) Kabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terdiri dari sekurang-kurangnya (tujuh) urat dengan garis tengah tidak kurang dari 0,67 (enam puluh tujuh per seratus) mm.
(3) Bagian tegangan ekstra rendah panil indikator, panil pengulang atau panil mimik harus dilakukan pengawatan dengan hantaran yang nilai penyekatnya mampu ter- hadap tegangan 250 (dua ratus lima puluh) volt.

Pasal 28
(1) Pada atau didekat panil indikator harus dipasang titik panggil manual yang mudah dicapai serta terlihat jelas setiap waktu.
(2) Semua titik panggil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dihubungkan dengan kelompok alarm detektor automatik yang meliputi daerah dimana titik panggil manual tersebut dipasang.
(3) Penutup titik panggil manual harus jenis “pecah kaca” atau dari jenis lain yang disetujui oleh Pegawai Pengawas.
(4) Titik panggil manual yang tidak merupakan bagian dari panil indikator harus disambung menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 (dua puluh tiga) dan Pasal 49 (empat puluh sembilan)

Pasal 29
(1) Lemari panil indikator kebakaran harus kedap debu dan mempunyai pintu yang dapat dikunci.
(2) Semua indikator kelompok dan sakelarnya yang berada di dalam lemari tersebut harus tetap tampak dari luar tanpa membuka pintu almarinya.

Pasal 30
(1) Panil indikator harus diberi tanda secara permanen dan jelas tentang pabrik pem- buatnya dan disertai tipe dari panil dan nomor pengesahan sistem alarmnya.
(2) Apabila lemari panil indikator ditempatkan disebuah ruangan khusus, maka bagian depan pintu ruangan tersebut harus diberi tulisan “PANIL INDIKATOR KE- BAKARAN” dengan warna yang kontras terhadap warna disekitarnya.
(3) Pintu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh memiliki tanda lain selain tulisan “PANIL INDIKATOR KEBAKARAN” dengan tinggi huruf tidak kurang dari 50 (lima puluh) mm.

Pasal 3l
(1) Setiap sistem alarm kebakaran harus mempunyai gambar instalasi secara lengkap yang mencantumkan letak detektor dan kelompok alarm.
(2) Gambar instalasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan instalasi yang terpasang sebenarnya dan disahkan oleh Direktur atau Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 32
Penggunaan simbol dalam sistem alarm kebakaran harus sesuai dengan lampiran Per aturan Menteri ini.

Pasal 33
(1) Setiap instalasi alarm kebakaran harus mempunyai buku akte pengesahan yang dikeluarkan oleh Direktur.
(2) Selain buku akte pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disediakan pula buku catatan yang ditempatkan di ruangan panil indikator.
(3) Buku catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan untuk mencatat semua peristiwa alarm, latihan, penggunaan alarm dan pengujiannya.
(4) Buku akte pengesahan dan buku catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus ditunjukan kepada Pegawai Pengawas atau Ahli kepada Pegawai Pengawas atau Ahli Keselamatan Kerja.

Pasal 34
(1) Setiap kelompok alarm harus dapat melindungi maximum 1000 (seribu) m2 luas lantai dengan ketentuan jumlah detektor dan jarak penempatannya tidak boleh lebih dari yang ditetapkan dalam Pasal 6 s/d 65 atau Pasal 72 dan 78 dengan mengingat jenis detektornya.
(2) Setiap lantai harus ada kelompok alarm kebakaran tersendiri.
(3) Apabila pada lantai yang bersangkutan terdapat ruangan yang dipisahkan oleh dinding tahan kebakaran yang tidak dapat dicapai melalui lantai itu, maka ruangan tersebut harus memiliki kelompok alarm kebakaran tersendiri.

Pasal 35
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) di atas batas luas lantai untuk satu kelompok alarm kebakaran dapat diperluas areanya dengan syarat sebagai berikut:
a. dalam bangunan yang tidak bertingkat dan tidak terbagi-bagi satu kelompok alarm kebakaran dapat melindungi area maksimum 2000 (dua ribu) m2 luas lantai;
b. ruangan tersembunyi dengan luas tidak lebih dari 500 (lima ratus) m2 detektornya dapat dihubungkan dengan kelompok alarm kebakaran yang berada di bawahnya, jika jumlah luas yang dilindungi tidak lebih dari 1000 (seribu) m2;
c. lantai panggung (mezzanine) detektornya dapat dihubungkan dengan kelompok alarm kebakaran lantai di bawahnya bila jumlah luas yang dilindungi tidak lebih dari 1000 (seribu) m2.

Pasal 36
Sumber tenaga listrik untuk sistem alarm kebakaran harus dengan tegangan tidak kurang dari 6 (enam) Volt.

Pasal 37
(1) Sumber tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus dalam bentuk baterai akimulator yang diisi terus-menerus dengan pengisi baterai.
(2) Sumber tenaga listrik sebagaimana dimaksud Pasal 36 dalam bentuk baterai kering tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan khusus dan diijinkan oleh Pegawai Pengawas.
(3) Suatu pembatas rangkaian yang dapat memutus dan menyambung sendiri harus dipasang di dalam rangkaian antara baterai dengan sistemnya dan ditempatkan dekat baterai.

Pasal 38
(1) Pengisi baterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) harus dapat mengisi secara terus menerus sehingga tegangan baterai akimulator tetap.
(2) Pengisi baterai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terpasang tetap (tanpa kontak tusuk) dan dihubungkan pada sisi pemberi arus dari papan hubung atau sakelar utama.
(3) Pengisi baterai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disambung pada bagian beban sakelar tersebut, dengan syarat sakelarnya diberi tanda yang jelas untuk sistem alarm kebakaran.
(4) Suatu sakelar pemisah untuk sumber tenaga pengisi baterai harus dipasang di dekat pengisi baterai tersebut.
(5) Sakelar pemisah sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) harus dipasang di dalam lemari panil indikator.

Pasal 39
Baterai akimulator sistem alarm kebakaran harus mampu bertahan selama sekurang- kurangnya 4 (empat) hari penuh untuk memberikan isyarat secara normal tanpa adanya bantuan dari pemberi arus utama.

Pasal 40
Baterai akimulator harus ditempatkan di ruangan terpisah pada tempat yang kering, berventilasi yang cukup, mudah dicapai untuk suatu pemeriksaan serta di dalam lemari yang terkunci atau suatu tempat yang hanya bisa dibuka dengan menggunakan suatu alat dan bagian dalamnya harus dilindungi dari korosi.

Pasal 41
Perlengkapan tambahan yang tidak merupakan peralatan pokok dari sistem alarm kebakaran yang telah disahkan dapat dihubungkan lewat relai dengan syarat bahwa alat perlengkapan tambahan tersebut tidak mengganggu bekerjanya sistem.

Pasal 42
(1) Tegangan yang lebih dari tegangan ekstra rendah untuk pelayanan jarak tidak boleh ke panil indikator.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku tegangan sumber tenaga utama untuk panil indikator.
(3) Apabila digunakan alat tambahan seperti alat pengendali springkler, CO2, air conditioning dan sebagaimana yang bergabung dengan instalasi alarm kebakaran harus disediakan sumber tenaga dengan tegangan ekstra rendah dan alat tambahan tersebut tidak boleh mempengaruhi sumber daya instalasi alarm kebakaran.

Pasal 43
(1) Apabila digunakan sakelar aliran air (flow switch), sakelar tekanan air (pressure switch) dan sejenisnya untuk menggerakan alarm kebakaran yang berhubungan dengan instalasi pemadam kebakaran bentuk tetap seperti springkler, CO2, dan sebagainya, dapat disambung sebagai kelompok alarm terpisah dan panil indikator alarm atas persetujuan Direktur atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Penggunaan sakelar aliran air (flow switch) dan sejenisnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disambung khusus untuk keperluan isyarat saja, harus dike- lompokan terpisah dari indikator alarm.

Pasal 44
(1) Sistem alarm kebakaran harus dilengkapi sekurang-kurangnya sebuah lonceng.
(2) Lonceng sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipasang di luar bangunan dan dapat terdengar dari jalan masuk utama serta dekat dengan panil indikator.
(3) Sirene, pengaum atau sejenisnya dapat dipakai sebagai pengganti lonceng atas persetujuan Direktur atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 45
(1) Lonceng harus dari jenis bergetar dan bekerjanya dengan sumber tenaga baterai.
(2) Lonceng harus dipasang dengan sebuah genta yang berdiameter sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) mm;
(3) Gangguan pada sirkit lonceng tidak boleh mempengaruhi berfungsinya alarm.
(4) Sirkit lonceng harus diamankan dengan sebuah pengaman arus lebih yang sesuai.
(5) Lonceng yang dipasang di luar bangunan harus dari jenis konstruksi yang tahan cuaca.
(6) Pada lonceng harus ditulis “KEBAKARAN” dengan warna kontras dan tinggi hurufnya tidak kurang dari 25 (dua puluh lima) mm.

Pasal 46
Pengawatan sistem alarm kebakaran harus dipasang sesuai ketentuan pegawatan instalasi tegangan ekstra rendah, kecuali yang ditetapkan dalam Pasal 47.

Pasal 47
(1) Semua hantaran sistem alarm kebakaran harus dari jenis yang disiplin.
(2) Penampang hantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 1,2 (dua belas per sepuluh) mm2, sedangkan lubang kabel ini harus sekurang-kurangnya berinti empat dan setiap inti terdiri 10 (sepuluh) urat dengan diameter tidak kurang dari 0,25 (dua puluh lima per seratus) mm.
(3) Tebal salut hantaran sekurang-kurangnya 0,25 (dua puluh lima per seratus) mm dari tebal selubung sekurang-kurangnya 1 (satu) mm.

Pasal 48
Hantaran sistem alarm kebakaran antar gedung harus dari jenis yang dapat ditanam dan harus diberi perlindungan terhadap kerusakan mekanik.

Pasal 49
(1) Pengawatan dengan sistem lingkar masuk (loop in system) harus dipakai pada detektor yang dihubungkan paralel dan setiap hantaran yang masuk dan keluar dengan tegangan yang sama harus disambung pada sekrup tersendiri pada terminal yang sama.
(2) Sepanjang hantaran tidak boleh ada sambungan kecuali pada pengawatan yang sangat panjang atau untuk menyambung hantaran fleksible yang menurun.
(3) Sambungan hanya diperkenankan dalam kotak terminal tertutup.

Pasal 50
(1) Terjadinya kontak antara yang bertegangan dengan langit-langit dimana dipasang detektor harus dicegah.
(2) Bila suatu detektor dipasang dengan menggunakan hantaran fleksible berisolasi ganda, maka hantaran fleksible itu tidak boleh lebih panjang dari 1,5 (satu sete- ngah) m.
(3) Diameter hantaran fleksible sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang- kurangnya 0,75 (tujuh puluh lima per seratus) mm dan harus memiliki jepit hantaran pada setiap ujungnya.

Pasal 51
Detektor dapat dilengkapi dengan alat indikator dengan syarat bila ada gangguan pada indikator tersebut tidak mempengaruhi berfungsinya detektor.

Pasal 52
Pengawatan sistem alarm kebakaran harus terpisah dari pengawatan instalasi tenaga dan atau penerangan.

Pasal 53
Semua detektor kecuali detektor yang dipasang pada etalase toko harus diusahakan ruangan bebas sekurang-kurangnya dengan radius 0,3 (tiga per sepuluh) m dengan kedalaman 0,6(enam per sepuluh) m.

Pasal 54
(1) Dalam satu sistem alarm kebakaran boleh dipasang detektor panas, asap dan nyala secara bersama dengan syarat tegangannya harus sama.
(2) Detektor yang dipasang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan satu detektor asap atau satu detektor nyala dapat menggantikan dua detektor panas.

Pasal 55
Bila instalasi kebakaran automatik yang telah ada ditambah maka gabungan instalasi tersebut harus diuji bahwa instalasinya menyatu dan berfungsi dengan baik serta disahkan oleh Direktur.

Pasal 56
(1) Tahanan isolasi setiap kelompok alarm terhadap tanah harus diuji dengan cara semua hantaran terhubung paralel dengan alat ukur tahanan isolasi.
(2) Alat ukur tahanan isolasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempunyai tegangan 24 (dua puluh empat) volt arus searah atau dua kali tegangan kerjanya dengan ketentuan pilih yang terbesar dan mempunyai tahan tidak boleh kurang dari nilai hasil bagi 50 (lima puluh) mega ohm dengan jumlah detektor, titik panggil dan lonceng atau satu mega ohm dengan ketentuan pilih yang terkecil.


BAB II PEMELIHARAAN DAN PENGUJIAN
Pasal 57
(1) Terhadap instalasi alarm kebakaran automatik harus dilakukan pemeliharaan dan pengujian berkala secara mingguan, bulanan dan tahunan.
(2) Pemeliharaan dan pengujian tahunan dapat dilakukan oleh konsultan kebakaran atau organisasi yang telah diakui oleh Direktur atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 58
Pemeliharaan dan pengujian mingguan lain meliputi : membunyikan alarm secara simulasi, memeriksa kerja lonceng, memeriksa tegangan dan keadaan baterai, memeriksa seluruh sistem alarm dan mencatat hasil pemeliharaan serta pengujian buku catatan.

Pasal 59
Pemeliharaan dan pengujian bulanan antara lain meliputi : menciptakan kebakaran simulasi, memeriksa lampu-lampu indikator, memeriksa fasilitas penyediaan sumber tenaga darurat, mencoba dengan kondisi gangguan terhadap sistem, memeriksa kondisi dan kebersihan panel indikator dan mencatat hasil pemeliharaan dan pengujian dalam buku catatan.

Pasal 60
Pemeliharaan dan pengujian tahunan antara lain meliputi : memeriksa tegangan instalasi, memeriksa kondisi dan keberhasilan seluruh detektor serta menguji sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) % detektor dari setiap kelompok instalasi sehingga selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) tahun, seluruh detektor sudah teruji.


BAB III SISTEM DETEKSI PANAS Pasal 61
(1) Letak dan jarak antara dua detektor harus sedemikian rupa sehingga merupakan letak yang terbaik bagi pendeteksian adanya kebakaran yaitu:
a. untuk setiap 46 (empat puluh enam) m2 luas lantai dengan tinggi langit-langit dalam keadaan rata tidak lebih dari 3 (tiga) m harus dipasang sekurang-kurangnya satu buah detektor panas.
b. jarak antara detektor dengan detektor harus tidak lebih dari 7 (tujuh) m kese- luruhan jurusan ruang biasa dan tidak boleh lebih dari 10 (sepuluh) m dalam koridor.
c. jarak detektor panas dengan tembok atau dinding pembatas paling jauh 3 (tiga) m pada ruang biasa dan 6 (enam) m dalam koridor serta paling dekat 30 (tiga puluh) cm.
(2) Detektor panas yang dipasang pada ketinggian yang berbeda (staggered principle) sekurang-kurangnya satu detektor untuk 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai dengan syarat:
a. detektor disusun dalam jarak tidak boleh lebih 3 (tiga) m dari dinding;
b. sekurang-kurangnya setiap sisi dinding memiliki satu detektor;
c. setiap detektor berjarak 7 (tujuh) m.

Pasal 62
Jarak detektor panas dapat dikurangi dengan mengingat pertimbangan sebagai berikut:
a. bila daerah yang dilindungi terbagi-bagi oleh rusuk, gelagar, pipa saluran atau pembagi semacam itu yang mempunyai kedalaman melampaui 25 (dua puluh lima) cm maka untuk setiap bagian yang berbentuk demikian harus ada sekurang-kurangnya sebuah detektor bila luas bagian tersebut melampaui 57 (lima puluh tujuh) m2, namun jika langit-langitnya terbagi dalam daerah lebih sempit, maka harus dipasang sekurang-kurangnya satu detektor untuk luas 28 (dua puluh delapan) m2;
b. bila letak langit-langit melampaui ketinggian 3 (tiga) m dari lantai, maka batasan luas lingkup untuk satu detektor harus dikurangi dengan 20 (dua puluh) % dari luas lingkupnya.

Pasal 63
(1) Ruangan tersembunyi yang mempunyai ketinggian tidak lebih dari 2 (dua) m dan pemancaran panas kesamping tidak terhalang gelagar yang menjorok ke bawah dari langit-langit sedalam 50 (lima puluh) % dari tingginya harus dipasang sekurang- kurangnya satu detektor untuk 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai dengan jarak antara detektor maximum 9 (sembilan) m serta jarak antara dinding tidak boleh lebih dari 6 (enam) m.
(2) Bila gelagar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melampaui 50 (lima puluh) % tetapi tidak lebih dari 75 (tujuh puluh lima) % dan tinggi ruangan tersembunyi, maka berlaku ketentuan Pasal 61 ayat (1) a.
(3) Bila gelagar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melampaui 75 (tujuh puluh lima) % dari tinggi ruangan tersembunyi, maka tiap ruangan yang terbagi tersebut memenuhi ketentuan Pasal 62.
(4) Bila detektor panas dipasang di puncak lekukan atap ruangan tersembunyi, maka jarak antar detektor dalam arah memanjang tidak boleh lebih dari 9 (sembilan) m.
(5) Bila atap ruangan tersembunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) itu miring, maka deretan detektor yang terbawah terletak paling jauh 6 (enam) m secara hori- zontal terhitung dari satu titik yang mempunyai jarak vertikal dari permukaan. langit- langit sebelah atas dengan permukaan sebelah bawah atau sejauh 80 (delapan puluh) cm, kemudian jarak deretan detektor horizontal berikutnya harus 8 (delapan) m, sedangkan jarak arah memanjang dapat dilakukan maksimum 15 (lima belas) m.

Pasal 64
Pemasangan detektor harus diatur sedemikian rupa sehingga elemennya yang peka panas tidak boleh berada pada posisi kurang dari 15 (lima belas) m atau lebih dari 100 (seratus) mm di bawah permukaan langit-langit. Apabila terdapat kerangka penguat bangunan detektor dapat dipasang pada sebelah bawah kerangka tersebut, asalkan kerangka itu tidak mempunyai kedalaman melampaui 25 (dua puluh lima) cm.

Pasal 65
Pada satu kelompok sistem alarm kebakaran tidak boleh dipasang lebih dari 40 (empat puluh) buah detektor panas.

Pasal 66
(1) Instatasi alarm kebakaran automatik yang menggunakan detektor panas jenis ini harus memiliki elemen lebur yang panjangnya tidak melebihi 3 (tiga) m. Pemasangan detektor jenis ini tersebut harus ditempatkan sepanjang ruangan yang harus dilindungi dan jarak antara detektor satu dengan lainnya tidak lebih dari 3 (tiga) m serta jarak dari dinding tidak lebih dari 1 ½ (satu setengah) m.
(2) Pemasangan detektor jenis ini harus disusun sedemikian rupa sehingga untuk suatu panjang tertentu tidak terdapat lebih dari tiga perubahan arah.
(3) Alat hubung detektor jenis ini harus ditempatkan pada tingkat bangunan yang bersangkutan serta berada dalam peti kedap debu dan terhubung dengan indikator secara listrik.
(4) Suatu bangunan dengan atap yang berpuncak memajang harus ada detektor jenis ini dengan elemen lebur sepanjang puncak memanjangnya. Apabila jajaran puncak memanjangnya melebihi 4,5 (empat lima per sepuluh) m dari sesamanya harus dipasang deretan elemen lebur.
(5) Pengawatan ini harus dilindungi dari kerusakan secara mekanik.


BAB IV SISTEM DETEKSI ASAP
Pasal 67
Detektor asap harus dapat bekerja baik dan kepekaannya tidak terpengaruh oleh variasi tegangan yang bergerak dalam batas kurang atau lebih 10 (sepuluh) % dari tegangan nominalnya.

Pasal 68
(1) Bila detektor asap dipasang secara terbenam, maka alas dari elemen penginderaannya harus berada sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) mm di bawah permukaan langit- langit.
(2) Dalam menentukan letak detektor asap harus memperhatikan hal-hat sebagai berikut:
a. bila detektor asap dipasang dalam saluran udara yang mengalir dengan kecepatan lebih dari 1 (satu) m perdetik perlu dilengkapi dengan alat penangkap asap (sampling device).
b. bila disuatu tempat dekat langit-langit atau atap dimungkinkan dapat timbul suhu tinggi, maka detektor perlu diletakan jauh di bawah langit-langit atau atap tersebut agar detektor dapat bereaksi sedini mungkin.
c. apabila detektor asap dipasang dekat dengan saluran udara atau dalam ruang ber- air conditioning harus diperhitungkan pengaruh aliran udara serta gerakan asapnya.

Pasal 69
Pemasangan detektor asap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. untuk setiap 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai harus dipasang sekurang- kurangnya satu detektor asap atau satu alat penangkap asap.
b. gerak antar detektor asap atau alat penangkap asap tidak boleh melebihi dari 12 (dua belas) m dalam ruangan biasa dan 18 (delapan belas) m di dalam koridor.
c. jarak dan titik pusat detektor asap atau alat penangkap asap yang terdekat ke dinding atau pemisah tidak boleh melebihi dari 6 (enam) m dalam ruangan biasa dan 12 (dua belas) m di dalam karidor.

Pasal 70
(1) Dalam ruangan tersembunyi yang tingginya tidak melebihi 2 (dua) m dan penyebaran asap kesamping tidak terhalang oleh gelagar yang menjorok ke bawah sampai 50 (lima puluh) % dari tingginya, sekurang-kurangnya harus dipasang satu detektor asap untuk setiap 184 (seratus delapan puluh empat) m2 luas lantai. Jarak antar detektor asap tidak melebihi dari 18 (delapan belas) m dan jarak dari dinding atau pemisah ke detektor terdekat tidak boleh melebihi dari 12 (dua belas) m.
(2) Bila gelagar yang menjorok ke bawah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melampaui 50 (lima puluh) % tetapi tidak melebihi 75 (tujuh puluh lima) % dari tingginya ruangan tersebut harus dipasang sekurang-kurangnya satu detektor untuk setiap 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai.
(3) Bila gelagar yang menjorok ke bawah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) me lampaui 75 (tujuh puluh lima) % dari tingginya ruangan tersebut, maka setiap bagian ruangan harus dilindungi secara tersendiri.
(4) Bila detektor asap dipasang dipuncak lekukan atau ruangan tersembunyi, maka jarak antar detektor asap dalam arah memanjang tidak boleh lebih dari 18 (delapan belas) m.
(5) Bila atap ruangan tersembunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) miring, maka deretan detektor asap yang terbawah terletak paling jauh 6 (enam) m secara horizontal terhitung dari suatu titik yang mempunyai jarak vertikal dari permukaan langit-langit sebelah atas dengan permukaan sebelah bawah atap sejauh 80 (delapan puluh) cm, kemudian jarak deretan detektor horizontal berikutnya harus 12 (dua belas) m, sedangkan jarak arah memanjang dapat dilakukan sampai 30 (tiga puluh) m.

Pasal 71
Bila ruangan tersembunyi terbagi-bagi sehingga mempengaruhi kelancaran aliran udara, maka harus dipasang detektor sedemikian rupa untuk menjamin pendeteksian dini.

Pasal 72
Setiap kelompok alarm kebakaran harus dibatasi sampai 2 (dua puluh) buah detektor asap dan dapat melindungi ruangan tidak lebih dari 2000 (dua ribu) m2 luas lantai. Jika dipakai sistem alat penangkap asap, maka tidak boleh dipasang lebih dari 12 (dua belas) buah alat penangkap asap dengan satu elemen pengindera. Sistem ini dianggap sebagai satu kelompok alarm kebakaran.

Pasal 73
(1) Berkas sinar yang membentuk bagian suatu sistem dari detektor asap jenis optik harus dilindungi terhadap timbulnya alarm palsu.
(2) Elemen peka cahaya detektor asap jenis optik harus ditempatkan sedemikian rupa atau diberi perisai, sehingga bila ada sinar dari manapun datangnya selain dari sumber yang dikehendaki tidak mempunyai pengaruh terhadap bekerjanya detektor.
(3) Bila detektor asap jenis optik memiliki sistem monitor terhadap sumber cahaya secara menerus, maka sumber cahaya itu harus diganti dengan yang baru, sekurang- kurangnya sekali setahun.

Pasal 74
(1) Desain sistem alat penangkap asap harus sedemikian rupa sehingga bila asap me- masuki titik tangkap yang terjauh untuk mencapai elemen penginderaan harus dapat dicapai dalam waktu 80 (delapan puluh) detik.
(2) Penyusunan sistem alat penangkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran udara ke setiap titik tangkap perbe- daannya tidak boleh lebih besar atau lebih kecil 10 (sepuluh) % dari kecepatan rata- rata dan kegagalan aliran dari titik tangkap dapat menimbulkan gangguan pada alarm.

Pasal 75
Pada sistem alat penangkap asap harus tersedia dua kipas angin, satu digerakan oleh arus listrik dari sumber utama dan yang satu dari baterai akimulator, atau hanya satu kipas angin yang digerakan oleh arus listrik dari sumber utama dengan satu sakelar pemindah automatik kebateraian akimulator.

Pasal 76
Setiap titik tangkap harus dapat menyalurkan udara yang ditangkap langsung kebagian penginderaan detektornya sebelum udara itu bercampur dengan udara daerah lain.


BAB V SISTEM DETEKTOR API (FLAME DETECTOR)
Pasal 77
(1) Detektor nyala api harus mempunyai sifat yang stabil dan kepekaannya tidak ter- pengaruh oleh adanya perubahan tegangan dalam batas kurang atau lebih 10 (sepuluh) % dari tegangan nominalnya.
(2) Kepekaan dan kestabilan detektor nyala api harus sedemikian rupa sehingga bekerjanya tidak terganggu oleh adanya cahaya dan radiasi yang berlebihan atau ada- nya perubahan suhu dari 0o (nol derajat) C sampai 65o (enam puluh lima derajat) C.

Pasal 78
Satu kelompok alarm kebakaran harus dibatasi sampai dengan 20 (dua puluh) detektor nyala api untuk melindungi secara baik ruangan maksimum 2000 (dua ribu) m2 luas lantai kecuali terhadap ruangan yang luas tanpa sekat, maka atas persetujuan Direktur atau pejabat yang ditunjuknya dapat diperluas lebih dari 2000 (dua ribu) m2 luas lantai.

Pasal 79
Detektor nyala api yang dipasang di luar ruangan (udara terbuka) harus terbuat dari bahan yang tahan cuaca atau tidak mudah berkarat dan pemasangannya harus sedemikian sehingga tidak mudah bergerak karena pengaruh angin, getaran atau sejenisnya.

Pasal 80
Pemasangan detektor nyala api dalam gardu listrik atau daerah lain yang sering mendapat sambaran petir, harus dilindungi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan alarm palsu.


BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 81
Instalasi Alarm Kebakaran Automatik yang sudah digunakan sebelum Peraturan ini di- tetapkan, Pengurus wajib memenuhi ketentuan Peraturan Menteri ini dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

Pasal 82
Pengurus wajib melaksanakan untuk ditaatinya semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 83
(1) Pengurus yang tidak mentaati ketentuan Pasal 82 diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.


BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84
Pemasangan Instalasi Alarm Kebakaran Automatik yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Direktur.

Pasal 85
Pegawai Pengawas dan Ahli Keselamatan Kerja melakukan pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini.

Pasal 86
Hal-hal yang memerlukan pedoman pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini ditetapkan lebih lanjut oleh direktur.

Pasal 87
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1983
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.03/MEN/1985 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PEMAKAIAN ASBES


Menimbang:
a. bahwa industri asbes semakin meningkat dan pemakaian asbes semakin meluas dalam pembangunan dewasa ini, dan asbes merupakan bahan pembangunan dan bahan pembuat alat yang belum dapat diganti dengan bahan lain sehingga pemakaian asbes dalam pembangunan sampai sekarang tetap dipertahankan.
b. Bahwa debu serat asbes yang terkandung di udara dapat membahayakan manusia, terutama terhadap orang yang secara langsung terlibat dalam proses produksi yang menggunakan bahan asbes di perusahaan.
c. bahwa untuk mengatasi bahaya yang mungkin terjadi atau untuk melindungi tenaga kerja dalam perusahaan yang menggunakan bahan asbes dalam proses produksinya, perlu dikeluarkan peraturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja pemakaian asbes.
d. bahwa untuk itu perlu diatur keselamatan dan kesehatan kerja pemakaian asbes dengan Peraturan Menteri.

Mengingat:
1. Undang-undang No. 14 Tahun 1969;
2. Undang-undang No. 3 Tahun 1951;
3. Undang-undang No. 1 Tahun 1970;
4. Keputusan Presiden R.I. No. 45/M/ Tahun 1983;
5. Keputusan Presiden R.I. No. 15 Tahun 1984.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi TENTANG KESELA- MATAN DAN KESEHATAN KERJA PEMAKAIAN ASBES.



BAB I PENGERTIAN
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Tenaga Kerja adalah orang yang bekerja pada tempat kerja dengan menerima upah;
b. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau sebagainya yang berdiri sendiri;
c. Ventilasi buang adalah alat yang berfungsi mengeluarkan debu dari lingkungan kerja melalui peralatan mekanis yang meliputi corong pengepul, pipa-pipa penyalur, pembersih udara dan lain-lain yang berhubungan dengan fungsi pengeluaran debu;
d. Asbes adalah serat yang belum terikat dengan semen atau bahan lain;
e. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber bahaya;
f. Nilai ambang batas asbes adalah angka yang menunjukan konsentrasi serat asbes di udara tempat kerja, dimana dengan konsentrasi dibawah angka ini orang yang terpapar dalam waktu 8 jam sehari dan 40 jam seminggu tidak akan mengalami gangguan kesehatan dan kenyamanan kerja;
g. Pegawai Pengawas adalah Pegawai Teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri;
h. Alat pelindung diri adalah tutup hidung, mulut, respirator, pakaian khusus termasuk sepatu, kaos tangan, tutup kepala dan lain-lain perlengkapan yang digunakan untuk melindungi diri dari bahaya pemaparan asbes;
i. Menteri adalah Menteri yang diserahi urusan ketenagakerjaan.


BAB II PENGGUNAAN ASBES
Pasal 2
Asbes atau bahan yang mengandung asbes tidak boleh digunakan dengan cara menyemprotkan.

Pasal 3
Setiap proses atau pekerjaan yang menggunakan atau pemakaian asbes biru (crosidolit) dilarang.


BAB III KEWAJIBAN PENGURUS
Pasal 4
(1) Pengurus berkewajiban:
a. menyediakan alat-alat pelindung diri bagi tenaga kerja. b. Memberikan penerangan kepada tenaga kerja mengenai:
1. bahaya yang mungkin terjadi karena pemaparan asbes;
2. cara-cara kerja yang aman;
3. pemakaian alat pelindung diri yang benar.
c. memberitahukan secara tertulis kepada Menteri dan menjelaskan proses produksi, jenis asbes yang dipakai atau ditambang, barang jadi dan lokasi kegiatan-kegiatannya selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari sebelum proses dimulai;
d. memasang tanda atau rambu-rambu di tempat-tempat tertentu di lingkungan kerja sedemikian rupa sehingga mudah dilihat atau dibaca, bahwa setiap orang yang berada dilokasi tersebut harus menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan tanda atau rambu-rambu yang ada.
(2) Pengurus mengambil langkah-langkah seperlunya agar tenaga kerja mentaati ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Pasal 5
(1) Pengurus wajib melakukan pengendalian terhadap debu asbes yang terkandung di udara lingkungan kerja dengan mengambil sample pada beberapa tempat yang diperkirakan konsentrasi debu asbesnya tinggi dalam setiap 3 bulan atau pada frekuensi tertentu.
(2) Analisa debu asbes dilakukan oleh Pusat Bina Hiperkes Departemen Tenaga Kerja atau Laboratorium lain yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuknya.
(3) Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk berhak memeriksa hasil analisa tersebut ayat (2).

Pasal 6
Pengurus harus memberikan kepada tenaga kerja yang bekerja dalam tambang atau setiap proses yang memakai asbes sebuah buku petunjuk yang secara terperinci menjelaskan mengenai bahaya-bahaya yang berhubungan dengan asbes dan cara-cara pencegahannya.

Pasal 7
Pengurus atau tenaga kerja yang ditunjuk harus memberikan penerangan atau informasi yang diminta oleh Pegawai Pengawas yang mengadakan inspeksi di tempat kerja.

BAB IV KEWAJIBAN TENAGA KERJA
Pasal 8
(1) Selama melakukan tugas pekerjaannya tenaga kerja wajib memakai alat pelindung diri yang diperlukan.
(2) Tenaga kerja wajib memakai atau melepas dan menyimpan alat pelindung diri dan pakaian kerja di tempat yang telah ditentukan.
(3) Tenaga kerja wajib melapor kepada pengurus apabila ada:
a. Kerusakan alat kerja;
b. Kerusakan alat pelindung diri;
c. Kerusakan alat ventilasi di ruang kerja atau alat pengaman lainnya.

Pasal 9
Ditempat-tempat yang kadar asbesnya melampaui nilai ambang batas yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku, tenaga kerja harus menggunakan respirator khusus dan alat pelindung diri khusus lainnya.

BAB V ALAT PELINDUNG DIRI Pasal 10
Alat pelindung diri dan pakaian kerja yang telah dipakai tenaga kerja tidak boleh dipakai tenaga kerja lain kecuali bila alat pelindung diri dan pakain kerja sudah dibersihkan.

Pasal 11
(1) Pembersihan alat pelindung diri harus dilakukan di dalam pabrik. (2) Pakaian kerja dibersihkan di:
a. Tempat kerja;
b. Binatu di luar tempat kerja dengan cara pengiriman sedemikian sehingga pakaian kerja dibasahi dan dimasukan dalam tempat yang kedap air dan secara jelas diberi label “PAKAIAN MENGANDUNG ASBES.”
(3) Pakaian kerja sesudah dipakai harus dibersihkan dan disimpan di tempat yang telah ditentukan.


BAB VI KEBERSIHAN LINGKUNGAN KERJA
Pasal 12
(1) Pada setiap ruang kerja wajib dipasang alat ventilasi yang sesuai, agar debu serat asbes yang terkandung di udara tempat kerja berada di bawah nilai ambang batas.
(2) Alat ventilasi wajib dihidupkan pada waktu proses industri dijalankan, dilakukan perbaikan atau perawatan peralatan proses industri.
(3) Alat ventilasi harus diperiksa oleh pengurus secara teratur selama-lamanya 3 (tiga) bulan sekali dan hasil pemeriksaannya harus dicatat dan disimpan untuk waktu minimum 3 (tiga) tahun.
(4) Alat ventilasi dan alat pelindung diri serta hasil pemeriksaan tersebut ayat (3), diperiksa dan diawasi oleh Pegawai Pengawas.

Pasal 13
(1) Kantong-kantong filter alat ventilasi yang telah penuh debu asbes ditempatkan pada tempat yang tertutup untuk menghindari penyebaran debu asbes.
(2) Filter harus dibersihkan dan diganti oleh petugas yang ditunjuk.

Pasal 14
(1) Tempat kerja termasuk mesin, alat-alat bengkel, peralatan tambag atau pabrik dan lain-lain yang digunakan dalam proses produksi harus diusahakan tetap bersih dan bebas dari akumulasi debu asbes.
(2) Untuk membersihkan debu asbes dilarang menggunakan hembusan udara tekan tetapi harus dengan peralatan pembersih hampa udara atau pembersih basah atau dengan cara lain yang tepat untuk menghisap debu asbes.
(3) Petugas yang melaksanakan pembersihan tersebut ayat (1) dan (2) Pasal ini harus memakai alat pelindung diri dan respirator.

Pasal 15
(1) Pembungkus atau kantong yang digunakan untuk tempat asbes harus tidak dapat ditembus debu asbes.
(2) Asbes atau sampah asbes, kecuali asbes semen atau bahan asbes yang telah terikat tidak boleh disimpan, dikirim atau didistribusikan tanpa wadah yang tertutup sempurna.
(3) Semua wadah yang mengandung asbes atau sampah asbes harus diberi tanda dengan tulisan “Bahan asbes tidak boleh dihirup” kecuali produk-produk asbes semen dan asbes yang terikat oleh bahan lain.

Pasal 16
(1) Pembungkus atau kantong asbes yang telah digunakan untuk tempat asbes harus dibuang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
(2) Sampah asbes harus dibuang dengan jalan menyebarkan secara merata di tanah kemudian ditimbun tanah paling sedikit setebal 25 cm atau dengan cara lain yang dibenarkan.

Pasal 17
(1) Apabila Pegawai Pengawas menemukan bahwa kadar serat asbes di tempat kerja melampaui nilai batas yang berlaku, Pegawai Pengawas berhak mewajibkan pengusaha mengadakan teknologi pengendalian yang sepadan, menyediakan alat respirator dan pakaian pelindung khusus lainnya.
(2) Apabila setelah diperintahkan pengusaha tetap tidak mau melaksanakan atau tidak melakukan suatu tindakan kearah itu Pegawai Pengawas melalui Menteri menyampaikan dan meminta kepada instansi yang berwenang menutup perusahaan, agar perusahaan tersebut ditutup.


BAB VII PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA Pasal 18
(1) tenaga kerja yang terlibat dalam proses atau pekerjaan yang memakai asbes wajib diperiksakan kesehatannya kepada dokter pemeriksaan kesehatan kerja.
(2) Pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini harus dilaksanakan secara rutin setiap tahun sekali yang meliputi:
a. Foto dada dengan sinar X posterior anterior ukuran 350 x 430 mm yang pembacaannya diserahkan kepada seorang radiolog;
b. Riwayat pekerjaan; c. Riwayat merokok; d. Pengujian kimia;
e. Tes fungsi paru-paru.
(3) Pengusaha wajib menanggung biaya pemeriksaan kesehatan tenaga kerjanya.

Pasal 19
(1) Dokter yang melakukan pemeriksaan harus memberikan laporan atas hasil pemeriksaan dan menyebutkan nama tenaga kerja yang terkena penyakit akibat pemakaian asbes dalam proses produksi disertai petunjuk tindakan lebih lanjut untuk kesehatannya kepada pengurus.
(2) Hasil pemeriksaan tenaga kerja termasuk film pemeriksaan dada dengan sinar X, harus disimpan baik-baik oleh pengurus selama masa kerja tenaga kerja yang bersangkutan.
(3) Pengurus wajib membuat laporan dan menyampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sesudah dilakukan kepada Menteri melalui Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.

Pasal 20
Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat merubah syarat-syarat dan frekuensi pemeriksaan kesehatan tenaga kerja menurut hasil pemeriksaan tidak boleh bekerja pada tempat kerja yang berdebu asbes.

Pasal 21
(1) Pengurus wajib mentaati keterangan dokter pemeriksa kesehatan kerja untuk memindahkan tenaga kerja karena menurut hasil pemeriksaan tidak boleh bekerja pada tempat kerja yang berdebu asbes.
(2) Apabila tenaga kerja tersebut ayat (1) berkeinginan bekerja lagi pada pekerjaan semula, harus ada surat keterangan dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja bahwa kesehatan tenaga kerja tersebut cukup mantap untuk bekerja di tempat tenaga kerja tersebut yang mengandung debu asbes.


BAB VIII KETENTUAN PIDANA
Pasal 22
Pengurus yang tidak memenuhi ketentuan Pasal-Pasal 4 ayat (1), 5 ayat (1), 12, 18, 19 ayat(3), 21 ayat (1), 23 dan Pasal 44 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah) sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Selama-lamanya dalam jangka waktu 14 hari setelah Peraturan Menteri ini berlaku, perusahaan yang memakai asbes dalam proses produksinya atau melakukan penambangan asbes, wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk dengan menjelaskan proses produksi, jenis asbes yang dipakai atau ditambang, barang jadi dan lokasi kegiatannya.

Pasal 24
Apabila perusahaan yang memakai asbes dalam proses produksinya atau menambang asbes belum melaksanakan kesehatan terhadap tenaga kerja, selama-lamanya dalam jangka waktu 90 hari setelah berlakunya peraturan ini wajib melaksanakannya.

BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 04 Juli 1985
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA No: PER.04/MEN/1985 TENTANG PESAWAT TENAGA DAN PRODUKSI


Menimbang:
a. bahwa kenyataan menunjukan banyak terjadi kecelakaan pada pekerjaan-pekerjaan PESAWAT TENAGA DAN PRODUKSI, oleh karena itu perlu diadakan segala daya upaya untuk membina perlindungan kerja;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya pembangunan dengan penggunaan alat-alat modern, harus diimbangi pula dengan upaya keselamatan dan kesehatan kerja terhadap tenaga kerja maupun orang lain yang berada ditempat kerja;
c. bahwa sebagai pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur keselamatan kerja pada PESAWAT TENAGA DAN PRODUKSI.

Mengingat:
1. Pasal-Pasal 9, 10 dan 16 Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara No. 2912);
2. Pasal-Pasal 3 dan 4 Undang-undang 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor
1. Tambahan Lembaran Negara No. 2918).

MEMUTUSKAN
1. Mencabut : Peraturan Khusus Direktur Pekerjaan Umum No.1 1996/ Stw tanggal 19 Agustus 1910 (Bijbl No. 8600 sebagai telah dirubah dengan Beslit Kepala Keselamatan Kerja No. S.60/1/2 tanggal 9 Maret 1929).
2. Menetapkan : Peraturan Menteri tentang PESAWAT TENAGA DAN PRODUKSI.


BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Direktur ialah sebagaimana yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 79/MEN/1977.
b. Pegawai Pengawas ialah Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
c. Ahli Keselamatan Kerja ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang Keselamatan Kerja.
d. Pengurus ialah Orang atau Badan Hukum yang bertanggung jawab penuh dan dapat memberikan kebijaksanaan langsung penggunaan Pesawat Tenaga dan Produksi.
e. Pengusaha ialah Orang atau Badan Hukum seperti yang dimaksud dalam Undang undang No. 1 Tahun 1970, yang memiliki pesawat tenaga dan produksi.
f.  Pesawat Tenaga dan Produksi ialah Pesawat atau alat yang bergerak berpindah-pindah atau tetap yang dipakai atau dipasang untuk membangkitkan atau memin- dahkan daya atau tenaga, mengolah, membuat: bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
g. Pesawat Tenaga ialah Pesawat atau alat yang bergerak berpindah-pindah atau tetap yang dipakai atau dipasang untuk membangkitkan atau memindahkan daya atau tenaga termasuk perlengkapan transmisinya.
h. Pesawat Produksi ialah pesawat atau alat yang bergerak berpindah-pindah atau tetap yang dipakai dalam proses produksi atau dipasang untuk mengolah, membuat: bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi.
i.  Pengerak Mula ialah suatu pesawat yang mengubah suatu bentuk energi menjadi tenaga mekanik dan digunakan untuk menggerakan pesawat atau mesin antara lain: motor pembakaran luar, motor pembakaran dalam, turbin air dan kincir angin.
j.  Perlengkapan transmisi tenaga mekanik ialah bagian peralatan mesin yang berfungsi untuk memindahkan daya atau gerakan mekanik dan penggerak mula kepesawat atau mesin lainnya antara lain: puli dengan ban atau pita, roda gigi dengan roda gigi,  batang berulir dengan roda gigi, rantai dengan roda, gigi roda-roda gesek, poros transmisi dan batang silinder hidrolis.
k. Mesin Produksi ialah semua mesin peralatan kerja yang digunakan untuk menyiapkan, membentuk atau membuat, merakit finishing, barang atau produk teknis antara lain: mesin pak dan bungkus, mesin jahit dan rajut, mesin pintal dan tenun.
l.  Mesin perkakas kerja ialah suatu pesawat atau alat untuk membentuk suatu bahan, barang, produk teknis dengan cara memotong, mengepres, menarik atau menumbuk antara lain: mesin asah, poles dan pelicin, alat tuang dan tempa, mesin pelubang, mesin frais, mesin rol, mesin gergaji, mesin ayak dan mesin pemisah, mesin gunting, mesin pengeping dan pembelah.
m. Dapur ialah suatu pesawat yang dengan cara pemanasan digunakan untuk mengolah, memperbaiki sifat, barang, atau produk teknis, antara lain: dapur tinggi, dapur-dapur baja, convertor dan oven.
n. Alat perlindungan diri ialah suatu alat perlengkapan tenaga kerja untuk melindungi anggota badan dari bahaya yang ditimbulkan oleh keadaan kerja sebagai akibat dari penggunaan pesawat, alat, mesin, bahan-bahan dan lain-lain.
o. Alat pengaman ialah suatu alat perlengkapan yang dipasang permanen pada pesawat tenaga dan produksi guna menjamin pemakaian pesawat tersebut dapat bekerja dengan aman.
p. Alat perlindungan ialah suatu alat perlengkapan yang dipasang pada suatu pesawat tenaga dan produksi yang berfungsi untuk melindungi tenaga kerja terhadap kecelakaan yang ditimbulkan oleh pesawat tenaga dan produksi.
q. Pesawat ialah kumpulan dari beberapa alat secara berkelompok atau berdiri sendiri guna menghasilkan tenaga baik mekanik maupun bukan mekanik dan dapat digunakan untuk tujuan tertentu.
r.  Motor penggerak ialah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk menggerakan mesin antara lain motor listrik.
s. Pemeriksaan pesawat tenaga dan produksi ialah pemeriksaan secara visual terhadap seluruh unit.
t.  Pengujian ialah pemeriksaan dan semua tindakan untuk mengetahui kemampuan operasi, bahan dan konstruksi pesawat tenaga dan produksi.

Pasal 2
Pesawat tenaga dan produksi harus dirancang, dibuat, dipasang, digunakan dan dipelihara sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 3
(1) Bahan dan konstruksi Pesawat Tenaga dan Produksi harus kuat dan memenuhi syarat. (2) Setiap bahan dari bagian konstruksi Pesawat Tenaga dan Produksi yang utama harus
memiliki tanda hasil pengujian atau sertifikat bahan yang diakui.

Pasal 4
Semua bagian yang bergerak dan berbahaya dari Pesawat Tenaga dan Produksi harus dipasang alat perlindungan yang efektif kecuali ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak ada orang atau benda yang menyinggungnya.

Pasal 5
(1) Dilarang memindahkan, merubah ataupun menggunakan alat pengaman atau alat perlindungan untuk tujuan lain dari suatu pesawat atau mesin yang sedang bekerja, kecuali apabila mesin tersebut dalam keadaan berhenti atau dalam perbaikan.
(2) Alat-alat pengaman dan alat perlindungan harus dipasang kembali setelah pesawat atau mesin selesai diperbaiki.

Pasal 6
Pada Pesawat Tenaga dan Produksi yang sedang diperbaiki tenaga penggerak harus dimatikan dan alat pengontrol harus segera dikunci serta diberi suatu tanda larangan untuk menjalankan pada tempat yang mudah dibaca sampai Pesawat Tenaga dan Produksi atau alat pengaman tersebut selesai diperbaiki.

Pasal 7
Jarak antara pesawat-pesawat atau mesin-mesin harus cukup lebar dan bebas dari segala sesuatu yang dapat membahayakan bagi lalu lintas.

Pasal 8
(1) Ban-ban penggerak, rantai-rantai dan tali-tali yang berat yang dapat menimbulkan bahaya bila terlepas atau putus harus dilengkapi alat perlindungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Ban-ban penggerak dan rantai-rantai penggerak yang dilepas harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat menyentuh pada alat-alat penggeraknya.

Pasal 9
(1) Pada pekerjaan yang menimbulkan serbuk, serpih, debu dan bunga api yang dapat menimbulkan bahaya harus diadakan pengaman dan perlindungan.
(2) Semua Pesawat Tenaga dan Produksi harus dipelihara secara berkala dan baik.

Pasal 10
Mesin-mesin yang digerakan oleh motor penggerak, mesin harus dapat dihentikan tanpa tergantung dari pesawat penggeraknya.

Pasal 11
(1) Jika dalam ruangan terbuka atau tertutup terdapat poros penggerak yang digerakan oleh suatu penggerak mula yang berada di lain ruangan sedangkan poros penggerak tersebut tidak dapat dihentikan selama penggerak mula bekerja, maka dalam ruangan tersebut harus ada suatu alat untuk memberi tanda kepada penjaga mesin atau operator sehingga dengan segera dapat menghentikan mesin penggerak.
(2) Setiap penggerak mula seperti tersebut dalam ayat (1) akan dijalankan harus selalu membunyikan tanda yang dapat terang didengar dimana terdapat alat-alat penggerak yang digerakan oleh penggerak mula.
(3) Bila terjadi kecelakaan pada saat penggçrak mula seperti ayat (1) dihidupkan, maka harus ada tanda yang dapat didengar dan dilihat dengan jelas ditempat penggerak mula berada.

Pasal 12
Pelumasan, pembersihan pesawat atau mesin dan pemasangan ban-ban harus dilaksanakan pada waktu pesawat atau mesin dalam keadaan berhenti, kecuali dapat dilakukan dengan aman.

Pasal 13
Setiap mesin yang digerakan dengan penggerak mula harus dilengkapi dengan alat penghenti yang mudah dicapai oleh operator guna menahan mesin agar tidak bergerak kembali.

Pasal 14
(1) Alat-alat pengendali Pesawat Tenaga dan Produksi dibuat dan dipasang sedemikian rupa sehingga pesawat Tenaga dan Produksi tersebut dapat bekerja dengan baik, aman dan mudah dilayani dari tempat operator.
(2) Tempat operator mesin harus cukup luas, aman dan mudah dicapai.

Pasal 15
Pada motor-motor penggerak harus dinyatakan tanda arah perputaran dan kecepatan maximum yang aman.

Pasal 16
Rantai, sabuk dan tali penghubung untuk roda gigi penggerak tidak boleh dilepas atau dipasang dengan tangan sewaktu berjalan atau berputar.

Pasal 17
Dilarang mencuci atau membersihkan Pesawat Tenaga dan Produksi dengan cairan yang mudah terbakar atau bahan beracun.

Pasal 18
(1) Sebelum menghidupkan mesin harus diperiksa lebih dahulu, untuk menjamin keselamatan.
(2) Mesin yang sedang bekerja harus selalu dalam pengawasan.

Pasal 19
(1) Mesin yang digerakan dengan tenaga manusia tidak boleh digerakan dengan motor penggerak.
(2) Pada mesin yang tetap berputar atau bergerak, setelah sumber tenaganya diputuskan harus diberi perlengkapan pengunci atau rem yang efektif dan bila diperlukan dapat bekerja secara otomatis.

Pasal 20
(1) Setiap mesin harus dilengkapi dengan alat penghenti yang memenuhi syarat.
(2) Penandaan tombol penggerak maupun penghenti untuk mesin di tempat kerja harus seragam.

Pasal 21
Kerusakan atau ketidak sempurnaan suatu Pesawat Tenaga dan Produksi atau alat pengamannya harus segera dilaporkan kepada atasan yang berwenang dan segera tenaga penggeraknya dimatikan.

Pasal 22
(1) Pemasangan mesin-mesin dalam suatu tempat kerja harus dipasang di atas pondasi dan kuat konstruksinya.
(2) Lantai disekitar mesin-mesin harus kering, bersih dan tidak licin.

Pasal 23
(1) Semua sekrup penyetel pada bagian yang bergerak dimanapun berada harus dibuat rata, terbenam atau diberi alat perlindungan.
(2) Semua kunci, grendel, nipel gemuk pada bagian yang berputar harus dibuat rata atau diberi alat perlindungan.

Pasal 24
Roda gigi yang terbuka dari suatu pesawat atau mesin yang bergerak harus diberi alat perlindungan dengan salah satu cara sebagai berikut:
(a). untuk putaran cepat dengan menutup keseluruhan. (b). untuk putaran lambat pada titik pertemuan roda gigi.

Pasal 25
Sakelar listrik harus mempunyai bentuk dan ditempatkan dalam posisi sedemikian rupa, sehingga dapat menghubungkan atau memutuskan arus secara tidak disengaja.

Pasal 26
Semua alat pengaman dan alat perlindungan harus tetap berada ditempatnya bila mesin hidup.

Pasal 27
(1) Titik operasi dari mesin harus diberi alat perlindungan yang efektip.
(2) Mesin jenis tua yang konstruksi tanpa perlengkapan yang baik harus diberi alat perlindungan yang efektip.
(3) Pada mesin yang berbahaya cara pengisiannya harus dilakukan dengan cara pengisian mekanis atau disediakan alat pengisi yang aman.
(4) Alat untuk menjalankan dan menghentikan harus dipasang pada setiap mesin yang memotong, menarik, menggiling, mengepres, melubangi, menggunting, menempa dan memeras pada tempat yang mudah dicapai oleh operator.
(5) Apabila dikehendaki agar titik operasi dapat dilihat maka digunakan alat perlin- dungan yang tembus cahaya atau transparant yang memenuhi syarat.
(6) Pada mesin-mesin yang dijalankan dengan pedal harus dilengkapi dengan alat pengunci otomatis atau alat perlindungan berbentuk huruf U terbalik yang dipasang mengurung pedal tersebut.

Pasal 28
Setiap Pesawat Tenaga dan Produksi harus diberi pelat nama yang memuat data-data Pesawat Tenaga dan Produksi.

Pasal 29
Operator Pesawat Tenaga dan Produksi harus memenuhi syarat-syarat keselamatan dan Kesehatan kerja.

Pasal 30
Operator dilarang meninggalkan tempat kerjanya pada waktu Pesawat Tenaga dan Produksi sedang beroperasi.

Pasal 31
Tempat-tempat kerja yang mengandung uap, gas, asap yang menggangu atau berbahaya harus dilengkapi dengan alat penghisap yang konstruksinya memenuhi syarat.

Pasal 32
Pekerjaan menggiling dan menumbuk bahan-bahan yang mengeluarkan debu yang dapat meledak harus dilakukan dengan peralatan yang khusus dan pelaksanaannya harus memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan kerja.


BAB II RUANG LINGKUP
Pasal 33
Yang diatur oleh Peraturan Menteri ini adalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja dimana PESAWAT TENAGA DAN PRODUKSI dibuat, dipasang dan dipakai.

Pasal 34
Pesawat Tenaga dan Produksi dimaksud adalah:
a). penggerak mula;
b). perlengkapan transmisi tenaga mekanik;
c). mesin perkakas kerja;
d). mesin produksi;
e). dapur;


BAB III ALAT PERLINDUNGAN
Pasal 35
Semua alat perlindungan harus direncanakan, dibuat, dipasang dan digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 36
Perlindungan atau penutup harus dibuat:
a. dari metal atau pelat yang berlubang-lubang atau kawat teranyam dengan bingkai besi siku, pipa besi atau batang besi penjual;
b. dari kayu, plastik atau bahan lainnya yang sesuai dengan penggunaannya.

Pasal 37
Bingkai alat-alat perlindungan dari besi yang tingginya kurang dari 75 cm dan luas permukaan tidak lebih dari 1 m2 harus mempunyai ukuran diameter minimum 1 cm untuk batangan besi pejal atau 20 x 20 x 3 mm untuk besi siku.

Pasal 38
Bingkai alat perlindungan dengan penahan dari besi yang tingginya lebih dari 75 cm dan luas permukaan tidak lebih dari 1 m2 harus mempunyai ukuran diameter dalam 20 mm untuk pipa besi atau 25 x 25 x 3 mm untuk besi siku.

Pasal 39
Bingkai alat perlindungan tanpa penahan dan tidak dipasang secara kuat pada lantai kerja harus mempunyai ukuran tidak kurang dari 38 x 38 x 3 mm untuk besi siku atau diameter dalam minimum 38 mm untuk pipa besi.

Pasal 40
(1) Alat perlindungan yang berbentuk bujur sangkar harus mempunyai paling sedikit empat bagian yang tegak dan tiap bagian harus dipasang dengan aman pada lantai kerja.
(2) Alat perlindungan yang berbentuk silindris harus mempunyai paling sedikit tiga bagian tegak dan tiap bagian harus dipasang dengan aman pada lantai kerja.

Pasal 41
(1) Bingkai alat perlindungan yang terbuat dari besi siku untuk sabuk, tali atau rantai yang letaknya kurang dari 2,6 diatas lantai kerja harus mempunyai ukuran:
a. 25 x 25 x 5 mm untuk sabuk dengan lebar 25 cm.
b. 38 x 38 x 6 mm untuk sabuk dengan lebar 25 – 35 cm. c. 50 x 50 x 8 mm untuk sabuk dengan lebar 35 – 60 cm.
d. 80 x 80 x 10 mm untuk sabuk yang lebar lebih dari 60 cm. (2) Bila terbuat dari besi pelat harus mempunyai ukuran:
a. 38 x 6 mm untuk sabuk dengan lebar sampai 25 cm. b. 50 x 8 mm untuk sabuk dengan lebar 25 – 35 cm.
c. 50 x 10 mm untuk sabuk dengan lebar 35 - 60 cm.
d. 65 x 10 mm untuk sabuk dengan lebar lebih dari 60 cm.

Pasal 42
Semua alat perlindungan harus dilengkapi dengan beberapa buah penyangga dan penahan untuk menjamin keketatan dan daya tahan.
(1) Pengisi bingkai harus dibuat dari :

Pasal 43
a. besi pelat dengan tebal tidak kurang dari 0,8 mm, atau b. pelat berlubang dengan tebal tidak kurang 1 mm, atau
c. kaca logam dengan tebal tidak kurang dari 1,25 mm dan atau
d. kawat teranyam dengan diameter kawat tidak kurang dari 1,5 mm.
(2) Setiap titik silang kawat teranyam harus dilekatkan dengan las, solder atau galbani kecuali jala kawat yang berbentuk belah ketupat atau persegi yang dibuat dari kawat dengan diameter 2 mm dan mata jala 20 x 20 mm.

Pasal 44
(1) Pengisi bingkai harus dipasang pada bingkai besi dengan cara dikeling, dibaut, dilas atau dianyam pada bingkainya.
(2) Jala kawat yang terbuat dari kawat dengan diameter 2 mm dan mata jala 20 x 20 mm dapat ditekuk seluruhnya sekeliling batang bingkai.

Pasal 45
(1) Alat perlindungan atau penutup yang berjarak 10 cm dari bagian-bagian mesin yang bergerak pada semua titik tidak boleh terdapat lubang dengan lebarnya lebih dari 6 mm.
(2) Bila berjarak antara 10 - 38 cm, tidak boleh terdapat lubang dengan luas lebih dari 13 cm2.

Pasal 46
Kecuali untuk instalasi khusus, tinggi minimum untuk pagar per1indungan harus 1,8 m dari permukaan lantai kerja.

Pasal 47
Pemasangan pagar perlindungan harus membebaskan lantai kurang lebih 15 cm, tanpa membiarkan bagian-bagian mesin yang bergerak.

Pasal 48
Alat perlindungan pada mesin yang digerakan dengan tenaga mekanik harus dihubungkan pada mesinnya kecuali alat perlindungan tersebut berada pada kedudukan yang seharusnya atau diatur sedemikian rupa sehingga mesin tidak dapat hidup bila alat perlindungannya diangkat.


BAB IV PENGGERAK MULA
Pasal 49
(1) Dilarang menggunakan motor diesel atau sejenisnya yang dihidupkan dengan tenaga kempa atau angin sebelum bejana tekannya diadakan pemeriksaan dan pengujian sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Dilarang mengisi bejana yang dimaksud pada ayat (1) dengan zat asam untuk mendapatkan tekanan gerak yang lebih tinggi atau menggerakan motor diesel langsung dengan zat asam.

Pasal 50
(1) Roda gaya dari penggerak mula harus dilengkapi dengan alat perlindungan yang memenuhi syarat.
(2) Pemagaran roda gaya harus pada bagian luar roda.

Pasal 51
Engkol, kepala silang, batang-batang penggerak dan batang-batang pengantar atau batang-batang penyambung torak, harus dilengkapi penganian standar, kecuali telah terlindung oleh konstruksinya atau tempatnya.

Pasal 52
(1) Semua penggerak mula, kecuali penggerak mula yang tidak dihubungkan dengan sambungan kopeling atau roda gigi ke beban harus dilengkapi dengan alat pengatur atau regulator.
(2) Alat pengatur atau regulator harus dilengkapi dengan alat penghenti otomatis untuk menghentikan penggeraknya apabila regulator tidak dapat berfungsi.
(3) Penggerak mula yang tidak dilengkapi dengan penghenti alat pengatur atau regulator harus dilengkapi dengan alat pembatas kecepatan otomatisnya yang berdiri sendiri.

Pasal 53
Alat-alat pembatas kecepatan, penghenti keselamatan atau klep penghenti darurat harus dilengkapi dengan sakelar jarak jauh, sehingga dalam keadaan darurat dapat dihentikan dari tempat yang aman.


BAB V PERLENGKAPAN TRANSMISI TENAGA MEKANIK Pasal 54
Poros transmisi, sabuk dan cakra yang berada di ruang bawah menara atau ruang khusus untuk perlengkapan transmisi tenaga mekanik syarat pengawasannya dapat ditiadakan jika:
a. ruang bawah menara, atau ruang khusus selalu terkunci bagi mereka yang tidak berwenang masuk selama mesin sedang berjalan atau hidup;
b. jarak vertikal antara jalan lintas terhadap lantai dan plafon atau benda yang berada di atas tidak kurang dari 1,7 m;
c. tersedia penerangan dan ventilasi yang cukup, dasar yang kering, kuat dan datar;
d. jalan yang dilewati oleh tukang pelumas dilindungi sedemikian rupa untuk meng- hindarkan kecelakaan.

Pasal 55
(1) Semua bagian-bagian yang terbuka dari poros-poros transmisi yang letak keting- giannya 2,6 m dari lantai atau kurang harus dilengkapi dengan alat perlindungan penutup dan untuk poros-poros yang rendah alat perlindungan penutupnya tidak lebih dari 15 cm, di atas lantai.
(2) Poros-poros transmisi yang melintasi jalan dengan ketinggian kurang dari 2 m diatas titik tertinggi dari muatan kendaraan harus dilengkapi dengan alat perlindungan.

Pasal 56
Ujung poros transmisi harus diberi alat perlindungan yang tidak ikut berputar.

Pasal 57
Kopeling poros yang letaknya 2,6 m dan kurang di atas permukaan lantai harus dileng- kapi alat perlindugan yang memenuhi syarat.

Pasal 58
Titik operasi dari transmisi roda gesek dan semua lengan atau jari-jari transmisi atau pipi- pipi transmisi harus diberi alat perlindungan yang memenuhi syarat.

Pasal 59
Transmisi roda gigi dan rantai harus tertutup sama sekali, kecuali telah diamankan oleh lokasinya.

Pasal 60
Transmisi cakra dan sabuk serta bagian-bagiannya yang berada 2,6 m atau kurang di atas lantai dan dapat tersentuh harus diberi alat perlindungan yang menutup seluruhnya atau dengan bagian menutup pada bagian bawah.

Pasal 61
(1) Sabuk, tali atau rantai yang berada 2,6 m atau kurang di atas lantai kerja harus diberi alat perlindungan yang memenuhi syarat kecuali:
a. sabuk, tali atau rantai yang lokasinya atau letaknya cukup aman;
b. sabuk rata yang lebarnya 25,4 mm atau kurang dan sabuk yang diameternya 10 mm atau kurang.
(2) Gerak putaran sabuk horizontal bagian bawah yang terletak 2,6 m atau kurang di atas lantai kerja, alat perlindungan harus mencapai paling sedikit 38 cm di atas gerak putaran bagian atas dari sabuk horizontal, ketentuan ini tidak berlaku apabila ketinggian alat perlindungan bagian atas mempunyai ketinggian kurang dari 1,06 m kecuali sabuk tersebut tertutup seluruhnya.
(3) Sabuk horizontal, tali atau rantai dengan lebar 13 cm atau lebih berada di atas lantai kerja dengan kecepatan 9 m/det atau lebih dan mempunyai gerak antara titik-titik pusat cakra 3 m atau lebih harus diberi alat perlindungan dibagian bawah pada keseluruhan panjangnya.
(4) Perlindungan sabuk tali atau rantai yang terletak di atas harus paling sedikit 1½ kali dari lebar sabuk dan tidak lebih dari 15 cm pada tiap sisinya dan harus cukup kuat untuk menahan sabuk apabila sabuk itu putus.

Pasal 62
Peregang keseimbangan atau pengatur tegangan pada transmisi cakra dan sabuk yang menggantung harus dikonstruksi dengan kuat dan terikat dengan aman.

Pasal 63
(1) Penyambungan sabuk harus dengan kulit mentah atau bahan lainnya yang bukan metal.
(2) Penyambungan dari metal atau paku keling tidak boleh digunakan bagi sabuk konis yang harus dipindahkan dengan tangan.

Pasal 64
(1) Setiap pemasangan sabuk cakra tetap atau lepas harus dilengkapi dengan pengungkit atau pelepas sabuk permanen.
(2) Pengungkit atau pelepas sabuk mekanik harus dilengkapi dengan alat pengunci dan dalam keadaan normal harus dalam posisi mati.


BAB VI MESIN PERKAKAS KERJA
Pasal 65
Mesin asah, poles dan pelicin harus dilengkapi dengan tutup atau kap perlindungan atau penghisap kecuali cairan pada permukaan pengasahan, pemolesan atau pelicinan.

Pasal 66
Roda-roda pengasah harus dilengkapi dengan alat perlindungan yang memenuhi syarat kecuali roda-roda pengasah dalam atau roda-roda yang diameternya 50 mm atau kurang.

Pasal 67
Roda pengasah yang dipasang di atas meja kerja atau lantai, celah tutup atau kap per- lindungan harus menunjukan permukaan roda maximum 90o dihitung pada proyeksi  bidang tegak lurusan horizontal 65o ke atas dan maximum 25o ke bawah dari permukaan bidang horizontal.

Pasal 68
Mesin asah yang menggunakan cairan pendingin, tutup atau kap perlindungan harus dirancang sedemikian rupa agar pembuangan cairan pendingin tetap baik.

Pasal 69
(1) Roda asah harus dipasang diantara dua flensa.
(2) Tebal dan diameter kedua plendes untuk roda asah harus sama dan permukaan flensa tidak menyentuh roda gerinda apabila diikat.
(3) Diameter flensa tidak boleh kurang dari sepertiga diameter roda.

Pasal 70
(1) Poros roda asah harus dibuat dari baja dengan diameter yang memenuhi syarat.
(2) Ukuran minimum diameter poros roda-roda asah dengan kecepatan sampai 35 m/det (7.000 feet/menit) harus sesuai dengan angka dari daftar diameter poros yang bersangkutan tercantum dalam lampiran 1 dan 2 Peraturan Menteri ini.
(3) Untuk kecepatan lebih dari 35 m/det (7.000 feet/menit) diameter poros harus disesuaikan dengan memperhatikan, bentuk mesin, jenis bantalan dan kualitas bahan serta cara kerjanya yang memenuhi syarat.

Pasal 71
(1) Penahan benda kerja roda asah harus:
a. dikonstruksi dengan kuat;
b. dibentuk agar cocok dengan bentuk roda, dan
c. dipasang dengan aman dalam posisi sedekat mungkin pada roda dengan jarak cela tidak boleh lebih dari 3 mm dari roda.
(2) Penyesuaian penahan benda kerja pada mesin roda asah tidak boleh dilakukan ketika roda sedang berjalan.

Pasal 72
(1) Roda asah dapat dioperasikan dan diuji kecepatannya sesuai dengan daftar kecepatan roda yang bersangkutan tercantum dalam lampiran 3 dan 4 Peraturan Menteri ini.
(2) Roda asah tidak boleh dijalankan dengan kecepatan yang melebihi dari kecepatan yang diijinkan dan harus ditulis dengan jelas pada roda atau pelat nama pesawat tersebut.
(3) Alat penyetel atau pengatur yang digunakan untuk mengatur kecepatan motor harus dilengkapi dengan alat pengunci atau alat pengontrol.

Pasal 73
(1) Sendok penuang cairan logam yang berkapasitas tidak melebihi 900 kg, yang digerakan dengan suatu alat antara lain, truk, kran angkut, atau trolleys dan digunakan untuk membagi-bagi cairan besi harus menggunakan tuas-tuas atau roda gigi penghantar.
(2) Penuang cairan logam dengan kapasitas 900 kg atau lebih harus menggunakan roda gigi penghantar.
(3) Tangkai sendok penuang tangan harus dilengkapi dengan kunci pengaman yang dapat disetel dengan tangan.
(4) Sendok penuang yang digerakan dengan penghantar roda gigi dan semua sendok yang dioperasikan secara mekanis atau elektris harus dilengkapi dengan kunci atau rem pengaman otomatis, untuk menghindarkan terbaliknya sendok ataupun goyangan yang tidak terkendali.
(5) Pengatur kecepatan angkat mekanis pada sendok penuang harus diberi alat pelindung dari bahan yang kuat dan memenuhi syarat.
(6) Apabila sendok penuang tidak digunakan harus dikeringkan dengan baik dan di- simpan di tempat kering.

Pasal 74
Peralatan mekanisme tuang, alur miring atau platform angkat dari mesin-mesin centrifugal horizontal untuk penuangan berbentuk pipa atau bentuk lain yang berlubang silindris harus ditutup dengan pengaman yang memenuhi syarat.

Pasal 75
Di atas pedal kemudi atau perpanjangannya dari semua mesin tempa yang digerakan dengan kaki, harus dilengkapi dengan alat perlindungan.

Pasal 76
(1) Apabila mesin tempa tidak digunakan, palu tempa harus terletak pada bantalan pengganjal.
(2) Pada penggantian, penyetelan ataupun perbaikan kepala palu tempa pada mesin tempa, palu harus dapat diganjal sehingga mampu menerima beban sebesar berat palu ditambah gaya dorong yang terjadi.
(3) Pengganjalan seperti tersebut pada ayat (2) dapat dilaksanakan antara lain dengan:
a. sebuah balok dari kayu yang keras dimana tiap ujungnya dibalut dengan logam dan pada sisinya dilengkapi dengan sebuah pemegang;
b. sebuah pipa logam dimana setiap ujungnya dilengkapi dengan flensa;
c. konstruksi lain dimana kedua ujungnya mempunyai permukaan datar.

Pasal 77
Alat pembersih kerak dan alat pelumas pada mesin tempa harus dilengkapi dengan tuas- tuas pengaman yang cukup panjang.

Pasal 78
(1) Pipa-pipa pemasukan uap ataupun udara pada mesin tempa harus dilengkapi dengan keran penutup.
(2) Apabila tekanan uap yang tersedia untuk palu tempa lebih tinggi dari tekanan operasi, maka pipa pemasukan uap ataupun udara harus dilengkapi kran pengatur otomatis dan tingkap pengaman, tingkap pengurang tekanan atau tingkap pengatur otomatis dan tingkap pengaman.

Pasal 79
Silinder-Silinder palu uap harus dilengkapi dengan alat pengering atau kran-kran pengering.

Pasal 80
(1) Palu yang digerakan oleh tenaga mekanis secara langsung harus dilengkapi dengan alat penggeser sabuk atau kopeling pemutus.
(2) Tiap alat seperti tersebut dalam ayat (1) harus dilengkapi dengan alat pengunci.
(3) Palu yang digerakan secara mekanis yang digunakan dengan satu tangan untuk memegang benda kerja harus dilengkapi dengan:
a. sebuah penghenti atau pengganjal untuk menghindarkan palu turun;
b. sebuah tuas tangan apabila palu tidak dikemudikan dengan pedal;
(4) Apabila palu yang digerakan secara mekanis dimana tidak digunakan tangan untuk memegang benda-benda yang dikerjakan, harus dilengkapi dengan pengaman penghenti atau tuas pengemudi yang diatur sedemikian rupa, sehingga diperlukan pengunaan kedua tangan secara serempak untuk mengemudikan palu.
(5) Apabila digunakan pegas untuk menggantung balok pancang di atas palu yang dioperasikan secara mekanis, pegas tersebut harus dibungkus dengan alat perlin- dungan standar.

Pasal 81
(1) Mesin pres tempa vertikal yang digerakan secara mekanis harus dilengkapi alat pengisi otomatis ditambah alat perlindungan penghalang atau penutup pada daerah operasinya.
(2) Mesin pres jenis pengisian dengan tangan harus dilengkapi dengan gerbang perlin- dungan atau penutup perlindungan pada daerah operasinya atau alat tekan dua tangan.
(3) Celah antara daun pintu pengaman atau penutup pengaman dengan meja kerja tidak boleh lebih dari 10 mm dan atapnya harus menonjol paling sedikit setinggi batas tertinggi blok penekan.

Pasal 82
(1) Pada pekerjaan penempaan harus menggunakan alat-alat bantuan yang sesuai antara lain tang panjang, tang bengkok, tongkat, garpu baja dan lain-lain.
(2) Perkakas tang tersebut dalam ayat (1) dan sejenisnya harus dilengkapi dengan cincin pengunci.

Pasal 83
(1) Semua pekerjaan penghancuran, penggilingan, penumbukan harus bebas debu.
(2) Menghancur, penggilingan, dan menumbuk harus dilengkapi dengan peralatan pengisi benda kerja secara mekanis ditentukan lain oleh Menteri atau Pejabat yang di-tunjuk.
(3) Apabila corong-corong pengisi benda kerja pada penghancur, penggiling atau penumbuk dimana tenaga kerja dapat jatuh ke dalamnya harus diberi alat perlindu- ngan jenis tutup atau pagar penghalang.

Pasal 84
Setiap penghancur, penggiling atau penumbuk yang digerakan dengan poros penggerak atau as transmisi harus dilengkapi dengan sabuk penggeser yang dapat menghentikan atau kopeling gesek, sehingga mesin:
a. dapat segera dihentikan dalam keadaan darurat; dan
b. tidak dapat dijalankan lagi sampai penggeser atau kopeling dilepas.

Pasal 85
(1) Ruang giling untuk menggiling atau menumbuk bahan kering yang mudah menyala harus dibuat dari bahan-bahan tidak mudah terbakar.
(2) Semua perlengkapan untuk menggiling atau menumbuk tersebut dalam ayat (1) harus terbuat dari perunggu, brons atau lainnya yang tidak mudah mengeluarkan bunga api.

Pasal 86
(1) Bahan yang mudah terbakar yang dikirim ke tempat penggilingan atau penumbukan harus melalui pemisah magnetis untuk menjamin hilangnya paku, kawat atau benda- benda yang mengandung besi.
(2) Magnet pemisah benda logam harus dilengkapi dengan pengunci yang dapat menghentikan arus bahan atau suatu alarm yang bekerja otomatis bila terdapat logam.

Pasal 87
Pada pipa penyalur dari mesin penggiling atau penumbuk bahan-bahan yang mudah terbakar harus dilengkapi dengan klep putar atau klep anti balik terhadap pipa utama atau konveyor.

Pasal 88
Bobot imbang pada mesin bor dan bubut harus:
a. diikat kuat pada batangan besi; atau
b. apabila digantung harus ditutup sampai permukaan lantai.

Pasal 89
Pada pengeboran yang mengeluarkan debu atau gas basah harus dilengkapi dengan kap penghisap debu atau gas yang bekerja baik.

Pasal 90
(1) Mesin ketam harus memiliki ruang bebas paling sedikit 60 cm pada sisinya dan ujung langkah gerak maju mundur.
(2) Apabila ruang bebas antara ujung gerak maju mundur mesin ketam dengan dinding atau benda-benda lain yang tetap, kurang dari 60 cm harus diberi pagar perlindungan penghalang.

Pasal 91
(1) Mesin pres yang besar harus mempunyai perlengkapan penghenti pengepresan secara cepat.
(2) Bagian-bagian yang berputar atau bergerak maju mundur pada sisi pengepres atau stempel yang ditempatkan pada jarak 2,6 m dari lantai atau permukaan kerja harus ditutup dengan alat perlindungan.

Pasal 92
Mesin pon otomatis, semi otomatis atau pengisian benda kerja secara mekanik seperti pengisi jenis putar, pengisi jenis serong, corong pengisi dan rol otomatis dan jalur pengisi harus dilengkapi dengan:
a. perlindungan tetap, dengan tinggi celah atau lubang pemasukan benda kerja tidak lebih dari 6 mm; dan
b. dengan membatasi gerak langkah stempel sehingga celah titik operasi tidak lebih 6 mm.

Pasal 93
(1) Alat perlindungan pada mesin pon harus:
a. menutup daerah operasi dengan baik;
b. terbuat dari logam pelat yang berlubang-lubang, kawat atau jaringan kawat yang kuat atau bahan yang tembus cahaya atau transparan.
c. dikonstruksi sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan ketegangan mata operator.
(2) Mesin pon yang digerakan dengan kaki harus dilengkapi dengan alat perlindungan berbentuk huruf U terbalik yang dipasang mengurung pedal.
(3) Tuas-tuas pada mesin pon yang digerakan dengan tangan harus dilengkapi dengan alat pengunci balik terbuat dari per untuk menghindarkan masuknya tangan tidak sengaja.
(4) Mesin pon jenis pengisian benda kerja secara manual harus dilengkapi dengan alat perlindungan interlok yang menutup secara keseluruhan daerah operasi dan pada pintu pemasukannya harus:
a. dapat dibuka hanya ketika stempel sedang berhenti;
b. dapat menutup sebelum stempel bergerak;
c. diinterlok langsung pada kopling; dan
d. mempunyai alat tambahan yang terpisah untuk menahan pintu pemasukan supaya tetap tertutup ketika stempel sedang bergerak.

Pasal 94
Mesin pres dengan tekanan udara atau tekanan hidrolik atau tekanan uap, harus di lengkapi dengan tingkap pengaman dan pedoman tekanan yang dapat dilihat secara jelas.


Pasal 95
(1) Mesin rol harus dilengkapi dengan:
a. alat pemutus arus atau pemutar balik rol, yang mudah dijangkau dengan tangan atau kaki operator, dan
b. alat perlindungan tetap atau yang dapat disetel atau otomatis dan dipasang pada sisi muka titik temu rol yang arah putarannya ke dalam.
(2) Dilarang membersihkan rol tanpa terlebih dahulu:
a. menghentikan mesin; dan
b. memutus arus, kecuali pada mesin-mesin besar yang didapat diputar dengan tangan dan dilengkapi dengan alat pemutar gerakan (slowmotion control).
(3) Sebelum mengganti rol, menyetel atau melakukan perbaikan pada mesin rol, semua sakelar atau katub penggontrol mesin harus dikunci.

Pasal 96
(1) Mesin rol penghancur dan mesin rol penggiling harus dilengkapi dengan alat per- lindungan standar dan corong pengisi benda kerja yang dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga tangan operator tidak dapat menyentuh rol.
(2) Bilamana ditimbulkan debu, uap beracun, bau yang merangsang yang dikeluarkan dari bahan yang sedang diolah harus dilengkapi dengan kap penghisap yang di- sambung pada alat pembuang.

Pasal 97
(1) Lantai terbuka untuk konveyor atau corong pengisi pada gergaji kayu harus di- lengkapi pagar perlindungan dengan perlindungan pinggir (toeboard).
(2) Kecepatan pemotong dari gergaji kayu harus sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
(3) Gigi gergaji kayu harus sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
(4) Gergaji harus dipelihara dalam keadaan baik, tidak retak dan diasah secara sempurna.

Pasal 98
Lantai atau bangunan dimana gergaji kayu dipasang harus tetap bebas dari kotoran- kotoran kayu dan lainnya.

Pasal 99
(1) Dudukan gergaji pita dan gergaji bundar harus dilindungi dengan perisai yang tingginya tidak kurang dari 1,2 m dengan konstruksi:
a. dari besi atau baja yang tebalnya tidak kurang dari 6 mm;
b. dari papan, yang tebalnya tidak kurang dari 5 cm; atau
c. dari beton bertulang, yang tebalnya tidak kurang dari 20 cm.
(2) Pada dudukan gergaji pita atau gergaji bundar harus dilengkapi dengan:
a. tuas, tombol tekan, sakelar, katub atau alat-alat lain untuk menghentikan gergaji dalam keadaan darurat dan;
b. alat-alat untuk mengunci semua pengontrol secara aman dalam posisi ”Mati”.

Pasal 100
(1) Kereta pembawa kayu gelondong atau kereta dudukan gergaji harus terbuat dari:
a. besi atau baja, atau kayu besar yang dirakit secara kuat;
b. tertutup seluruhnya untuk menghindarkan para pekerja menginjaknya melalui celah-celah dalam bingkai.
(2) Tempat berdiri pemasang di atas kereta pembawa kayu gelondong harus tidak licin.
(3) Ruang bebas antara ujung belakang kereta kayu gelondong atau kereta dudukan gergaji dengan dinding tidak boleh kurang dari 45 cm dan bilamana digunakan sebagai jalan tidak kurang dari 90 cm.
(4) Terompol untuk tali manila, kabel baja atau rantai transmisi roda gigi, sabuk atau roda gesek untuk menggerakan kereta pembawa kayu gelondong atau kereta dudukan pembawa gergaji harus diberi perlindungan.
(5) Roda-roda kereta pembawa kayu gelondong atau kereta dudukan pembawa gergaji harus ditutup dengan pengaman roda yang berjarak paling lebar 6 mm dari rel.
(6) Tiap ujung jalan rel pembawa kayu gelondong dan kereta duduk gergaji harus dilengkapi dengan blok penghenti yang kuat dan aman.

Pasal 101
Operator gergaji tidak boleh berdiri tepat dimuka gergaji selama melakukan peng- gergajian.

Pasal 102
(1) Mesin ekstrator, pemisah dan pengering sentrifugal harus dilengkapi dengan:
a. tutup dari logam, tebal tidak kurang dari 1 mm atau bahan lain yang mempunyai kekuatan sama, dan
b. alat pengunci sistim penguncian yang akan menghindarkan penutup terbuka ketika drum atau keranjang putar sedang bergerak dan menghindarkan jalannya drum atau keranjang ketika penutup terbuka; dan
c. bibir drum atau keranjang, harus direncanakan sedemikian rupa sehingga drum atau keranjang akan dapat dengan aman diputar dengan tangan ketika penutup terbuka.
(2) Motor Penggerak mesin sentrifugal harus dilengkapi dengan pengatur kecepatan yang efektif.
(3) Semua mesin sentrifugal harus mempunyai alat-alat pengerem.
(4) Mesin sentrifugal tidak boleh dijalankan dengan kecepatan melampaui batas dari yang diijinkan dan harus dicantumkan pada mesin pada tempat yang mudah dibaca, baik di dalam keranjang maupun di luar mesin.

Pasal 103
(1) Ekstraktors yang digunakan dalam pencucian dan pencelupan untuk memisahkan cairan yang menguap dan dapat terbakar dari bahan-bahan tekstil harus:
a. pada drum atau keranjangnya dilengkapi tutup bibir yang terbuat dari bahan-bahan logam.
b. semua bagian logam secara efektif dibumikan;
c. dilengkapi dengan pipa pembuang ketangki pemindahan bawah tanah dengan menggunakan kelep balik;
d. tidak boleh disalurkan pada selokan khusus;
e. dikuras setiap hari; dan
f.  harus memiliki bantalan putar yang dirancang sedemikian rupa untuk meng- hindarkan pemanasan yang berlebihan.
(2) Alat-alat listrik pada ekstraktor untuk menghilangkan cairan yang menguap dan mudah terbakar harus dari jenis tahan ledakan.

Pasal 104
Mesin pengayak, pemilih dan penyaring yang digunakan dalam pabrik gandum, tepung, rempah-rempah, kanji, gula, batu bara yang dihaluskan atau sejenisnya harus rapat dan dilengkapi dengan pintu-pintu mesin sistem interlok sehingga menghindarkan pintu-pintu tersebut terbuka ketika mesin sedang berjalan.

Pasal 105
Penyaring pasir dalam kilang pengecoran harus:
a. ditutup rapat dan dilengkapi dengan pembuang yang memenuhi syarat kecuali yang dikerjakan dalam keadaan lembab;
b. mesin rotasi dan penyaring dalam kilang pengecoran harus diberi perlindungan dengan besi siku atau pipa logam, yang ditempatkan pada jarak tidak kurang dari 50 cm;
c. tuas pemindah ban dan sakelar pengontrol mesin untuk mesin rotasi penyaring pasir dalam kilang pengecoran harus ditempatkan dalam jarak yang mudah dijangkau oleh operator dan diberi pengaman sedemikian rupa sehingga mesin tidak berjalan tanpa sengaja;
d. mesin penyaring pasir pnumatik yang bergetar harus dilengkapi dengan jangkar tali yang ukuran panjangnya lebih pendek dari ukuran panjang selang pemberi udara, untuk menghindarkan kopeling selang pecah karena gerakan mesin.

Pasal 106
Mesin gunting yang digerakan dengan tenaga gerak untuk memotong menurut panjang yang ditentukan harus dilengkapi dengan:
a. sebuah perlindungan yang berupa penghalang dimuka pisau yang dipasang pada kedua ujung bingkai meja mesin dengan sisa bawah tidak lebih dari 10 mm di atas permukaan meja dan dari pisau serta dipasang sedemikian rupa sehingga membuat sudut garis potongnya pisau nampak jelas oleh operator; atau
b. sebuah perlindungan yang berupa penghalang yang dapat menyetel sendiri dengan batas 10 mm di atas meja.

Pasal 107
Bilamana mesin gunting dengan memakai pedal kaki, maka pedal kaki tersebut harus dilengkapi dengan alat perlindungan berbentuk huruf U terbalik yang dipasang mengurung pedal tersebut dan kuat menahan beban atau benda yang jatuh padanya.

Pasal 108
(1) Pisau lingkar berjenis cakra pada mesin belah untuk logam, kulit, kertas, karet, tekstil atau bahan lain yang bukan logam, apabila terjangkau oleh operator yang berdiri di atas lantai kerja, harus dilengkapi dengan perlindungan yang menutupi sisi pisau dan dapat:
a. menyetel sendiri secara otomatis sesuai dengan tebalnya bahan; atau
b. secara tetap atau disetel dengan tangan sehingga ruang antara dasar pelindung dengan bahan tidak akan melebihi 10 mm.
(2) Bagian-bagian pisau di bawah meja atau kuda-kuda dari mesin belah harus diberi tutup perlindungan.


BAB VII MESIN PRODUKSI
Pasal 109
(1) Roda gigi pada mesin pintal dan tenun harus ditutup dengan alat perlindungan.
(2) Roda mesin tenun harus diberi alat perlindungan jala lewat yang kuat dan aman pada kedua sisinya.
(3) Mesin pintal dan tenun yang dipergunakan untuk mengolah serabut asbes atau benang kaca harus dilengkapi dengan penghisap debu asbes sesuai dengan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.
(4) Membersihkan bagian-bagian yang diam pada lantai bawah mesin dari mesin pintal, tenun dan rajut hanya boleh dilakukan apabila mesin dalam keadaan berhenti, kecuali mengunakan alat penghisap.

Pasal 110
Bagian-bagian yang bergerak dari mesin jahit yang digerakan dengan tenaga mekanik harus ditutup seluruhnya, kecuali bagian-bagian yang perlu terbuka untuk menjahit.

Pasal 111
(1) Tempat pengisian pada mesin pengisi dan penutup botol-botol minuman dengan tekanan harus dilengkapi dengan tutup pelindung setinggi botol ditambah 10 cm yang dipasang pada bagian mesin yang menghadap operator.
(2) Tutup perlindungan pada mesin pengisi dan penutup botol-botol minuman harus dari:
a. logam pelat yang tebalnya tidak kurang dari 1,25 mm atau tirai yang sama kuatnya apabila pengisian dilakukan dengan tekanan sampai 5 kg/cm2; dan
b. logam pelat yang tebalnya tidak kurang dari 2,5 mm atau tirai yang sama kuatnya apabila tekanan melebihi 5 kg/cm2.

Pasal 112
Mesin otomatis atau semi otomatis pengisi kaleng, pengungkit kaleng, perapat tutup kaleng dan pengampuh kaleng, harus ditutup seluruhnya, kecuali celah yang diperlukan, untuk memasukan dan mengeluarkan kaleng.

Pasal 113
Pisau potong pada mesin pembungkus harus ditempatkan dan dilengkapi dengan alat, perlindungan sehingga tangan operator tidak akan tersentuh pisau potong ketika mesin beroperasi.

Pasal 114
Mesin pemaku tutup kotak kayu harus dilengkapi dengan alat perlindungan yang tembus cahaya atau dari kawat kasa yang halus dimuka mesin.

Pasal 115

(1) Silinder, beater dan bagian-bagian yang bergerak lainnya dari opening, picking dan carding pada pabrik tekstil dan lainnya harus:
a. ditempatkan dalam ruangan yang tertutup bebas debu;
b. dilengkapi dengan alat penghisap debu.
(2) Pintu-pintu seperti tersebut ayat (1) harus dilengkapi dengan alat pengaman interlok guna menghindarkan
a. terbukanya pintu-pintu ruangan dimana mesin sedang bekerja;
b. tetap berjalannya mesin ketika pintu terbuka.
(3) Rol pengisi pada mesin opening, picking, carding harus dilengkapi dengan tutup perlindungan yang sedemikian rupa untuk menghindarkan para pekerja tersentuh rol ketika mengisi bahan.
(4) Sekrup penyetel pada semua bagian yang berputar harus dibuat rata atau terbenam dan sekrup penyetel yang menonjol harus diberi tutup perlindungan.


BAB VIII DAPUR
Pasal 116
Lantai ruang dapur dan sekitarnya yang ketinggiannya membahayakan harus diberi pagar perlindungan yang memenuhi syarat.

Pasal 117
Apabila lantai dapur dibuat dari pelat, maka plat-plat tersebut harus cukup kuat dan baik.

Pasal 118
Selokan atau lubang lantai dapur yang tidak digunakan harus dilindungi dengan tutup atau pagar pengaman dilengkapi dengan perlindungan pinggir (toeboard) sesuai keten-tuan yang berlaku.

Pasal 119
Kereta angkut dan perlengkapannya yang digunakan untuk barang harus dipelihara guna mencegah terlepas keluar dari rel.

Pasal 120
(1) Pintu dan bobot imbang dari pintu vertikal dapur harus cukup kuat dan dibuat dari bahan yang tahan terhadap tinggi temperatur.
(2) Bobot imbang dan kabel harus tertutup pada seluruh ketinggian perjalanan geraknya. (3) Bobot imbang harus diberi perlindungan sehingga tidak membahayakan terhadap
tenaga kerja.
(4) Pintu angkat harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak jatuh apabila tenaga geraknya tidak bekerja atau roda penggerak pecah.

Pasal 121
Dapur harus dilengkapi dengan:
a. Pelataran tempat kerja atau jembatan yang sesuai pada semua titik ketinggian untuk tenaga kerja melintasi atau melakukan tugas-tugas sehari-hari.
b. Perlengkapan yang baik dan aman antara lain tangga yang permanen dengan kons- truksi tahan api yang kuat atau menggunakan elevator.

Pasal 122
Celah-celah pada pelataran tempat kerja atau jembatan yang dibuat dari konstruksi besi harus cukup rapat untuk mencegah jatuhnya benda-benda berat dari cela tersebut.

Pasal 123
Pelataran tempat kerja, jembatan dan tangga pada dapur harus dilengkapi dengan pagar perlindungan dan perlindungan pinggir (toeboard) dan semua sisi terbukanya diberi penutup pada pertengahan pagarnya.

Pasal 124
Tenaga kerja dilarang untuk memasuki ruangan dapur yang suhunya melebihi 500 oC (1220 F), terkecuali dalam hal darurat dengan melakukan tindakan keselamatan secara khusus.

Pasal 125
Apabila terdapat uap, gas atau asap dalam jumlah yang cukup menggangu kesehatan bagi tenaga kerja harus disediakan saluran pembuangan atau alat perlindungan diri yang sempurna.

Pasal 126
Setiap orang dilarang melihat ke dalam dapur yang sedang bekerja kecuali menggunakan alat perlindungan diri seperti kaca mata atau perisai yang akan menyerap setiap radiasi yang membahayakan.

Pasal 127
Tenaga kerja pada dapur harus menggunakan pakaian kerja khusus yang dilengkapi alat perlindungan diri yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 128
Pipa-pipa penyalur gas untuk dapur harus dipasang rapat kuat dan dilengkapi dengan:
a. tingkap pengaman penutup otomatik yang segera menutup bahan bakar dalam hal kegagalan penyaluran gas atau udara atau setiap kegagalan dari penyaluran gas utama atau semburan udara dalam dapur;
b. pintu pengaman ledakan di dalam dapurnya;

Pasal 129
Pemipaan penyaluran minyak untuk dapur yang menggunakan bahan bakar minyak harus dilengkapi dengan alat otomatis yang menutup aliran minyak apabila tekanan dalam pipa menurun terlalu rendah.

Pasal 130
Operator harus mengawasi penyalur bahan bakar secara terus menerus pada pipa penyalur bahan bakar, meskipun pipa penyalur tersebut telah dilengkapi dengan tingkap pengaman otomatis.

Pasal 131
Semua instalasi dapur harus dapat dikendalikan secara sentral dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga kemungkinan pelaksanaan pekerjaan dari jarak jauh untuk menghindarkan tenaga kerja dari bahaya.

Pasal 132
Sebelum dapur dinyalakan harus diperiksa secara khusus untuk meyakinkan ruang pembakaran, instalasi dapur dan perlengkapannya bekerja dengan baik guna menghin- darkan bahaya bagi tenaga kerja.

Pasal 133
(1) Apabila dapur dinyalakan dengan obor tangan maka obor tersebut harus dipasang dengan perisai untuk melindungi operator dari bahaya bakar.
(2) Sewaktu menyalakan brander pada dapur, katub penyalur bahan bakar dibuka dan katub penyalur udara harus dibuka sedikit untuk menyalurkan udara secukupnya guna mendapatkan penyalaan yang sempurna dan tidak terjadi bahaya peledakan.

Pasal 134
Tenaga kerja dilarang berdiri atau melewati di depan pintu dapur sewaktu melakukan penyalaan brander dapur.


BAB IX PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN
Pasal 135
(1) Setiap pesawat Tenaga dan Produksi sebelum dipakai harus diperiksa dan diuji terlebih dahulu dengan standar uji yang telah ditentukan.
(2) Pengujian Pesawat Tenaga dan Produksi dilaksanakan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sekali.
(3) Pemeriksaan berkala dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali.
(4) Pemeriksaan dan Pengujian dimaksud dalam Pasal ini dilakukan oleh Pegawai
Pengawas dan atau Ahli Keselamatan Kerja kecuali ditentukan lain.

Pasal 136
Pengurus atau pemilik Pesawat Tenaga dan Produksi harus membantu pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh Pegawai Pengawas termasuk penyediaan alat-alat bantu.

Pasal 137
Biaya pemeriksaan dan Pengujian dibebankan kepada Pengusaha.


BAB X PENGESAHAN
Pasal 138
(1) Setiap perencanaan Pesawat Tenaga dan Produksi harus mendapat pengesahan dari Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya, kecuali ditentukan lain.
(2) Permohonan pengesahan dimaksud pada ayat (1), harus diajukan secara tertulis kepada Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya dengan melampirkan:
a. gambar konstruksi atau instalasi dari pesawat tenaga dan produksi yang bersangkutan dengan skala sedemikian rupa sehingga cukup jelas dan terang, rangkap 4 (empat).
b. sertifikat bahan dan keterangan-keterangan lainnya rangkap 4 (empat).
c. cara kerja pesawat tenaga dan produksi yang bersangkutan rangkap 4 (empat). d. gambar konstruksi dari alat perlindungan dan cara kerjanya rangkap 4 (empat)

Pasal 139
(1) Setiap pembuatan, peredaran, pemasangan, pemakaian, perusahaan dan atau perbaikan teknis pesawat tenaga dan produksi harus mendapat pengesahan dari Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya.
(2) Pemohon dimaksud ayat (1) harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya dengan melampirkan:
a. Gambar konstruksi/instalasi dan pesawat Tenaga dan Produksi yang ber sangkutan dengan skala sedemikian rupa sehingga cukup jelas dan terang, rangkap 4 (empat).
b. Sertifikat bahan dan keterangan-keterangan lainnya rangkap 4 (empat).
c. Cara kerja dan Pesawat Tenaga dan Produksi yang bersangkutan rangkap 4 d. (empat).
e. Gainbar konstruksi dan alat perlindungan dan cara kerjanya rangkap 4 (empat).

Pasal 140
Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya berwenang mengadakan perubahan teknis atas permohonan yang diajukan tersebut dalam Pasal 138 dan 139.

Pasal 141
Pembuatan dan pemasangan Pesawat Tenaga dan Produksi harus dilaksanakan oleh pembuat dan pemasang yang telah mendapat pengesahan oleh Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya.


BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 142
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Peraturan Menteri ini dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya sesuai Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 143
Pesawat Tenaga dan Produksi yang sudah digunakan sebelum Peraturan ini ditetapkan, Pengurus wajib memenuhi ketentuan Peraturan Menteri ini dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

Pasal 144
Pengurus wajib melaksanakan untuk ditaatinya semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 145
Pegawal Pengawas dan Ahli Keselamatan Kerja melakukan pengawasan terhadap taatinya Peraturan Menteri ini.

Pasal 146
Hal-hal yang memerlukan pedoman pelaksanaan dan Peraturan Menteri ini ditetapka lebih lanjut oleh Direktur.

Pasal 147
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 1985
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA No : PER.05/MEN/1985 TENTANG PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT


Menimbang:
a. bahwa dengan meningkatnya pembangunan dan teknologi dibidang industri, penggunaan pesawat angkat dan angkut merupakan bagian integral dalam pelaksanaan dan peningkatan proses produksi;
b. bahwa dalam pembuatan, pemasangan, pemakaian, perawatan pesawat angkat dan angkut mengandung bahaya potensial;
c. bahwa perlu adanya perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja setiap tenaga kerja yang melakukan pembuatan, pemasangan, pemakaian, persyaratan pesawat angkat dan angkut.

Mengingat:
1. Pasal 2 ayat (2) huruf f dan g.
Pasal 3 ayat (1) huruf n dan p.
Pasal 4 ayat (1), Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Kesela- matan Kerja.
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Transmigrasi dan Koperasi No.PER.03/MEN/1978, tentang Persyaratan Penunjukan dan Wewenang serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja.
3. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. KEP. 9/MEN/1977, tentang Penunjukan Direktur sebagai dimak- sud dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT.


BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Direktur adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 79/MEN/1977;
2. Pegawai Pengawas ialah Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang ditunjuk oleh Menteri;
3. Ahli Keselamatan Kerja adalah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang Keselamatan Kerja;
4. Pengurus ialah pengurus seperti yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970 yang bertanggung jawab terhadap pesawat angkat dan angkut;
5. Pengusaha ialah orang atau Badan Hukum seperti yang dimaksud dalam Undang- undang No. 1 tahun 1970 yang memiliki Pesawat Angkat;
6. Pesawat adalah kumpulan dari beberapa alat secara berkelompok atau berdiri sendiri guna menghasilkan tenaga baik mekanik maupun bukan mekanik dan dapat digunakan tujuan tertentu;
7. Alat adalah suatu unit konstruksi yang dibuat untuk digunakan atau menghasilkan suatu hasil tertentu dan dapat merupakan suatu bagian yang berdiri sendiri dari pesawat itu;
8. Instalasi adalah suatu jaringan baik pipa maupun bukan yang dibuat guna suatu tujuan tertentu;
9. Pembuat dan pemasang pesawat angkat adalah orang atau badan hukum yang melakukan pekerjaan pembuatan dan pemasangan instalasi pesawat angkat dan bertanggung jawab selama batas waktu tertentu terhadap pekerjaannya;
10. Pesawat angkat dan angkut adalah suatu pesawat atau alat yang dgunakan untuk memindahkan, mengangkat muatan baik bahan atau barang atau orang secara vertikal dan atau horizontal dalam jarak yang ditentukan;
11. Peralatan angkat adalah alat yang dikonstruksi atau dibuat khusus untuk mengangkat naik dan menurunkan muatan;
12. Pita transport ialah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan muatan secara continu dengan menggunakan bantuan pita;
13. Pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan ialah pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan muatan atau orang dengan menggunakan kemudi baik di dalam atau di luar pesawat dan bergerak di atas suatu landasan maupun permukaan;
14. Alat angkutan jalan ril ialah suatu alat angkutan yang bergerak di atas jalan ril;
15. Jalan ril adalah jaringan ril dan perlengkapannya yang dipasang secara permanen yang digunakan untuk jalan lokomotif, gerbong dan peralatan lainnya guna mengangkut muatan.

Pasal 2
Bahan konstruksi serta perlengkapan dari pesawat angkat dan angkut harus cukup kuat, tidak cacat dan memenuhi syarat.

Pasal 3
(1) Beban maksimum yang diijinkan dari pesawat angkat dan angkut harus ditulis pada bagian yang mudah dilihat dan dibaca dengan jelas;
(2) Semua pesawat angkat dan angkut tidak boleh dibebani melebihi beban maksimum yang diijinkan;
(3) Pengangkatan dan penurunan muatan pada pesawat angkat dan angkut harus perlahan-lahan;
(4) Gerak mula dan berhenti secara tiba-tiba dilarang.

Pasal 4
Setiap pesawat angkat dan angkut harus dilayani oleh operator yang mempunyai kemampuan dan telah memiliki ketrampilan khusus tentang Pesawat Angkat dan Angkut.


BAB II RUANG LINGKUP
Pasal 5
(1) Peraturan ini berlaku untuk perencanaan, pembuatan, pemasangan, peredaran, pemakaian, perubahan dan atau perbaikan teknis serta pemeliharaan pesawat angkat dan angkut.
(2) Pesawat angkat dan angkut dimaksud ayat (1) adalah:
a. Peralatan angkat;
b. Pita transport;
c. Pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan;
d. Alat angkutan jalan ril.


BAB III PERALATAN ANGKAT
Pasal 6
Peralatan angkat antara lain adalah lier, takel, peralatan angkat listrik, pesawat pneumatic, gondola, keran angkat, keran magnit, keran lokomotif, keran dinding dan keran sumbu putar.

Pasal 7
Baut pengikat yang dipergunakan peralatan angkat harus mempunyai kelebihan ulir sekerup pada suatu jarak yang cukup untuk pengencang, jika perlu harus dilengkapi dengan mur penjamin atau gelang pegas yang efektif.

Pasal 8
(1) Garis tengah tromol gulung sekurang-kurangnya berukuran 30 kali diameter tali baja dan 300 kali diameter kawat baja yang terbesar.
(2) Tromol gulung harus dilengkapi dengan flensa pada setiap ujungnya, sekurang- kurangnya memproyeksikan 2 ½ kali garis tengah tali baja;
(3) Ujung tali baja pada tromol gulung harus dipasang dengan kuat pada bagian dalam tromol dan sekurang-kurangnya harus dibelit 2 kali secara penuh pada tromol saat kait beban berada pada posisi yang paling rendah.

Pasal 9
(1) Tali baja yang digunakan untuk mengangkat harus:
a. terbuat dari bahan baja yang kuat dan berkualitas tinggi;
b. mempunyai factor keamanan sekurang-kurangnya 3 ½ kali beban maksimum;
c. tidak boleh ada sambungan;
d. tidak ada simpul, belitan, kusut, berjumbai dan terkupas.
(2) Tali baja harus diberi pelumas yang tidak mengandung asam atau alkali;
(3) Tali baja harus diperiksa pada waktu pemasangan perama dan setiap hari oleh operator serta sekurang-kurangnya satu kali dalam seminggu oleh tenaga yang berkeahlian khusus Pesawat Angkat dan Angkut dari Perusahaan;
(4) Tali baja dilarang digunakan jika terdapat kawat yang putus, aus atau karat sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
a. 12% untuk tali baja 6 x 7 pada panjang 50 cm; b. 20% untuk tali baja 6 x 19 pada panjang 50 cm; c. 25% untuk tali baja 6 x 37 pada panjang 50 cm; d. 25% untuk tali baja 6 x 61 pada panjang 50 cm; e. Untuk tali baja khusus:
• 12 % untuk tali baja seal pada panjang 50 cm;
• 15 % untuk tali baja lilitan potongan segi tiga pada panjang 50 cm.

Pasal 10
(1) Tali serat untuk perlengkapan pengangkat harus dibuat dari serat alam atau sintetis yang berkualitas tinggi;
(2) Tali serat sebelum dipakai harus diperiksa dan selama dalam pemakaian untuk mengangkat tali harus diperiksa sesering mungkin dan sekurang-kurangnya 3 bulan;
(3) Pemeriksaan dimaksud ayat (2) dilakukan akibat kikisan serat yang putus, terkelupas, berjumbai, perubahan ukuran panjang atau penampang tali, kerusakan pada serat, perubahan warna dan kerusakan lainnya;
(4) Tali serat harus digulung pada tromol yang tidak mempunyai permukaan yang tajam dan mempunyai alur sekurang-kurangnya sebesar diameter tali.

Pasal 11
(1) Rantai harus diganti apabila:
a. tidak sesuai dengan ketentuan yang direncanakan;
b. salah satu mata rantai mengalami perubahan panjang lebih dari 5% dari ukuran panjang mata rantai semula;
c. pengausan sau sama lainnya melebihi ¼ dari diameter rantai semula.
(2) Perbaikan rantai harus dilakukan oleh orang yang ahli.
(3) Rantai dilarang:
a. Dipukul walaupun untuk maksud meluruskan atau memasang pada tempatnya;
b. Disilang, diplintir, dikusutkan, untuk dibuat simpul;
c. Ditarik bila terhimpit beban;
d. Dijatuhkan dari suatu ketinggian;
e. Diberi beban kejutan;
f. Digunakan untuk mengikat muatan.

Pasal 12
(1) Sling harus dari rantai, tali baja atau tali serat dan mempunyai kekuatan yang memadai;
(2) Sling yang cacat dilarang dipakai;
(3) Bila digunakan sling lebih dari satu beban harus dibagi rata.

Pasal 13
(1) Cakra pengantar harus terbuat dari logam yang tahan kejutan atau bahan lain yang mempunyai kekuatan yang sama;
(2) Diameter cakra pengantar sekurang-lurangnya 20 kali diameter yang digunakan;
(3) Poros cakra pengantar harus mudah dilumasi dan perlumasannya dilakukan secara teratur dan cukup;
(4) Alur cakra pengantar harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak merusak tali.

Pasal 14
(1) Kait untuk mengangakat beban harus dibuat dari baja tempa yang dipanaskan dan dipadatkan atau dari bahan lain yang mempunyai kekuatan yang sama;
(2) Kait harus dilengkapi dengan kunci pengaman.

Pasal 15
(1) Kekuatan tarik klem pengikat harus sekurang-kurangnya 1 ½ kali tali pengikat;
(2) Klem pengikat untuk sangkar gantung harus mempunyai pengunci mur atau dengan cara lain yang cukup memadai.

Pasal 16
Semua peralatan angkat harus dilengkapi dengan rem yang secara efektif dapat mengerem suatu bobot yang tidak kurang dari 1 ½ beban yang diijinkan.

Pasal 17
(1) Tali pengatur peralatan angkat harus diperlengkapi dengan peralatan gerakan tali dan tanda arah yang jelas gerak muatan jika tali ditarik;
(2) Tuas tali pengatur peralatan angkat harus secara tegas dibedakan terhadap sekelilingnya;
(3) Tuas tali pengatur setiap peralatan angkat harus mempunyai model yang sama dalam satu perusahaan.

Pasal 18
Menaikan, menurunkan dan mengangkat muatan dengan pesawat pengangkat harus diatur dengan sandi isyarat yang seragam dan yang benar-benar dimengerti.

Pasal 19
(1) Apabila lebih dari seorang tenaga kerja yang bekerja pada peralatan angkat operator harus bekerja berdasarkan isyarat hanya dari satu orang yang ditunjuk;
(2) Penjaga kait, penjaga rantai, penjaga bandul ataupun orang lain yang ditunjuk harus kelihatan oleh operator;
(3) Apabila operator menerima isyarat berhenti pesawat harus segera dihentikan.

Pasal 20
(1) Muatan harus dinaikan secara vertikal untuk menghindari ayunan pada waktu diangkat;
(2) Untuk mengangkat muatan diluar jangkauan pesawat harus diambil langkah-langkah pengaman yang diperlukan dan disaksikan oleh yang bertanggung jawab

Pasal 21
Sebelum memberikan isyarat untuk menaikan muatan, pemberi isyarat harus yakin bahwa:
a. Semua tali, rantai, bandul atau perlengkapan lainnya telah dipasang sebagaimana mestinya pada muatan yang diangkat;
b. Muatan telah dibuat seimbang sebagaimana mestinya dan tidak akan menyentuh benda sedemikian rupa sehingga sebagian dari muatan atau benda akan berpindah.

Pasal 22
Jika suatu muatan saat diangkat tidak berjalan sebagaimana mestinya, operator harus segera membunyikan tanda peringatan dan menurunkan muatannya untuk mengatur kembali.

Pasal 23
Operator peralatan angkat harus menghindari pengangkatan muatan melalui orang-orang.

Pasal 24
Untuk memindahkan muatan berbahaya seperti logam cair ataupun pengangkatan dengan magnit melalui tempat-tempat kerja maka:
a. sebelumnya harus diberi peringatan secukupnya agar tenaga kerja mempunyai kesempatan ketempat yang aman;
b. jika tenaga kerja tidak dapat meninggalkan perkerjaan dengan segera, alat harus dihentikan sampai tenaga kerja meninggalkan daerah yang berbahaya.

Pasal 25
Peralatan angkat tidak diperbolehkan menggantung muatan pada waktu mengalami perbaikan ataupun bagian-bagian bawahnya digunakan oleh mesin yang bergerak.

Pasal 26
Jika perlatan angkat beroperasi tanpa muatan:
a. Penjaga sling atau penjaga rantai harus mengaitkan sling atau rantainya pada kait secara kuat sebelum bergerak;
b. Operator harus menaikan kait secukupnya agar orang-orang dan benda-benda tidak tersentuh.

Pasal 27
Operator alat kerek tidak boleh meninggalkan peralatannya dengan muatan yang tergantung.

Pasal 28
Pesawat, alat-alat, bagian instalasi listrik pada peralatan angkat harus dibuat, dipasang, dipelihara sesuai dengan ketentuan-ketentuan instalasi listrik yang berlaku.

Pasal 29
Semua peralatan angkat yang digerakan dengan tenaga listrik harus dilengkapi dengan alat batas otomatis yang dapat menghentikan motor, bila muatan melebihi posisi yang diijinkan.

Pasal 30
(1) semu bagian kerangka lier dan dongkrak harus terbuat dari logam;
(2) kerangka dan tabung pengangkat lier dan dongkrak harus dibuat dengan angka keamanan sekurang-kurangnya:
a. 12 untuk besi tuang b. 8 untuk baja tuang;
c. 5 untuk baja konstruksi atau baja tempa.
(3) Kaki dari kerangka lier atau dongkrak harus dipancangkan pada fondasi secara kuat dan kokoh;
(4) Lier atau dongkrak, harus dilengkapi dengan peralatan pengaman untuk mencegah agar tidak melebihi posisi maksimum yang ditentukan;
(5) Lier atau dongkrak yang digerakan dengan tenaga uap:
a. Tidak boleh bocor;
b. Uap bekasnya tidak menghambat pandangan operator.
(6) Lier atau dongkrak yang digerakan dengan tenaga tangan, muatan tuasnya tidak boleh melebihi dari 10 kg.

Pasal 31
(1) Jenis dan ukuran tali yang digunakan pada blok dan takel harus sesuai dengan cakra pengantarnya;
(2) Blok dan takel pengangkat harus dilengkapi dengan alat yang dapat mengatur gerakan sehingga pada saat muatan digantung tali atau rantai penarik tidak perlu ditarik atau ditahan dan muatan tetap berada ditempatnya.

Pasal 32
(1) Rantai takel pengangkat dan rantai sling harus dibuat dari besi tempa atau baja tempa sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
(2) Angka keamanan untuk rantai takel pengangkat dan sling sekurang-kurangnya 5;
(3) Rantai takel pengangkat dan sling harus dimudahkan atau dinormalisir kembali secara berkala:
a. 6 bulan untuk rantai berdiameter tidak lebih dari 2 ½ mm;
b. 6 bulan untuk rantai yang digunakan untuk mengangkut logam-logam cair;
c. 12 bulan untuk rantai yang tidak tersebut pada sub. a dan b.


Pasal 33
(1) Peralatan angkat listrik harus:
a. dikonstruksi dari baja;
b. dibuat dengan angka keamanan sekurang-kurangnya:
• 8 untuk baja tuang;
• 5 untuk baja konstruksi atau baja tempa;
• dilengkapi dengan rem otomatis yang mampu menahan muatan, jika muatan dihentikan.
(2) Alat kontrol dari peralatan angkat listrik harus dilengkapi dengan suatu alat yang dapat mengembalikan secara otomatis tuas atau tombol pada posisi netral, jika tuas atau tombol tersebut dilepaskan;
(3) Setiap peralatan angkat yang dijalankan dengan tenaga listrik harus dilengkapi dengan alat pembatas otomatis yang dapat menghentikan tenaga tarik beban, jika muatan melewati batas tertinggi yang diijinkan;
(4) Setiap peralatan angkat harus dilengkapi dengan rem yang secara efektif dapat mengerem sekurang-kurangnya 1 ½ beban yang diijinkan.


Pasal 34
(1) Peralatan angkat pneumatik harus:
a. dikonstruksi dari baja;
b. dibuat dari angka keamanan sekurang-kurangnya:
• 8 untuk baja tuang;
• 5 untuk baja konstruksi atu baja tempa.
(2) Silinder udara peralatan angkat pneumatik harus ditempatkan pada trolinya secara kuat dan aman;
(3) Tuas pengontrol katup peralatan angkat pneumatik gantung harus dilengkapi dengan alat yang dapat mengembalikan tuas kontrolnya secara otomatis keposisi netral, jika handel pada tali control lepas.

Pasal 35
Setiap gondola harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak mempunyai rintangan-rintangan pada tali baja penggantungnya;
b. Kemampuan daya ikat tuas pengaman terjamin;
c. Kedudukan tali baja pada alurnya;
d. Kelebihan tali baja yang berada diatas tanah selama gondola tergantung sekurang- kurangnya 1 m.

Pasal 36
(1) Kemampuan daya angkat mesin pengangkat gondola harus sesuai dengan berat beban yang diangkat;
(2) Gondola dilarang dimuati melebihi maksimum yang diijinkan;
(3) Beban maksimum yang diijinkan dimaksud ayat (2) termasuk berat tali baja, mesin pesawat angkat, pelataran, orang dan peralatannya.

Pasal 37
(1) Pelataran dilarang diturunkan dengan kejutan;
(2) Konstruksi pelataran harus cukup kuat dan aman.

Pasal 38
Dilarang merubah atau menambah perlengkapan-perlengkapan gondola tanpa ijin instansi yang berwenang.

Pasal 39
(1) Motor listrik penggerak gondola harus dihubung tanahkan;
(2) Besarnya tegangan listrik yang digunakan tidak boleh melebihi 10% dari tegangan listrik yang telah ditetapkan.

Pasal 40
Gondola yang digunakan di daerah dekat laut atau korosif harus diadakan pemeriksaan setiap hari sebelum bekerja terhadap bagian dan semua perlengkapannya oleh Operator.

Pasal 41
Tuas dilarang diikat secara tetap.

Pasal 42
(1) Semua bagian yang berbahaya yang dapat menyebabkan kecelakan harus dilindungi;
(2) Operator dan tenaga kerja harus menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dengan bahaya yang dihadapi.

Pasal 43
(1) Pelataran dilarang digunakan selain yang telah ditetapkan;
(2) Pemindahan pelataran harus dilaksanakan dilantai bawah.

Pasal 44
Dilarang menggantungkan peralatan gondola pada gantungan-gantungan yang bersifat sementara.

Pasal 45
Penggantian motor gondola harus dilakukan di lantai paling bawah.

Pasal 46
Pelataran harus dipasang sedemikian rupa sehingga terhindar terhadap sentuhan-sentuhan kedinding bangunan.

Pasal 47
Motor gondola harus dipasang pada pelataran dengan kuat dan harus dihubung tanahkan tersendiri.

Pasal 48
Gondola harus dipasang sesuai dengan penggunaan yang telah ditentukan.

Pasal 49
Setiap roda gigi dan alat perlengkapan transmisi dari keran angkat harus dilengkapi dengan tutup pengaman.

Pasal 50
Keran angkat digerakan dari lantai harus diberi ruang bebas dengan lebar sekurang- kurangnya 90 cm sepanjang jalan gerak keran angkat tersebut.

Pasal 51
Konstruksi dan letak ruangan operator harus bebas dan mempunyai pandangan luas kesekeliling operasi muatan.

Pasal 52
(1) Keran angkat yang beroperasi dilapangan terbuka harus dilengkapi dengan ruangan operator yang tertutup dengan jendela pada semua sisinya yang dapat bergerak ke atas dan ke bawah;
(2) Ruangan operator dimaksud ayat (1) harus mempunyai pintu dengan jendela yang dapat bergerak.

Pasal 53
Dilarang masuk ke ruangan operator keran angkat, kecuali orang yang diberi kuasa untuk itu.

Pasal 54
Setiap orang dilarang menumpang pada muatan atau sling keran angkat sewaktu beroperasi.

Pasal 55
Semua keran angkat harus dilengkapi dengan alat otomatis yang dapat memberi tanda peringatan yang jelas, apabila beban maksimum yang diijinkan.

Pasal 56
Keran angkat magnit harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Rangkaian listrik magnitnya dalam keadaan baik dan tahanan isolasinya diperiksa secara teratur;
b. Sakelar alat control magnit dilindungi untuk mencegah tersentuh secara tidak sengaja keposisi putus (off);
c. Saat mengangkat tabung magnit, cakra pengantar dan bobot imbang kabel magnitnya tidak boleh mengendor.

Pasal 57
(1) Tabung magnit tidak boleh dibiarkan tergantung diudara selama tidak digunakan dan harus diturunkan ke tanah atau ketempat yang telah disediakan;
(2) Tabung magnit harus dilepas jika keran angkat akan digunakan untuk operasi lain yang tidak menggunakan magnit.

Pasal 58
Keran angkat berpindah harus direncanakan dan dipasang sedemikian rupa sehingga setiap saat terdapat ruang bebas yang cukup diantaranya:
a. Titik tertinggi dari keran tersebut dan konstruksi atas;
b. bagian-bagin keran dan tembok, pilar atau bangunan tetap lainnya;
c. Bagian ujung keran satu sama lain dalam dua sudut sejajar.

Pasal 59
Keran angkat berpindah harus direncanakan dengan angka keamanan sekurang- kurangnya:
a. 3 untuk kait yang digunakan keran yang digerakan dengan tenaga manusia;
b. 4 untuk kait yang digunakan keran yang digerakan dengan tenaga mesin;
c. 5 untuk kait yang digunakan keran, untuk melayani bahan-bahan yang berbahaya seperti logam lumer, mudah menggigit dan sejenisnya;
d. 8 untuk roda gigi dan poros transmisi;
e. 6 untuk tali baja;
f. 4 untuk bagian kerangka keran

Pasal 60
Keran angkat yang beroperasi dilapangan terbuka harus:
a. Direncanakan dengan memperhitungkan angin;
b. Dilengkapi dengan kunci roda, jepitan rel, jangkar dan rem dengan pasak pengunci.

Pasal 61
Perakitan kerangka keran angkat berpindah harus dikeling dan atau dilas.

Pasal 62
Keran angkat berpndah harus dilengkapi peralatan untuk mencegah roda gigi atau roda penggerak lainnya jatuh, jika putus atau terlepas.

Pasal 63
Keran angkat berpindah monorail harus dilengkapi dengan sekurang-kurangnya satu pengaman tangkap untuk menahan muatan jika poros penggantungnya rusak.

Pasal 64
Keran angkat berpindah harus dilengkapi dengan:
a. jalan masuk yang aman dengan tangga tetap dari lantai sampai ruangan operator dan dari ruangan operator kejembatan jalan kaki;
b. jalan penyebrangan sekurang-kurangnya 45 cm lebarnya disepanjang kedua sisi jembatan;
c. jalan penyebrangan pada kedua ujung jembatan tersebut sub (b) mempunyai lebar sekurang-kurangnya 30 cm dan sekurang-kurangnya 38 cm lebarnya bila jalan troli tidak dapat dilewati secara aman;
d. sepanjang sisi jalan kaki yang terbuka harus diberi pagar pengaman dan pengaman pinggir.

Pasal 65
Keran lokomotif harus dilengkapi dengan indicator otomatis yang dapat memberi tanda peringatan bila muatan yang diangkat melebihi beban angkat maksimum yang diijinkan.

Pasal 66
Keran lokomotif harus mempunyai ruang bebas sekurang-kurangnya 35 cm antara kerangka keran yang berputar dengan kerangka kereta angkut.

Pasal 67
Pada ruang kemudi kereta angkut dan ruangan operator keran lokomotif harus dilengkapi dengan tangga pegangan tangan.

Pasal 68
Pada kedua ujung kereta angkut lokomotif harus dilengkapi dengan penyambung otomatis yang dapat dilepas dari setiap ujung sisinya.

Pasal 69
Keran lokomotif tenaga listrik harus dihubung tanahkan.

Pasal 70
Pelat pasak pondasi tiang keran dinding harus ditempatkan pada pondasi yang kuat dan pelat pasaknya tersebut harus dikaitkan pada pondasi secara kuat.

Pasal 71
Keran dinding yang dilengkapi dengan dongkrak yang digerakan dengan manusia harus dipasang:
a. Pasak pengunci dan ulir pengunci untuk menahan muatan yang digantung jika gagang engkol dilepas;
b. Rem pengontrol untuk menahan turunnya muatan.

Pasal 72
Roda gigi pada roda keran bersumbu putar harus dihindarkan dari benda-benda yang dapat mengganggu putaran.

Pasal 73
(1) Keran bersumbu putar yang menggunakan tenaga mesin harus dilengkapi dengan rem yang dapat menghentikan gerakan putar;
(2) Dalam pemakai bobot imbang harus diketahui secara jelas tentang berat muatan dan posisi bobot imbang tersebut.

Pasal 74
Keran bersumbu putar harus dilengkapi dengan sebuah daftar atau alat sejenisnya yang dapat menunjukan perbandingan keseimbangan antara posisi berat muatan dan posisi bobot imbangnya.

BAB IV PITA TRANSPORT
Pasal 75
Pita transport antara lain adalah: eskalator, ban berjalan dan rantai berjalan.

Pasal 76
(1) Konstruksi mekanis pita transport harus cukup kuat untuk menunjang muatan yang telah ditetapkan baginya;
(2) Semua pita transport harus dibuat sedemikian rupa sehingga titik-titik geser yang berbahaya antara bagian-bagian atau benda yang berpindah atau tetap ditiadakan dan atau dilindungi.

Pasal 77
(1) Pita transport yang ditinggalkan dan sering dilalui harus dilengkapi dengan tempat jalan kaki atau teras pada seluruh panjangnya dengan lebar tidak kurang dari 45 cm dan mempunyai sandaran standar dan atau pengaman pinggir;
(2) Lantai atau teras kerja pada tempat-tempat bongkar dan muat harus dalam kondisi anti slip;
(3) Lantai, teras dan tempat jalan kaki disamping pita transport harus bersih dari sampah dan bahan-bahan lain;
(4) Saluran air pada lantai harus disediakan disekitar pita transport;
(5) Penyeberangan pada pita transport harus disediakan jembatan yang memenuhi syarat; (6) Tenaga kerja dilarang berdiri dikerangka penahan pita transport terbuka pada saat memuat atau memindahkan barang-barang atau pada saat membersihkan rintangan- rintangan.

Pasal 78
Sabuk, rantai transmisi, poros penggerak, tabung-tabung atau cakra dan roda gigi pada peralatan dan penggerak harus diberi pengaman sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk perlengkapan transmisi tenaga mekanis.

Pasal 79
(1) Pita transport yang tidak tertutup yang dilalui tenaga kerja pada bagian bawahnya harus dipasang tutup pengaman;
(2) Dilarang menaiki ban pita transport, kecuali dengan ijin tertentu.

Pasal 80
(1) a. Pita transport tertutup yang digunakan untuk membawa bahan-bahan yang dapat terbakar atau meledak harus dilengkapi dengan lubang pelepas pengaman yang langsung menuju ke udara luar;
b. lubang pelepas pengaman tidak diperbolehkan dihubungkan dengan cerobong, pipa lubang angin atau saluran asap untuk tujuan lain.
(2) Bila konstruksi pembuangan tidak memungkinkan, saluran lubang pelepasan atau pengaman pada pita transport harus dilengkapi dengan tutup pelepas.

Pasal 81
(1) Pita transport yang digerakan dengan tenaga mekanis pada tempat-tempat membongkar dan memuat, pada akhir perjalanan dan awal pengambilan dan atau pada berbagai tempat lain yang memadai harus diperlengkapi dengan alat untuk menghentikan mesin ban transport dalam keadaan darurat;
(2) Pita transport yang membawa muatan melebihi sudut kemiringan harus dilengkapi dengan lat mekanis yang dapat mencegah mesin berbalik dan membawa muatan kembali kearah tempat memuat, jika sumber tenaga dihentikan;
(3) Jika dua ban transport atu lebih beroperasi bersama harus dipasang alat pengaman yang dapat mengatur bekerja sedemikian rupa sehingga kedua pita transport harus berhenti apabila salah satu pita transport tidak dapat bekerja secara terus menerus.

Pasal 82
Pita transport untuk mengangkut semen, pupuk buatan, serat kayu, pasir atau bahan sejenisnya harus dilengkapi dengan kilang keruk atau alat lainnya yang sesuai.

Pasal 83
Jika pita transport membentang sampai pada tempat yang tidak kelihatan dari pos kontrol, harus dilengkapi dengan gong, peluit atau lampu semboyan dan harus digunakan oleh operator sebelum menjalankan mesin.

Pasal 84
Pita transport harus dilengkapi dengan sistem pelumasan otomatis.

Pasal 85
Dilarang untuk mencoba menyetel atau untuk memeperbaiki perlengkapan pita transport tanpa menghentikan dahulu sumber tenaganya dan mengunci tuas atau tombol dalam keadaan berhenti.

Pasal 86
Ujung pengisian pita transport yang panjangnya kurang dari 1 (satu) meter di atas lantai, harus diberi pagar pelindung.

Pasal 87
Setiap penghantar gerakan dari peralatan jejak eskalator harus dapat dilalui dengan aman.

Pasal 88
Konstruksi alur penghantar harus dibuat sedemikian rupa sehingga mencegah gerakan pemindahan, gerakan jejak atau memutuskan jejak rantai penghubung.

Pasal 89
Sudut kemiringan dari setiap eskalator harus tidak melebihi 30o dari arah bidang datar.

Pasal 90
Bidang injak eskalator terbuat dari bahan yang padat, rata dan tidak licin dan bila terbuat dari logam yang mempunyai kisi-kisi, tebal kisi sekurang-kurangnya 3 mm.

Pasal 91
Lantai pemberangkatan dan lantai pemberhentian setiap eskalator harus dari bahan yang dapat menghasilkan sesuatu ikatan terhadap jejak kaki pemakai.

Pasal 92
Satu motor listrik dilarang untuk menggerakan 2 atau lebih eskalator berdampingan, dan dapat dilayani secara sendiri.

Pasal 93
Lantai eskalator harus mempunyai angka keamanan sekurang-kurangnya 10 kecuali rantai yang terbuat dari baja tuang yang dianeling dengan angka keamanan sekurang-kurangnya 20.

Pasal 94
Setiap eskalator harus dilengkapi dengan sistem elektro mekanis yang bekerja secara otomatis yang dapat menghentikan eskalator apabila sumber tenaga putus.

Pasal 95
(1) Untuk menjalankan setiap eskalator harus menggunakan sebuah kunci kontak atau alat sakelar yang hanya dapat dilayani oleh operator;
(2) Tombol penghenti eskalator harus ditempatkan pada tempat yang dapat dicapai oleh masyarakat umum pada lantai penghantar atas dan bawah;
(3) Tombol penghenti dimaksud ayat (2) harus mempunyai tanda yang jelas dan bertuliskan tombol penghenti;
(4) Saat menekan tombol penghenti, mekanis penghenti gerakan harus dapat menghentikan eskalator secara perlahan-lahan.

Pasal 96
Setiap eskalator yang digerakan dengan listrik yang mempunyai pase banyak harus dilengkapi dengan peralatan yang data mencegah motor berputar balik atau bila adanya kegagalan pase.

Pasal 97
(1) Ruang mesin pada setiap eskalator harus mempunyai ukuran tepat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku sehingga memudahkan pemeliharaan;
(2) Ruang mesin harus mempunyai penerangan yang cukup dan dilengkapi dengan jalan masuk yang aman.


BAB V PESAWAT ANGKUT DI ATAS LANDASAN DAN DI ATAS PERMUKAAN
Pasal 98
Pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan antara lain adalah: truk, truk derek, traktor, gerobak, forklift dan kereta gantung.

Pasal 99
Semua peralatan pelayanan pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga mempunyai keseragaman dalam fungsi, gerak dan warnanya.

Pasal 100
Peralatan pelayanan dimaksud Pasal 99 harus cukup baik, tidak berbahaya bagi operator dalam lingkup geraknya.

Pasal 101
Semua perlengkapan pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan sebelum digunakan harus diperiksa terlebih dahulu oleh operator.

Pasal 102
Pesawat angkutan di atas landasan dengan motor bakar dilarang dijalankan di daerah yang terdapat bahaya kebakaran dan atau peledakan dan atau ruangan tertutup.

Pasal 103
Pesawat angkutan di atas landasan sebelum memuat dan membongkar muatan rem harus digunakan jika di atas tanjakan roda harus diganjal.

Pasal 104
Pesawat angkutan di atas landasan dengan motor bakar harus dijalankan dengan aman sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan.

Pasal 105
Lantai kerja yang dilalui pesawat angkutan landasan harus:
a. dikontruksi cukup kuat dan rata dengan memperhatikan kecepatan, jenis roda dan ban yang digunakan;
b. tidak mempunyai belokan dengan sudut yang tajam, tanjakan yang terjal, jalan yang bebas dan pelataran yang rendah;
c. mempunyai tanda-tanda pada kedua sisi di sepanjang jalan.

Pasal 106
Lebar kiri kanan sisi jalan bebas yang dilalui truck sekurang-kurangnya:
a. 60 cm dari lebar kendaraan atau muatan yang paling lebar jika digunakan lalu lintas satu arah;
b. 90 cm dari kedua lebar kendaraan atau muatan yang paling lebar jika digunakan lalu lintas dua arah.

Pasal 107
Truck, truck derek, tractor dan sejenisnya harus dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan dan peringatan yang efektif.

Pasal 108
Untuk pelayanan pengangkutan muatan menggunakan gerobak harus sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.

Pasal 109
Gerobak dorong yang beroda satu atau dua harus dilengkapi dengan pelindung tangan pada gagangnya dan dilengkapi dengan ban rem.

Pasal 110
Gerobak dorong yang beroda tiga atau empat harus dilengkapi dengan alat pengunci yang digunakan saat gerobak itu berhenti.

Pasal 111
Jika memuati gerobak dorong beroda tiga, muatan yang berat harus ditempatkan dibagian belakang bawah dan muatan harus seimbang.

Pasal 112
Forklift harus dilengkapi dengan atap pelindung operator dan bagian yang bergerak atau berputar diberi tutup pengaman.

Pasal 113
Dalam keadaan jalan garpu harus berjarak setinggi-tingginya 15 cm dari permukaan jalan.

Pasal 114
Bila mengendarai forklift dibelakang kendaraan lain harus berjarak sekurang-kurangnya 10 meter dari belakang kendaraan depannya.

Pasal 115
Dilarang menggunakan forklift untuk tujuan lain selain untuk mengangkat, mengangkut dan menumpuk barang.


BAB VI ALAT ANGKUTAN JALAN RIL
Pasal 116
Alat angkutan jalan ril antara lain adalah: lokomotif, gerbong dan lori.

Pasal 117
Bahan, konstruksi dan perlengkapan jalan ril harus cukup kuat, tidak cacat dan memenuhi syarat.

Pasal 118
Batang tarik wesel, kawat-kawat sinyal atau bagian-bagin lain dari peralatan jalan ril yang berbahaya harus dilindungi dan atau dilengkapi dengan peralatan pengaman.

Pasal 119
Jalan ril harus diadakan pemeriksaan dalam waktu-waktu tertentu.

Pasal 120
(1) Ril pengaman harus dipasang tidak lebih dari 25 cm dibagian dalam ril dengan lebar dimana tikungan melebihi:
a. 250 pada jalan ril dengan lebar 1.435 meter atau lebih;
b. 400 pada jalan ril dengan lebar yang kurang dari 1.435 meter;
c. 200 pada semua jalan ril dengan sudut lereng 2 persen atau lebih.
(2) Jalan ril diatas jembatan atau kuda-kuda yang panjangnya 30 meter atau lebih harus dilengkapi dngan ril pengaman.

Pasal 121
Kuda-kuda jalan ril pada kedua sisinya harus dilengkapi dengan peralatan jalan kaki pada bagian luarnya dan mempunyai ruang bebas sekurang-kurangnya 1 (satu) meter antara pagar dan muatan dengan ukuran yang paling besar.

Pasal 122
Lubang-lubang pembongkaran muatan di bawah jalan ril harus diberi tutup terali yang memenuhi syarat.

Pasal 123
(1) Semboyan wesel harus dikontruksi dan dipasang sedemikian rupa sehingga tuas tidak akan digeser pada arah memanjang ril;
(2) Sudut pada lidah wesel harus dibulatkan.

Pasal 124
Putaran pada jalan ril harus dilengkapi dengan alat pengunci yang akan mencegah putaran tersebut berbalik pada waktu putaran dijalankan

Pasal 125
(1) Ruang bebas horizontal sisi-sisi lokomotif gerbong pada muatannya terhadap bangunan tidak boleh kurang dari 75 cm;
(2) Ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku bagi ruang bebas horizontal pada jalan ril yang menurun;
(3) Ruang bebas antara lokomotif gerbong dan muatannya pada saat bersimpangan dan lintas berdampingan atau melintas bersama satu arah tidak boleh kurang dari 75 cm;
(4) Jika tenaga diperlukan untuk naik di atas atap gerbong atau muatannya maka ruang bebas vertikal sekurang-kurangnya 2,15 meter sampai kebangunan atau rintangan-  rintangan lainnya, 3 meter sampai ke kawat dan 4,3 meter sampai ke kawat penghantar listrik;
(5) Apabila ruang bebas yang dimaksud ayat (4) tidak dapat dipenuhi, tanda ukuran harus dipasang pada jarak yang diperlukan pada tiap sisi bangunan;
(6) Jika halaman pabrik dikelilingi pagar, pintu masuk dan keluar untuk alat angkutan jalan ril harus cukup lebar;
(7) Apabila ruang bebas tidak ada harus dipasang tanda-tanda yang bertuliskan tidak ada ruang bebas, secara jelas dan mudah dibaca.

Pasal 126
Jika alat angkutan jalan ril berada didekat bangunan, sehingga tenaga kerja tidak dapat berdiri atau lewat dengan aman antara bangunan dan pesawat yang berjalan maka:
a. harus dipasang alat penghalang disamping bangunan;
b. dilarang adanya pintu pada bangunan yang menuju keluar jalan ril.

Pasal 127
(1) Semua jalan persilangan jalan ril dengan jalan-jalan yang ramai harus dihilangkan dengan menggunakan jembatan udara atau terowongan untuk lalu lintas kendaraan atau pejalan kaki;
(2) Jika pemasangan jembatan atau terowongan pada persilangan jalan dengan jalan ril tidak dapat dilaksanakan:
a. harus dipasang tanda-tanda yang bertuliskan “BAHAYA” atau “PERSILANGAN”;
b. jalan persilangan harus dibuat rata dengan sebelah atas ril;
c. pada persilangan-persilangan yang ramai harus ditambah oleh penjaga ril kereta atau isyarat lampu suara.

Pasal 128
Balok bentur harus dipasang pada ujung jalan ril, dengan ruangan yang cukup untuk lewat dibelakang bumper secara aman.

Pasal 129
(1) Tanda pemberi peringatan dan alat pengaman atau penghalang pada ril harus jelas;
(2) Apabila alat angkutan jalan ril dijalankan pada waktu malam hari semua tanda pemberi peringatan, alat penghalang dan semboyan wesel dan perlengkapan lainnya harus diberi cahaya.

Pasal 130
Pintu putar, pintu dorong dan pintu palang harus dijamin bekerjanya dalam membuka dan menutup.

Pasal 131
(1) Jika arus lokomotif listrik alat angkutan jalan ril harus dipindahkan melalui kawat, troli harus ditunjang dan diatur sedemikian rupa sehingga putusnya salah satu penghantar kontak tidak akan menimbulkan penghantar tegangan pada troli;
(2) Kawat penghantar dimaksud ayat (1) harus berjarak vertikal 3 meter dari tanah atau tempat umum yang dapat dipakai.

Pasal 132
(1) Jika arus listrik pada lokomotif listrik dipindahkan melalui ril yang ketiga yang tidak terletak pada jalan yang tertutup, maka yang ril bertegangan harus ditutup dengan alat pengaman yang cukup dengan bahan isolasi dan hanya sisi kontaknya terbuka;
(2) Pada kontak terbukanya harus dipasang tanda peringatan yang bertuliskan “BAHAYA” dengan jelas dan terang.

Pasal 133
Gerbong yang berada pada jalan ril simpang harus diganjal.


BAB VII PENGESAHAN
Pasal 134
(1) Setiap perencanaan pesawat angkat dan angkut harus mendapat pengesahan dari Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya, kecuali ditentukan lain;
(2) Permohonan pengesahan dimaksud pada ayat (1) harus diajukan secara tertulis kepada Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya dengan melampirkan:
a. gambar rencana dan instalasi listrk serta sistem pengamannya dengan skala sedemikian rupa sehingga cukup jelas dan terang;
b. keterangan bahan yang akan digunakan;

Pasal 135
(1) setiap pembuatan, peredaran, pemasangan, pemakaian, perubahan dan atau perbaikan teknis pesawat angkat dan angkut harus mendapat pengesahan dari Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya;
(2) pemohon dimaksud ayat (1) harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya dengan melampirkan:
a. gambar konstruksi dan instalasi listrik serta sistem pengamannya dengan skala sedemikian rupa sehingga cukup jelas dan terang;
b. sertifikat bahan dan sambungan-sambungan konstruksinya;
c. perhitungan kekuatan konstruksi dari bagian-bagian yang penting.

Pasal 136
Direktur atau Pejabat yang ditunjuk berwenang mengadakan perubahan teknis atas permohonan yang diajukan tersebut dalam Pasal 134 dan Pasal 135.

Pasal 137
Pembuatan dan pemasangan pesawat angkat dan angkut harus dilaksanakan oleh pembuat dan pemasang yang telah mendapat pengesahan oleh Direktur atau Pejabat yang ditunjuk.


BAB VIII PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN
Pasal 138
(1) Setiap pesawat angkat dan angkut sebelum dipakai harus diperiksa dan diuji terlebih dahulu dengan standar uji yang telah ditentukan;
(2) Untuk pengujian beban lebih, harus dilaksanakan sebesar 125% dari jumlah beban maksimum yang diujikan;
(3) Besarnya tahanan isolasi dan instalasi listrik Pesawat Angkat dan Angkut harus sekurang-kurangnya memenuhi yang ditentukan dalam PUIL (Peraturan Umum Instalasi Listrik);
(4) Pemeriksaan dan pengujian ulang pesawat angkat dan angkut dilaksanakan selambat- lambatnya 2 (dua) tahun setelah pengujian pertama dan pemeriksaan pengujian ulang selanjutnya dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali;
(5) Pemeriksaan dan pengujian dimaksud dalam Pasal ini dilakukan oleh Pegawai
Pengawas dan atau Ahli Keselamatan Kerja kecuali ditentukan lain.

Pasal 139
Biaya pemeriksaan dan pengujian Pesawat Angkat dan Angkut dibebankan kepada Pengusaha.


BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 140
Pesawat angkat dan angkut yang sudah dipakai sebelum peraturan ini ditetapkan pengurus atau pengusaha yang memiliki pesawat angkat dan angkut diwajibkan memenuhi ketentuan-ketentuan peraturan Menteri ini dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan ini.


BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 141
Terhadap pengertian istilah-istilah “cukup”, “sesuai”, “baik”, “aman”, “tertentu”, “sekurang-kurangnya”, “sejauh”, “sedemikian rupa”, yang terdapat dalam Peraturan Menteri ini ditentukan oleh Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 142
Pengurus harus bertanggung jawab terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini.


BAB XI KETENTUAN PIDANA
Pasal 143
(1) Pengurus yang melanggar ketentuan tersebut Pasal 142 diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-  (seratus ribu rupiah) sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.


BAB XII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144
Pegawai Pengawas dan Ahli Keselamatan Kerja melakukan pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini.

Pasal 145
Hal-hal yang memerlukan pedoman pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur.

Pasal 146
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 02 Agustus 1985
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.04/MEN/1987 TENTANG PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA SERTA TATA CARA PENUNJUKAN AHLI KESELAMATAN KERJA


Menimbang:
a. bahwa untuk mencegah terjadinya gangguan keselamatan dan keseha- tan tenaga kerja dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja, perlu penerapan keselamatan kerja, higene perusahaan dan kesehatan kerja di perusahaan-perusahaan;
b. bahwa bertalian dengan hal tersebut diatas, perusahan perlu memiliki Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk membantu pimpinan perusahaan dalam penerapan keselamatan kerja, higene perusahaan dan Kesehatan Kerja;
c. bahwa untuk maksud itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Mengingat:
1. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja;
2. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Transmigrasi dan Koperasi No. PER.03/MEN/1978 tentang Persyaratan Penunjukan dan Wewenang serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.03/MEN/1984 tentang Pengawasn Ketenagakerjaan Terpadu.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHA- TAN KERJA SERTA TATA CARA PENUNJUKAN AHLI KESELA- MATAN KERJA.


Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Tempat kerja ialah setiap ruangan atau lapangan, terbuka atau tertutup, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja melakukan pekerjaan atau sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha, dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
b. Pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin langsung suatu kegiatan kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
c. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan berfungsi membantu pimpinan perusahaan atau pengurus untuk menyelenggarakan dan meningkatkan usaha keselamatan kerja, higene perusahaan dan kesehatan kerja, membantu pengawasan ditaatinya ketentuan-ketentuan peraturan perundangan bidang keselamatan dan kesehatan kerja;
d. Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut P2K3 ialah badan pembantu di tempat kerja yang meruakan wadah kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk mengembangkan kerjasama saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 2
(1) Setiap tempat kerja dengan kriteria tertentu pengusaha atau pengurus wajib membentuk P2K3.
(2) Tempat kerja dimaksud ayat (1) ialah:
a. tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan 100 orang atau lebih;
b. tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan kurang dari 100 orang, akan tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang mempunyai risiko yang besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan penyinaran radioaktif.

Pasal 3
(1) Keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang susunannya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota.
(2) Sekretaris P2K3 ialah ahli Keselamatan Kerja dari perusahaan yang bersangkutan.
(3) P2K3 ditetapkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya atas usul dari pengusaha atau pengurus yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) P2K3 mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan baik diminta maupun tidak kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Untuk melaksanakan tugas tersebut ayat (1), P2K3 mempunyai fungsi:
a. Menghimpun dan mengolah data tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja;
b. Membantu menunjukan dan menjelaskan kepada setiap tenaga kerja:
1) Berbagai faktor bahaya di tempat kerja yang dapat menimbulkan gangguan keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk bahaya kebakaran dan peledakan serta cara penanggulangannya.
2) Faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja;
3) Alat pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
4) Cara dan sikap yang benar dan aman dalam melaksanakan pekerjaannya;
c. Membantu pengusaha atau pengurus dalam:
1) Mengevaluasi cara kerja, proses dan lingkungan kerja;
2) Menentukan tindakan koreksi dengan alternatif terbaik;
3) Mengembangkan sistem pengendalian bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja;
4) Mengevaluasi penyebab timbulnya kecelakaan, penyakit akibat kerja serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan;
5) Mengembangkan penyuluhan dan penelitian di bidang keselamatan kerja, hygiene perusahaan, kesehatan kerja dan ergonomi;
6) Melaksanakan pemantauan terhadap gizi kerja dan menyelenggarakan makanan di perusahaan;
7) Memeriksa kelengkapan peralatan keselamatan kerja;
8) Mengembangkan pelayanan kesehatan tenaga kerja;
9) Mengembangkan laboratorium kesehatan dan keselamatan kerja, melakukan pemeriksaan laboratorium dan melaksanakan interpretasi hasil pemeriksaan;
10) Menyelenggarakan administrasi keselamatan kerja, higene perusahaan dan kesehatan kerja.
d. Membantu pimpinan perusahaan menyusun kebijaksanaan manajemen dan pedoman kerja dalam rangka upaya meningkatkan keselamatan kerja, higene perusahaan, kesehatan kerja, ergonomi dan gizi tenaga kerja.

Pasal 5
(1) Setiap pengusaha atau pengurus yang akan mengangkat Ahli Keselamatan Kerja harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri.
(2) Permohonan penunjukan Ahli Keselamatan Kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) harus bermaterai cukup dan dilampirkan:
a. Daftar riwayat hidup calon Ahli Keselamatan Kerja;
b. Surat keterangan pengalaman kerja;
c. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter;
d. Surat pernyataan bekerja penuh di perusahaan yang bersangkutan;
e. Foto copy ijasah atau STTB terakhir;
f.  Sertifikat pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja atau Badan atau Lembaga Pendidikan yang diakui Departemen Tenaga Kerja.

Pasal 6
Permohonan dimaksud Pasal 5 disampaikan kepada Menteri dengan tembusan disampaikan kepada:
a. Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat;
b. Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja di mana perusahaan yang bersangkutan melakukan kegiatan usahanya.

Pasal 7
Untuk menunjuk Ahli Keselamatan Kerja, Menteri membentuk Tim Penilai yang secara fungsional diketuai oleh Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja dan anggotanya terdiri dari pejabat Departemen Tenaga Kerja  dan Instansi atau Badan atau Lembaga di Luar Departemen Tenaga Kerja yang dipandang perlu.

Pasal 8
Tim Penilai sebagaimana dimaksud Pasal 7 mempunyai fungsi:
a. Memeriksa kelengkapan persyaratan calon Ahli Keselamatan Kerja yang diajukan pengusaha atau pengurus;
b. Melakukan pengujian kemapuan teknis di bidang keselamatan kerja, higene perusahaan, kesehatan kerja dan ergonomi;
c. Menyampaikan kepada Menteri:
1) Untuk dikeluarkan keputusan penunjukan sebagai Ahli Keselamatan Kerja apabila calon Ahli Keselamatan Kerja yang bersangkutan dinilai telah meemnuhi persyaratan oleh Tim Penilai;
2) Untuk dikeluarkan keputusan penolakan permohonan pengusaha atau pengurus apabila calon Ahli Keselamatan Kerja yang bersangkutan dinilai tidak memenuhi persyaratan oleh Tim Penilai.

Pasal 9
Bila pengusaha atau pngurus yang ditolak permohonannya sebagaimana dimaksud Pasal 8 huruf c butir 2 dapat mengajukan kembali permohonan penunjukan ahli Keselamatan Kerja sesuai prosedur sebagaimana dimaksud Pasal 5.

Pasal 10
Keputusan penunjukan Ahli Keselamatan Kerja dapat dicabut apabila:
a. Tidak memenuhi peraturan perUndang-undangan keselamatan kerja;
b. Pindah ke Perusahaan lain;
c. Melakukan kesalahan atau kecerobohan sehingga menimbulkan kecelakaan;
d. Mengundurkan diri;
e. Meninggal dunia.

Pasal 11
(1) Keputusan penunjukan Ahli Keselamatan Kerja sebagaimana dimaksud Pasal 8 huruf c butir 1 berlaku untuk jangka waktu 3 tahun.
(2) Setelah tenggang waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) berakhir, dapat dimintakan perpanjangan kepada Menteri.
(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud ayat (2) diajukan menurut prosedur Pasal 6 dengan melampirkan:
a. Foto copy keputusan penunjukan Ahli Keselamatan Kerja yang bersangkutan;
b. Surat pernyataan pengurus yang menyatakan bahwa Ahli Keselamatan Kerja yang bersangkutan mempunyai prestasi baik.

Pasal 12
Sekurang-kurangnya 3 bulan sekali pengurus wajib menyampaikan laporan tentang kegiatan P2K3 kepada Menteri melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.

Pasal 13
(1) Ahli Keselamatan Kerja yang telah ditunjuk sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, tetap berlaku sampai paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini dinyatakan berlaku.
(2) Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja dimaksud ayat (1) dapat diperpanjang dengan melalui prosedur sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) dan (3). Pasal 14 Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 15
Pegawai Pengawas Keselamatan Kerja dimaksud Undang-undang No. 1 Tahun 1970, melakukan pengawasan terhadap ditaatinya pelaksanaan Peraturan Menteri ini.

Pasal 16
Paraturan menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 03 Agustus 1997
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NOMOR : PER.01/MEN/1988 TENTANG KWALIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR PESAWAT UAP


Menimbang :
a. bahwa dengan semakin meningkatnya penggunaan pesawat uap dibidang industri dan jasa dimana pesawat uap dapat mengakibatkan kerugian baik terhadap harta maupun jiwa manusia sehingga perlu diusahakan pencegahannya;
b. bahwa kecelakaan dan peledakan pesawat uap dapat disebabkan karena operator pesawat uap kurang memahami cara pelayanan pesawat uap, alat pengaman dan perlengkapan yang kurang baik;
c. bahwa oleh karena operator pesawat uap memegang peranan penting dalam pengoperasian pesawat uap untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau peledakan, sehingga perlu diatur tentang kwalifikasi dan syarat-syarat operator pesawat uap;
d. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Peraturan Menteri tentang Kwalifikasi dan syarat-syarat operator pesawat uap.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja;
2. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (L.N.- 1970 No. 1);
3. Undang-undang uap Tahun 1930 (Stoom Ordonantie 1930/Stb No. 225 Tahun 1930);
4. Peraturan Uap 1930 (Stoom Verordening 1930/Stb. 339 Tahun 1930);
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kepts. 199/1983 tentang Struktur Organisasi Departemen Tenaga Kerja.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG KLASIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR PESAWAT UAP.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Menteri ialah Menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
b. Pegawai Pengawas adalah pegawai pengawas sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1970.
c. Pemakai adalah pemakai sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 Stoom Ordonantie 1930.
d. Pesawat Uap adalah pesawat uap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Stoom Ordonantie 1930.
e. Operaor adalah tenaga kerja berkeahlian khusus untuk melayani pemakaian pesawat uap.


BAB II RUANG LINGKUP
Pasal 2
Peraturan Menteri ini meliputi kwalifikasi wewenang, syarat-syarat dan kewajiban melapor.


BAB III KWALIFIKASI
Pasal 3
Kwalifikasi operator terdiri dari 2 kelas yaitu:
(1) Operator kelas I.
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA Jurusan mekanik, listrik, atau IPA.
b. Telah berpengalaman dibidang pelayanan pesawat uap sekurang-kurangnya 2 tahun.
c. Berkelakuan baik dari kepolisian.
d. Berbadan sehat dari dokter.
e. Umur sekurang-kurangnya 23 tahun. f.  Harus lulus paket Al + A2.
g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja cq. Ditjen Binawas.

(2) Operator kelas II.
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP, dan diutamakan teknik mekanik, atau listrik.
b. Pernah sebagai pembantu operator selama 1 tahun. c. Berkelakuan baik dari kepolisian.
d. Umur sekurang-kurangnya 20 tahun. e. Berbadan sehat dari dokter.
f. Mengikuti kursus operator paket A1.
g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja cq. Ditjen Binawas

Pasal 4
Menteri atau pejabat yang ditunjuknya dapat menetapkan syarat pendidikan dan pengalaman calon operator selain tersebut pada ayat (1) sub a, b dan ayat (2) sub a, b Pasal ini.

Pasal 5
(1) Pelaksanaan kursus operator dapat dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja atau Lembaga yang ditunjuk.
(2) Kurikulum kursus operator dilaksanakan sesuai dengan lampiran peraturan ini.
(3) Menteri atau pejabat yang ditunjuknya sewaktu-waktu dapat mengganti, menambah atau mengurangi mata pelajaran dan atau jam pelajaran dalam lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 6
(1) Sertifikat operator diterbitkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus.
(2) Sertifikat operator dapat dicabut oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya bila operator yang bersangkutan dinilai tidak berkemampuan lagi sebagai operator atas usul pegawai pengawas bidang uap setempat.

Pasal 7
Operator kelas II dapat ditingkatkan menjadi Operator kelas I dengan ketentuan:
a. Telah berpengalaman sebagai operator kelas II sekurang-kurangnya 2 tahun secara terus menerus.
b. Telah mengikuti pendidikan paket A2 dan lulus ujian yang diselenggarakan oleh Ditjen Binawas.


BAB IV KEWENANGAN OPERATOR
Pasal 8
(1) Operator kelas I berwenang melayani:
a. Sebuah ketel uap dengan kapasitas uap lebih besar dari 10 ton/jam. b. Pesawat uap selain uap untuk semua ukuran.
c. Mengawasi kegiatan operator kelas II bila menurut ketentuan pada peraturar ini perlu didampingi operator kelas II.
(2) Operator kelas II berwenang melayani:
a. Sebuah ketel uap dengan kapasitas uap paling tinggi 10 ton/jam. b. Pesawat uap selain ketel uap untuk semua ukuran.

Pasal 9
(1) Jumlah operator yang diperlukan untuk setiap shift pelayanan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Operator tersebut pada ayat (1) harus dibantu oleh satu atau beberapa tenaga bantu dalam hal pelayanan unit instalasi uap


BAB V KEWAJIBAN OPERATOR
Pasal 10
(1) Dilarang meninggalkan tempat pelayanan selama pesawat uapnya dioperasikan.
(2) Melakukan pengecekan dan pengamatan kondisi/kemampuan kerja serta merawat pesawat uap, alat-alat pengaman dan alat perlengkapan lainnya yang terkait dengan bekerjanya pesawat uap yang dilayaninya.
(3) Operator harus mengisi buku laporan harian pengoperasian pesawat uap yang ber- sangkutan selama melayani pesawat uap meliputi data tekanan kerja, produksi uap, debit air pengisi ketel uap, pH air, jumlah bahan bakar dan lain-lain, serta tindakan operator yang dilakukan selama melayani pesawat uap yang bersangkutan.
(4) Apabila pesawat uap dan atau alat-alat pengaman/perlengkapannya tidak berfungsi dengan baik atau rusak, maka operator harus segera menghentikan pesawatnya dan segera melaporkan pada atasannya.
(5) Untuk operator kelas I disamping kewajiban tersebut pada ayat (1), (2), (3) dan (4) juga wajib mengawasi kegiatan dan mengkoordinir operator kelas II. (6) Operator kelas I bertanggung jawab atas seluruh unit instalasi uap.
(7) Pemakaian pesawat uap dimana menurut peraturan ini tidak diperlukan operator kelas I, maka operator kelas II atau salah satu operator kelas II yang ditunjuk oleh perusahaan bertanggung jawab atas seluruh instalasi uap.
(8) Segera melaporkan kepada atasannya apabila terjadi kerusakan/peledakan atau gangguan-gangguan lain pada pesawat uap, penyalur uap dan alat-alat perlengka- pannya.
(9) Membuat laporan bulanan pemakaian pesawat uap kepada P2K3 di perusahaan yang bersangkutan.


BAB VI KETENTUAN HUKUM
Pasal 11
Operator yang melanggar ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 10 ayat (1) dapat dikenakan hukuman kurungan atau denda sesuai dengan Pasal 27 Undang-undang Uap
1930 (Stoom Ordonantie 1930).


BAB VII ATURAN PERALIHAN
Pasal 12
1. Sertifikat operator yang telah diterbitkan sebelum peraturan ini berlaku akan diadakan peninjauan kembali disesuaikan dengan ketentuan dalam peraturan ini.
2. Untuk pelaksanaan ketentuan ayat (1) Pasal ini, perusahaan yang memiliki sertifikat operator wajib mengembalikan sertifikat dimaksud kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.


BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Januari 1988
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NO. : PER.01/MEN/1989 TENTANG KWALIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR KERAN ANGKAT


Menimbang :
a. Bahwa dengan semakin meningkatnya penggunaan keran angkat dibidang industri dan jasa dimana keran angkat dapat menimbul- kan kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerugian baik terhadap harta maupun jiwa manusia, sehingga perlu diusahakan pencegahan;
b. Bahwa oleh karena operator keran angkat memegang peranan penting dalam pengoperasian keran angkat untuk mencegah ter- jadinya kecelakaan, sehingga perlu diatur tentang kwalifikasi dan syarat-syarat operator keran angkat;
c. Bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Peraturan Menteri tentang kwalifikasi dan syarat-syarat operator keran angkat.

Mengingat :
1. Undang-undang No 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
2. Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja L.N. 1970 No. 1;
3. Keputusan Presiden R.I No. 64-/M Tahun 1988 tentang Pem- bentukan Kabinet Pembangunan V;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 5 tahun 1985 tentang Pesa- wat angkat dan angkut.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi TENTANG KWALIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR KERAN ANGKAT.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Menteri ialah Menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
b. Pegawai pengawas adalah pegawai pengawas sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (5) Undang-undang No. 1 tahun 1970.
c. Pengusaha adalah orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat
(3) UU No. 1 Tahun 1970.
d. Keran angkat adalah salah satu jenis peralatan angkat sebagaimana dimaksud Pasal 6 Permen No. PER-05/MEN/1985.
e. Operator adalah tenaga kerja berkeahlian khusus untuk melayani pemakaian keran angkat.


BAB II RUANG LINGKUP
Pasal 2
Peraturan Menteri ini meliputi kwalifikasi, wewenang, syarat-syarat dan kewajiban melapor.


BAB III KWALIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR KERAN ANGKAT
Pasal 3
Kwalifikasi operator terdiri dari 3 kelas yaitu:
1. Operator kelas I.
2. Operator kelas II.
3. Operator kelas III.


Pasal 4
(1) Syarat-syarat Operator kelas I.
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA jurusan mekanik, listrik, atau IPA;
b. Telah berpengalaman dibidang pelayanan keran angkat menurut jenisnya sekurang kurangnya 5 tahun dengan kapasitas 50 ton;
c. Berkelakuan baik dari Kepolisian;
d. Berbadan sehat dari dokter;
e. Umur sekurang-kurangnya 23 tahun;
f. Harus lulus paket A1 + A2 + A3;
g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja cq. Ditjen Binawas;
(2) Syarat-syarat Operator kelas II.
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP, dan diutamakan jurusan teknik mekanik atau listrik;
b. Pernah sebagai operator selama 3 tahun dan kapasitas 25 - 50 ton;
c. Berkelakuan baik dari Kepolisian;
d. Umur sekurang-kurangnya 21 tahun;
e. Berbadan sehat dari dokter;
f. Mengikuti kursus operator paket Al + A2;
g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja cq. Ditjen Binawas.
(3) Syarat-syarat Operator Kelas III.
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP dan diutamakan jurusan teknik, mekanik atau listrik;
b. Pernah sebagai pembantu selama 1 tahun dengan kapasitas 25 ton;
c. Berkelakuan baik dari Kepolisian;
d. Umur sekurang-kurangnya 20 tahun;
e. Berbadan sehat dari dokter;
f. Mengikuti kursus operator A1;
g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja cq. Ditjen Binawas.
(4) Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya dapat menetapkan syarat-syarat pendidikan dan pengalaman calon operator selain tersebut pada ayat (1) sub a, b dan ayat (2) sub a, b Pasal ini.

Pasal 5
(1) Pelaksanaan kursus operator dapat dilakukan oleh Depantemen Tenaga Kerja atau Lembaga yang ditunjuk.
(2) Kurikulum kursus operator dilaksanakan sesuai dengan lampiran peraturan ini, yang dapat dikembangkan dan diubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi.
(3) Menteri atau pejabat yang ditunjuknya sewaktu-waktu dapat mengganti, menambah atau mengurangi mata pelajaran dan atau jam pelajaran dalam lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 6
(1) Sertifikat operator diterbitkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus.
(2) Bagi operator yang telah mendapatkan sertifikat dapat diberikan lisensi oleh Depnaker sesuai dengan tingkat keahliannya yang harus diperbaharui setiap (dua) tahun, melalui atau tanpa Kursus penyegaran.
(3) Sertifikat operator dapat dicabut oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya bila operator yang bersangkutan dinilai tidak berkemampuan lagi sebagai operator atas usul pegawai pengawas.

Pasal 7
Operator kelas III dapat ditingkatkan menjadi Operator kelas II dan Operator kelas II menjadi Operator kelas I dengan ketentuan:
a. Telah berpengalaman sebagai Operator sesuai dengan tingkatnya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus menerus.
b. Telah mengikuti pendidikan paket yang sesuai dengan tingkatnya dan lulus ujian yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja cq. Ditjen Binawas.


BAB IV KEWENANGAN OPERATOR
Pasal 8
(1) Operator kelas I berwenang melayani:
a. Sebuah keran angkat sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas lebih besar dari 50 ton.
b. Mengawasi dan membimbing kegiatan operator kelas II dan atau operator kelas III, bila menurut ketentuan pada peraturan ini perlu didampingi oleh operator kelas II dan atau kelas III.
(2) Operator kelas II berwenang melayani:
a. Sebuah keran angkat sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas lebih besar dari 25 ton sampai dengan 50 ton.
b. Mengawasi dan membimbing kegiatan operator kelas III, bila menurut ketentuan pada peraturan ini perlu didampingi oleh operator kelas III.
(3) Operator kelas III berwenang melayani:
sebuah keran angkat sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas maksimum 25 ton.

Pasal 9
(1) Jumlah operator yang diperlukan untuk setiap shift pelayanan adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 Peraturan Menteri ini.
(2) Operator tersebut pada ayat (1) harus dibantu oleh satu atau beberapa tenaga bantu dalam hal pelayanan unit keran angkat.


BAB V KEWAJIBAN OPERATOR Pasal 10
(1) Dilarang meninggalkan tempat pelayanan selama keran angkat dioperasikan.
(2) Melakukan pengecekan dan pengamatan kondisi atau kemampuan kerja serta merawat keran angkat, alat-alat pengaman dan alat-alat perlengkapan lainnya yang terkait dengan bekerjanya keran angkat yang dilayaninya.
(3) Operator harus mengisi buku laporan harian pengoperasian keran angkat yang bersangkutan selama melayani keran angkat.
(4) Apabila keran angkat atau alat-alat pengaman atau perlengkapannya tidak berfungsi dengan baik atau rusak, operator harus segera menghentikan pesawatnya dan segera melaporkan pada atasannya.
(5) Untuk operator kelas I disamping kewajiban tersebut pada ayat (1), (2), (3) dan (4) juga wajib mengawasi kegiatan dan mengkoordinasikan operator kelas II dan operator kelas III.
(6) Operator kelas I bertanggung jawab atas seluruh kegiatan pengoperasian untuk keran angkat yang dikendalikannya.
(7) Pemakaian keran angkat dimana menurut peraturan ini tidak diperlukan operator kelas I maka operator kelas II atau salah satu operator kelas II yang ditunjuk oleh pengusaha bertanggung jawab atas seluruh pengoperasian keran angkat.
(8) Segera melaporkan kepada atasannya apabila terjadi kerusakan atau peledakan atau gangguan-gangguan lain pada keran angkat dan alat-alat perlengkapannya.
(9) Membuat laporan bulanan pemakaian keran angkat kepada P2K3 diperusahaan yang bersangkutan.
(10) Mematuhi peraturan dan tindakan pengaman yang telah ditetapkan selain peng- operasian keran angkat.


BAB VI KETENTUAN HUKUM
Pasal 11
Operator yang melanggar ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 10 ayat (1) dapat dikenakan hukuman kurungan atau denda sesuai dengan Pasal 143 PERMEN No. 5 tahun
1985.


BAB VII ATURAN PERALIHAN
Pasal 12
(1) Bagi operator yang telah bekerja berdasarkan sertifikat operator yang telah diberikan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, untuk menentukan kwalifikasi operator diharuskan mengikuti latihan peningkatan (up grading) sesuai peraturan Menteri ini.
(2) Sertifikat operator yang telah diterbitkan sebelum peraturan ini berlaku akan diadakan peninjauan kembali disesuaikan dengan ketentuan dalam peraturan ini.
(3) Untuk pelaksanaan ketentuan ayat (2) Pasal ini, perusahaan yang memiliki sertifikat operator wajib mengembalikan sertifikat dimaksud kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuknya melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.


BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

DITETAPKAN DI : JAKARTA
PADA TANGGAL : 21 FEBRUARI 1989.
MENTERI TENAGA KERJA. tdd
Drs. Cosmas Batubara


TENTANG KURIKULUM OPERATOR KERAN ANGKAT
I. Tujuan:
Memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam mengoperasikan keran angkat, bertanggung jawab, berdisiplin dan mengerti terhadap keselamatan kerja dalam melakukan pekerjaan, sehingga penggunaan alat dapat lebih efisien, produktif, dan aman.

II. Mata Pelajaran Inti:
1. Kecelakaan pada keran angkat:
1.1. Kecelakaan disebabkan oleh kelebihan beban.
1.2. Kecelakaan disebabkan oleh gagalnya perangkat keselamatan.
1.3. Kecelakaan disebabkan oleh keadaan yang tidak normal.
1.4.  Kecelakaan disebabkan oleh kesalahan alat bantu angkat (alat rigging), sling, aba-aba dan lain-lain.
1.5.  Kecelakaan disebabkan oleh kesalahan prosedur pemasangan, perubahan dan pembongkaran.
1.6. Diskusi/tanya jawab.

2. Prinsip Rancang Bangun:
2.1. Konstruksi dan Stabilitas.
2.2. Faktor keamanan (Safety Factor).
2.3. Pengaruh tinggi, panjang boom dan tekanan angin.
2.4. Jenis-jenis keran, keuntungan dan keterbatasannya.
2.5. Indikator Beban Aman dan penyetop otomatis.
2.6. Diskusi dan Tanya jawab.

3. Tenaga Penggerak:
3.1. Tenaga penggerak mekanis.
3.2. Tenaga penggerak hidrolis.
3.3. Tenaga penggerak pneumatik.
3.4. Tenaga penggerak listrik.
3.5. Diskusi dan Tanya jawab.

4. Kapasitas dan Daftar Beban:
4.1. Dasar pengukuran.
4.2. Daftar beban dan Daerah operasi.
4.3. Beban kotor.
4.4. Beban pengurang.
4.5. Beban bersih (Netto).

5. Pemasangan, Pengujian dan Pembongkaran
5.1. Hanya dilakukan oleh orang yang terlatih.
5.2. Mengetahui petunjuk dan prosedur dari pabrik.
5.3.  Landasan, keadaan tanah, keratan kelabang (track dan indikator yang benar).
5.4. Keadaan angin sewaktu pemasangan dan pembongkaran.
5.5. Dapatkan persetujuan pabrik bila melakukan modifikasi.
5.6. Pembongkaran sama penting dengan pemasangan.
5.7. Pcnggunaan kunci-kunci yang benar, dan peralatan keselamatan.
5.8. Boom, jib, centilever, dan teleskopik.
5.9. Indikator petunjuk aman.
5.10. Penggunaan penumpu (out rigger) yang benar.
5.11. Prosedur dan uji beban.
5.12. Pengawasan oleh orang yang berkompetensi.
5.13. Diskusi dan Tanya Jawab.

6. Tali Kawat Baja dan Tali Serat:
6.1. Konstruksi, pemeriksaan. pemilihan dan penggunaan.
6.2. Tali angkat (hoist ropes).
6.3. Tali derek (derrecking ropes).
6.4. Sling dan penggunaan yang benar.
6.5. Penyimpanan dan perawatan tali.
6.6. Pemasangan klam yang benar.
6.7. Tali serat, Beban Kerja Aman, Pemeriksaan dan Penggunaan.
6.8. Pembuatan sling tanpa ujung dari tali serat.
6.9. Diskusi dan Tanya Jawab.

7. Rantai Kait dan Alat Bantu Angkat lainnya:
7.1. Konstruksi, pemeriksaan dan penyimpanan.
7.2. Mengenal bahan yang digunakan.
7.3. Penggunaan yang benar dari kait sakel, dan baut mata.
7.4. Beban Kerja Aman (SWL) dan pengaruh sudut kaki sling.
7.5.  Penggunaan salah seperti beban mendadak, simpul, dan lain-lain pada sling.
7.6. Alat Bantu Angkat khusus seperti: Beam, keranjang angkat, dan lain-lain.
7.7. swivel, takel dan lain-lain.
7.8. Diskusi dan Tanya Jawab.

8. Perawatan (Maintenance):
8.1. Perawatan-perawatan angkat (umum).
8.2. Pemeriksaan periodik.
8.3. Pelumasan.
8.4. Perawatan ban.
8.5. Rem dan kopling.
8.6. Pancing angkat dan puli.
8.7. Diskusi dan Tanya Jawab.

9. Pengoperasian Crane yang Aman:
9.1. Kontrol keran.
9.2. Penggunaan perangkat keselamatan dan indikator beban aman.
9.3. Pemilihan dan penempatan keran untuk suatu pengangkatan.
9.4. Halangan-halangan seperti listrik, bangunan dan lain-lain.
9.5. Penempatan dan menjalankan (travelling) keran.
9.6. Menaikkan dan menurunkan beban dengan aman.
9.7. Pengangkatan dengan keran lebih dari satu.
9.8. Diskusi dan Tanya Jawab.

10. Cara Pengikatan Beban:
10.1. Aba-aba, radio dan alat komunikasi lainnya.
10.2. Bentuk dan berat beban.
10.3. Titik berat dan stabilitas beban.
10.4. Pemilihan alat bantu angkat yang sesuai dan benar.
10.5. Penempatan beban pada kait.
10.6. Pengendalian beban.
10.7. Diskusi dan Tanya Jawab.

11. Praktikum Lapangan:
11.1. Siswa dikelompokkan.
11.2. Memeriksa Sling dan alat bantu alat.
11.3. Menentukan kemampuan angkat dalam berbagai situasi.
11.4. Pemeriksaan alat bantu angkat yang rusak.
11.5. Perawatan dan pemeriksaan keran.
11.6. Menentukan berat dan titik berat dari berbagai beban.
11.7. Cara pengikatan beban yang benar.
11.8. Pelipatan (Folding) dan pelepasan (unfolding) boom kisi.
11.9. Pengoperasian keran dan pemberian aba-aba.
11.10. Diskusi dan Tanya Jawab.

12. PerUndang-undangan dan Peraturan:
12.1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
12.2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 5 Tahun 1985 tentang Pesawat Angkat & Transport.
12.3. Tanggung Jawab Operator.
12.4. Tanggung Jawab Kontraktor.
12.5. Tanggung Jawab Operator di Jalan Raya.
12.6. Pelaporan kecelakaan dan bahaya yang terjadi.
12.7. Peraturan-peraturan yang terkait.

13. Evaluasi:
Pada akhir pelajaran teori dan praktek harus diberikan evaluasi akhir.

14. Mata Pelajaran Dasar:
- Etika.
- Hubungan Industrial Pancasila.
- Motivasi Kerja.

III.  Kurikulum dan Silabus tersebut di atas dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan tingkat keterampilan dan kemajuan teknologi.

IV. Jumlah Jam Pelajaran:
Jumlah Jam Pelajaran untuk setiap tingkat kemampuan dan keterampilan (Operator III, Operator II dan Operator I), disesuaikan dengan bobot materi yang diberikan berdasarkan kurikulum tersebut di atas.
- Jam pelajaran untuk Paket A1. (Operator III) = 243 jam.
- Jam pelajaran untuk Paket A2. (Operator II) = 180 jam.
- Jam pelajaran untuk Paket A3. (Operator I) = 120 jam.
- Jam pelajaran teori dan praktek berbanding = 30 : 60.



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/1989 TENTANG PENGAWASAN INSTALASI PENYALUR PETIR


Menimbang :
a. bahwa tenaga kerja dan sumber produksi yang berada di tempat kerja perlu dijaga keselamatan dan produktivitasnya;
b. bahwa sambaran petir dapat menimbulkan bahaya baik tenaga kerja dan orang lainnya yang berada di tempat kerja serta bangunan dan isinya;
c. bahwa untuk itu perlu diatur ketentuan tentang instalasi penyalur petir dan pengawasannya yang ditetapkan dalam suatu Peraturan Menteri.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan No. 23 Tahun 1948 dari Republik Indonesia;
2. Undang-undang No. 14 tahun1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
3. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
4. Keputusan Presiden RI No. 64/M Tahun 1988 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan V;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Transmigrasi dan Koperasi No. PER- 03/MEN/1978 tentang Persyaratan Penunjukan dan Wewenang serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-03/MEN/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan terpadu;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-04/MEN/1987 tentang Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN INSTALASI PENYALUR PETIR.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Direktur ialah Pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
b. Pegawai Pengawas ialah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja;
c. Ahli Keselamatan Kerja ialah Tenaga Teknis berkeahlian khusus dari luar Depar- temen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
d. Pengurus ialah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab penuh terhadap tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri;
e. Pengusaha ialah orang atau badan hukum seperti yang dimaksud Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970;
f. Tempat kerja ialah tempat sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1970;
g. Pemasang instalasi penyalur petir yang selanjutnya disebut Instalasi ialah badan hukum yang melaksanakan pemasangan instalasi penyalur petir;
h. Instalasi penyalur petir ialah seluruh susunan sarana penyalur petir terdiri atas penerima (Air Terminal/Rod), Penghantar penurunan (Down Conductor), Elektroda Bumi (Earth Electrode) termasuk perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan berfungsi untuk menangkap muatan petir dan menyalurkannya ke bumi;
i. Penerima ialah peralatan dan atau penghantar dari logam yang menonjol lurus ke atas dan atau mendatar guna menerima petir;
j. Penghantar penurunan ialah penghantar yang menghubungkan penerima dengan elektroda bumi;
k. Elektroda bumi ialah bagian dari instalasi penyalur petir yang ditanam dan kontak langsung dengan bumi;
l. Elektroda kelompok ialah beberapa elektroda bumi yang dihubungkan satu dengan lain sehingga merupakan satu kesatuan yang hanya disambung dengan satu peng- hantar penurunan;
m. Daerah perlindungan ialah daerah dengan radius tertentu yang termasuk dalam perlindungan instalasi penyalur petir;
n. Sambungan ialah suatu konstruksi guna menghubungkan secara listrik antara pene- rima dengan penghantar penurunan, penghantar penurunan dengan penghantar penurunan dan penghantar penurunan dengan elektroda bumi, yang dapat berupa las, klem atau kopeling;
o. Sambungan ukur ialah sambungan yang terdapat pada penghantar penurunan dengan sistem pembumian yang dapat dilepas untuk memudahkan pengukuran tahanan pembumian;
p. Tahanan pembumian ialah tahanan bumi yang harus dilalui oleh arus listrik yang berasal dari petir pada waktu peralihan, dan yang mengalir dari elektroda bumi ke bumi dan pada penyebarannya di dalam bumi;
q. Massa logam ialah massa logam dalam maupun massa logam luar yang merupakan satu kesatuan yang berada di dalam atau pada bangunan, misalnya perancah-perancah baja, lift, tangki penimbun, mesin, gas dan pemanasan dari logam dan penghantar- penghantar listrik.

Pasal 2
(1) Instalasi penyalur petir harus direncanakan, dibuat, dipasang dan dipelihara sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan atau standard yang diakui;
(2) Instalasi penyalur petir secara umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kemampuan perlindungan secara teknis;
b. ketahanan mekanis;
c. ketahanan terhadap korosi,
(3) Bahan dan konstruksi instalasi penyalur petir harus kuat dan memenuhi syarat;
(4) Bagian-bagian instalasi penyalur petir harus memiliki tanda hasil pengujian dan atau sertifikat yang diakui.

Pasal 3
Sambungan-sambungan harus merupakan suatu sambungan elektris, tidak ada kemung- kinan terbuka dan dapat menahan kekuatan tarik sama dengan sepuluh kali berat peng- hantar yang menggantung pada sambungan itu.

Pasal 4
(1) Penyambungan dilakukan dengan cara:
a. dilas.
b. diklem (plat klem, bus kontak klem) dengan panjang sekurang-kurangnya 5 cm;
c. disolder dengan panjang sekurang-kurangnya 10 cm dan khusus untuk penghantar penurunan dari pita harus dikeling.
(2) Sambungan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak berkarat;
(3) Sambungan-sambungan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat diperiksa dengan mudah.

Pasal 5
Semua penghantar penurunan petir harus dilengkapi dengan sambungan pada tempat yang mudah dicapai.

Pasal 6
(1) Pemasangan instalasi penyalur petir harus dilakukan oleh Instalasi yang telah mendapat pengesahan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya;
(2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 7
Dalam hal pengaruh elektrolisa dan korosi tidak dapat dicegah maka semua bagian instalasi harus disalut dengan timah atau cara lain yang sama atau memperbaharui bagian- bagiannya dalam waktu tertentu.


BAB II RUANG LINGKUP
Pasal 8
Yang diatur oleh Peraturan Menteri ini adalah Instalasi Penyalur Petir non radioaktif di tempat kerja.

Pasal 9
(1) Tempat kerja sebagaimana dimaksud Pasal 8 yang perlu dipasang instalasi penyalur petir antara lain:
a. Bangunan yang terpencil atau tinggi dan lebih tinggi dari pada bangunan se- kitarnya seperti: menara-menara, cerobong, silo, antena pemancar, monumen dan lain-lain;
b. Bangunan dimana disimpan, diolah atau digunakan bahan yang mudah meledak atau terbakar seperti pabrik-pabrik amunisi, gudang penyimpanan bahan peledak dan lain-lain;
c. Bangunan untuk kepentingan umum seperti: tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, gedung pertunjukan, hotel, pasar, stasiun, candi dan lain-lain;
d. Bangunan untuk menyimpan barang-barang yang sukar diganti seperti: museum, perpustakaan, tempat penyimpanan arsip dan lain-lain;
e. Daerah-daerah terbuka seperti: daerah perkebunan, Padang Golf, Stadion Olah Raga dan tempat-tempat lainnya.
(2) Penetapan pemasangan instalasi penyalur petir pada tempat kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan memperhitungkan angka index seperti tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri ini.


BAB III PENERIMA (AIR TERMINAL)
Pasal 10
(1) Penerima harus dipasang di tempat atau bagian yang diperkirakan dapat tersambar petir dimana jika bangunan yang terdiri dari bagian-bagian seperti bangunan yang mempunyai menara, antena, papan reklame atau suatu blok bangunan harus dipan- dang sebagai suatu kesatuan;
(2) Pemasangan penerima pada atap yang mendatar harus benar-benar menjamin bahwa seluruh luas atap yang bersangkutan termasuk dalam daerah perlindungan;
(3) Penerima yang dipasang di atas atap yang datar sekurang-kurangnya lebih tinggi 15 cm dari pada sekitarnya;
(4) Jumlah dan jarak antara masing-masing penerima harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat menjamin bangunan itu termasuk dalam daerah perlindungan.

Pasal 11
Sebagai penerima dapat digunakan:
a. logam bulat panjang yang terbuat dari tembaga;
b. hiasan-hiasan pada atap, tiang-tiang, cerobong-cerobong dari logam yang disambung baik dengan instalasi penyalur petir;
c. atap-atap dari logam yang disambung secara elektris dengan baik.

Pasal 12
Semua bagian bangunan yang terbuat dari bukan logam yang dipasang menjulang keatas dengan tinggi lebih dari 1 (satu) meter dari atap harus dipasang penerima tersendiri.

Pasal 13
Pilar beton bertulang yang dirancangkan sebagai penghantar penurunan untuk suatu instalasi penyalur petir, pilar beton tersebut harus dipasang menonjol di atas atap dengan mengingat ketentuan-ketentuan penerima, syarat-syarat sambungan dan elektroda bumi.

Pasal 14
(1) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima dengan jenis Franklin dan sangkar Faraday yang berbentuk runcing adalah suatu kerucut yang mempunyai sudut puncak 112°;
(2) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima yang berbentuk penghantar mendatar adalah dua bidang yang saling memotong pada kawat itu dalam sudut 112°;
(3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima jenis lain adalah sesuai dengan ketentuan teknis dari masing-masing penerima;


BAB IV PENGHANTAR PENURUNAN
Pasal 15
(1) Penghantar penurunan harus dipasang sepanjang bubungan (nok) dan atau sudut- sudut bangunan ke tanah sehingga penghantar penurunan merupakan suatu sangkar dari bangunan yang akan dilindungi;
(2) Penghantar penurunan harus dipasang secara sempurna dan harus diperhitungkan pemuaian dan penyusutannya akibat perubahan suhu;
(3) Jarak antara alat-alat pemegang penghantar penurunan satu dengan yang lainnya tidak boleh lebih dari 1,5 meter;
(4) Penghantar penurunan harus dipasang lurus ke bawah dan jika terpaksa dapat men- datar atau melampaui penghalang;
(5) Penghantar penurunan harus dipasang dengan jarak tidak kurang 15 cm dari atap yang dapat terbakar kecuali atap dari logam, genteng atau batu;
(6) Dilarang memasang penghantar penurunan di bawah atap dalam bangunan.

Pasal 16
Semua bubungan (nok) harus dilengkapi dengan penghantar penurunan, dan untuk atap yang datar harus dilengkapi dengan penghantar penurunan pada sekeliling pinggirnya, kecuali persyaratan daerah perlindungan terpenuhi.

Pasal 17
(1) Untuk mengamankan bangunan terhadap loncatan petir dari pohon yang letaknya dekat bangunan dan yang diperkirakan dapat tersambar petir, bagian bangunan yang terdekat dengan pohon tesebut harus dipasang penghantar penurunan;
(2) Penghantar penurunan harus selalu dipasang pada bagian-bagian yang menonjol yang diperkirakan dapat tersambar petir;
(3) Penghantar penurunan harus dipasang sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan mudah dan tidak mudah rusak.

Pasal 18
(1) Penghantar penurunan harus dilindungi terhadap kerusakan-kerusakan mekanik, pengaruh cuaca, kimia (elektrolisa) dan sebagainya.
(2) Jika untuk melindungi penghantar penurunan itu dipergunakan pipa logam, pipa tersebut pada kedua ujungnya harus disambungkan secara sempurna baik elektris maupun mekanis kepada penghantar untuk mengurangi tahanan induksi.

Pasal 19
(1) Instalasi penyalur petir dari suatu bangunan paling sedikit harus mempunyai 2 (dua) buah penghantar penurunan;
(2) Instalasi penyalur petir yang mempunyai lebih dari satu penerima, dari penerima tersebut harus ada paling sedikit 2 (dua) buah penghantar penurunan;
(3) Jarak antara kaki penerima dan titik pencabangan penghantar penurunan paling besar 5 (lima) meter.

Pasal 20
Bahan penghantar penurunan yang dipasang khusus harus digunakan kawat tembaga atau bahan yang sederajat dengan ketentuan:
a. penampang sekurang-kurangnya 50 mm2;
b. setiap bentuk penampang dapat dipakai dengan tebal serendah-rendahnya 2 mm.

Pasal 21
(1) Sebagai penghantar penurunan petir dapat digunakan bagian-bagian dari atap, pilar- pilar, dinding-dinding, atau tulang-tulang baja yang mempunyai massa logam yang baik;
(2) Khusus tulang-tulang baja dari kolom beton harus memenuhi syarat, kecuali:
a. sudah direncanakan sebagai penghantar penurunan dengan memperhatikan syarat- syarat sambungan yang baik dan syarat-syarat lainnya;
b. ujung-ujung tulang baja mencapai garis permukaan air di bawah tanah sepanjang waktu.
(3) Kolom beton yang bertulang baja yang dipakai sebagai penghantar penurunan harus digunakan kolom beton bagian luar.

Pasal 22
Penghantar penurunan dapat digunakan pipa penyalur air hujan dari logam yang dipasang tegak dengan jumlah paling banyak separuh dari jumlah penghantar penurunan yang diisyaratkan dengan sekurang-kurangnya dua buah merupakan penghantar penurunan khusus.

Pasal 23
(1) Jarak minimum antara penghantar penurunan yang satu dengan yang lain diukur sebagai berikut;
a. pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter maximum 20 meter;
b. pada bangunan yang tingginya antara 25-50 meter maka jaraknya (30 - 0,4 x tinggi bangunan);
c. pada bangunan yang tingginya lebih dari 50 meter maximum 10 meter.
(2) Pengukuran jarak dimaksud ayat (1) dilakukan dengan menyusuri keliling bangunan.

Pasal 24
Untuk bangunan-bangunan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak sama tingginya, tiap-tiap bagian harus ditinjau secara tersendiri sesuai Pasal 23 kecuali bagian bangunan yang tingginya kurang dari seperempat tinggi bangunan yang tertinggi, tingginya kurang dari 5 meter dan mempunyai luas dasar kurang dari 50 m2.

Pasal 25
(1) Pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter dan mempunyai bagian-bagian yang menonjol kesamping harus dipasang beberapa penghantar penurunan dan tidak menurut ketentuan Pasal 23;
(2) Pada bangunan yang tingginya lebih dari 25 meter, semua bagian-bagian yang menonjol ke atas harus dilengkapi dengan penghantar penurunan kecuali untuk menara-menara.

Pasal 26
Ruang antara bangunan-bangunan yang menonjol kesamping yang merupakan ruangan yang sempit tidak perlu dipasang penghantar penurunan jika penghantar penurunan yang dipasang pada pinggir atap tidak terputus.

Pasal 27
(1) Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Franklin dan sangkar Faraday, jenis- Jenis bahan untuk penghantar dan pembumian dipilih sesuai dengan daftar pada lampiran II Peraturan Menteri ini;
(2) Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Elektrostatic dan atau jenis lainnya, jenis-jenis bahan untuk penghantar dan pembumian dapat menggunakan bahan sesuai dengan daftar pada lampiran II Peraturan Menteri ini dan atau jenis lainnya sesuai dengan standard yang diakui;
(3) Penentuan bahan dan ukurannya dari ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini, ditentukan berdasar-kan beberapa faktor yaitu ketahanan mekanis, ketahanan terhadap pcngaruh kimia terutama korosi dan ketahanan terhadap penganih lingkungan lain dalam batas standard yang diakui;
(4) Semua penghantar dan pengebumian yang digunakan harus dibuat dan bahan yang memenuhi syarat. sesuai dengan standard yang diakui.


BAB V PEMBUMIAN
Pasal 28
(1) Elektroda bumi harus dibuat dan dipasang sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian sekecil mungkin;
(2) Sebagai elektroda bumi dapat digunakan:
a. tulang-tulang baja dan lantai-lantai kamar di bawah bumi dan tiang pancang yang sesuai dengan keperluan pembumian;
b. pipa-pipa Jogam yang dipasang dalam bumi sccara tegak;
c. pipa-pipa atau penghantar lingkar yang dipasang dalam bumi secana mendatar;
d. pelat logam yang ditanam;
e. bahan logam lainnya dan atau bahan-bahan yang cara pemakaian menurut ke tentuan pabrik pembuatnya.
(3) Elektroda bumi tersebut dalam ayat (2) harus dipasang sampai mencapai air dalam bumi.


Pasal 29
(1) Elektroda bumi dapat dibuat dan:
a. Pipa baja yang disepuh dengan Zn (Zincum) dan ganis tengah sekurang- kurangnya 25 mm dan tebal sckurang-kurangnya 3,25 mm;
b. Batang baja yang disepuh dengan Zn dan ganis tengah sekurang-kurangnya 19 mm;
c. Pita baja yang disepuh dengan Zn yang tebalnya sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm;
(2) Untuk daerah-daerah yang sifat korosifnya lebih besar, elektroda bumi harus di buat dari:
a. Pipa baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah dalam sekurang-kurangnya 50 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3,5 mm;
b. Pipa dari tembaga atau bahan yang sederajat atau pipa yang disepuh dengan tembaga atau bahan yang sederajat dengan ganis tengah dalam sekurang- kurangnya 16 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3 mm;
c. Batang baja yang disepuh dengan Zn dengan garis tengah sekurang-kurang nya 25 mm;
d. Batang tembaga atau bahan yang sederajat atau batang baja yang disalut dengan tembaga atau yang sederajat dengan garis tengah sekurang-kurangnya 16 mm;
e. Pita baja yang disepuh dengan Zn dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm.

Pasal 30
(1) Masing-masing penghantar penurunan dan suatu instalasi penyalur petir yang mempunyai beberapa penghantar penurunan harus disambungkan dengan elektroda kelompok;
(2) Panjang suatu elektroda bumi yang dipasang tegak dalam bumi tidak boleh kurang dan 4 meter, kecuali jika sebagian dan elektroda bumi itu sekurang-kurangnya 2 meter di bawah batas minimum permukaan air dalam bumi;
(3) Tulang-tulang besi dan lantai beton dan gudang di bawah bumi dan tiang pancang dapat digunakan sebagai elektroda bumi yang memenuhi syarat apabila sebagian dan tulang-tulang besi ini berada sekurang-kurangnya 1 (satu) meter di bawah permukaan air dalam bumi;
(4) Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar harus ditanam sckurang-kurangnya 50 cm didalam tanah.

Pasal 3l
Elektroda bumi dan elektroda kelompok harus dapat diukur tahanan pembumiann secara tersendiri maupun kelompok dan pengukuran dilakukan pada musim kemarau.

Pasal 32
Jika keadaan alam sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian tidak dapat tercapai secara teknis, dapat dilakukan cara sebagai berikut:
a. masing-masing pcnghantar penurunan harus disambung dengan penghantar lingkar yang ditanam lengkap dengan beberapa elektroda tegak atau mendatar sehingga jumlah tahanan pembumian bersama memenuhi syarat;
b. membuat suatu bahan lain (bahan kimia dan sebagainya) yang ditanam bersama dengan elektroda schingga tahanan pembumian memenuhi syanat.

Pasal 33
Elektroda bumi yang digunakan untuk pembumian instalasi listrik tidak boleh digunakankan untuk pembumian instalasi penyalur petir.

Pasal 34
(1) Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar dapat dibuat dan pita baja yang disepuh Zn dengan tebal sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sckurang-kurangnya 25 mm atau dan bahan yang sederajat;
(2) Untuk daerah yang sifat korosipnya lebih besar, clektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar harus dibuat dari:
a. Pita baja yang disepuh Zn dengan ukuran lebar sekurang-kurangnya 25 mm dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm atau dan bahan yang sederajat;
b. Tembaga atau bahan yang sederajat, bahan yang disepuh dengan tembaga atau bahan yang sederajat, dengan luas penampang sekurang-kurangnya 50 mm2 dan bila bahan itu berbentuk pita harus mempunyai tebal sekurang-kurangnya 2 mm;
c. Elektroda pelat yang terbuat dan tembaga atau bahan yang sederajat dengan luas satu sisi pcrmukaan sekurang-kurangnya 0,5 m2 dan tebal sekurang-kurangnya 1 mm. Jika bcrbentuk silinder maka luas dinding silinder tersebut harus sekurang- kurangnya 1 m2.


BAB VI MENARA
Pasal 35
(1) Instalasi Penyalur Petir pada bangunan yang menyerupai menara sepenti menara air, silo, mesjid, gereja, dan lain-lain harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Bahaya meloncatnya petir;
b. Hantaran listrik;
c. Penempatan penghantar;
d. Daya tahan terhadap gaya mekanik;
e. Sambungan antara massa logam dan suatu bangunan.
(2) Instalasi penyalur petir dan menana tidak boteh dianggap dapat melindungi bangunan- bangunan yang berada disekitannya.

Pasal 36
(1) Junmlah dan penempatan dan penghantar penununan pada bagian luar dan menara harus diselenggarakan menurut Pasal 23 ayat (1);
(2) Dalm menara dapat pula dipasang suatu penghantar penurunan untuk memudahkan penyambungan dari bagian-bagian logam menara itu.

Pasal 37
Menara yang seluruhnya terbuat dan logam dan dipasang pada pondasi yang tidak dapat menghantar, harus dibumikan sekurang-kurangnya pada dua tempat dan pada jarak yang sama diukur menyusuri keliling menara tersebut.

Pasal 38
Sambungan-sambungan pada instalasi penyalur petir untuk menara harus betul-betul diperhatikan terhadap sifat korosif dan elektrolisa dan harus secara dilas karena kesukaran pemeriksaan dan pemeliharaannya.


BAB VII BANGUNAN YANG MEMPUNYAI ANTENA
Pasal 39
(1) Antena harus dihubungkan dengan instalasi penyalur petir dengan menggunakan penyalur tegangan lebih, kecuali jika antena tersebut berada dalam daerah yang dilindungi dan penernpatan antena itu tidak akan menimbulkan loncatan bunga api;
(2) Jika antena sudah dibumikan secara tersendiri, maka tidak perlu dipasang penyalur tegangan lebih;
(3) Jika antena dipasang pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, antena harus dihubungkan kebumi rnelalui penyalur tegangan lebih.

Pasal 40
(1) Pemasangan penghantar antara antena dan instalasi penyalur petir atau dengan bumi harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga bunga api yang timbul karena aliran besar tidak dapat menimbulkan kerusakan;
(2) Besar penampang dan penghantar antara antena dengan penyalur tegangan lebih penghantar antara tegangan lebih dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda bumi harus sekurang-kurangnya 2,5 mm2;
(3) Pemasangan penghantar antara antena dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda bumi harus dipasang selurus mungkin dan penghantar tersebut dianggap sebagai penghantar penurunan petir.

Pasal 4l
(1) Pada bangunan yang mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan lebih antara antena dengan instalasi penyalur petir harus pada tempat yang tertinggi;
(2) Jika suatu antena dipasang pada tiang logam, tiang tersebut harus dihubungkan dengan instalasi penyalur petir;

Pasal 42
(1) Pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan lebih antara antena dengan elektroda bumi harus dipasang di luar bangunan;
(2) Jika antena dipasang secara tersekat pada suatu tiang besi, tiang besi ini harus dihubungkan dengan bumi.


BAB VIII CEROBONG YANG LEBIH TINGGI DARI 10 M
Pasal 43
(1) Pemasangan instajasj penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lain yang mempunyai ketinggian lebih dari 10 meter harus diperhatikan keadaan seperti di bawah ini:
a. Timbulnya karat akibat adanya gas atau asap terutama untuk bagian atas dan instalasi
b. Banyaknya penghantar penurunan petir;
c. Kekuatan gaya mekanik.
(2) Akibat kesukaran yang timbul pada pemeriksaan dan pemeliharaan, pelaksanaan Pemasangan dan instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lainnya harus diperhitungkan juga terhadap korosi dan elektrolisa yang mungkin terjadi.

Pasal 44
instalasi penyalur petir yang terpasang dicerobong tidak boleh dianggap dapat melidungi bangunan yang berada disekitarnya.

Pasal 45
(1) Penerima petir harus dipasang menjulang sekurang-kurangnya 50 cm di atas pinggir cerobong;
(2) Alat penangkap bunga api dan cincin penutup pinggir bagian puncak cerobong dapat digunakan sebagai penerima petir;
(3) Penerima harus disambung satu dengan lainnya dengan penghantar lingkar yang dipasang pada pinggir atas dan cerobong atau sekeliling pinggir bagian luar, dengan jarak tidak lebih dari 50 cm di bawah puncak cerobong;
(4) Jarak antara penerima satu dengan lainnya diukur sepanjang keliling cerobong paling besar 5 meter. Penerima itu harus dipasang dengan jarak sama satu dengan lainnya pada sekelilingnya;
(5) Batang besi, pipa besi dan cincin besi yang digunakan sebagai penerima harus dilapisi dengan timah atau bahan yang sederajat untuk mencegah korosi.

Pasal 46
(1) Pada tempat-tempat yang terkena bahaya termakan asap, uap atau gas sedapat mungkin dihindarkan adanya sambungan;
(2) Sambungan-sambungan yang terpaksa dilakukan pada tempat-tempat ini, harus dilindungi secara baik terhadap bahaya korosi;
(3) Sambungan antara penerima yang dipasang secara khusus dan penghantar penurunan harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 meter di bawah puncak dari cerobong.

Pasal 47
(1) Instalasi penyalur petir dan cerobong sekurang-kurangnya harus mempunyai 2 (dua) penghantar penurunan petir yang dipasang dengan jarak yang sama satu dengan yang lain;
(2) Tiap-tiap penghantar penurunan harus disambungkan langsung dengan penerima.

Pasal 48
(1) Cerobong dan logam yang berdiri tersendiri dan ditempatkan pada suatu pondasi yang tidak dapat menghantar harus dihubungkan dengan tanah;
(2) Sabuk penguat dari cerobong yang terbuat dari logam harus disambung secara kuat dengan penghantar penurunan.

Pasal 49
(1) Kawat penopang atau penarik untuk cerobong harus ditanahkan ditempat pengikat pada alat penahan di tanah dengan menggunakan elektroda bumi sepanjang 2 meter;
(2) Kawat penopang atau penarik yang dipasang pada bangunan yang dilindungi harus disambungkan dengan instalasi penyalur petir bangunan itu.


BAB IX PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN
Pasal 50
(1) Setiap instalasi penyalur petir dan bagian harus dipelihara agar selalu bekerja dengan tepat, aman dan memenuhi syarat;
(2) Instalasi penyalur petir harus diperiksa dan diuji:
a. Sebelum penyerahan instalasi penyalur petir dan instalatir kepada pemakai;
b. Setelah ada perubahan atau perbaikan suatu bangunan dan atau instalasi penyalur petir;
c. Secara berkala setiap dua tahun sekali;
d. Setelah ada kerusakan akibat sambaran petir;

Pasal 51
(1) Pemeriksaan dan pengujian instalasj penyalur petir dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk;
(2) Pengurus atau pemilik instalasi penyalur petir berkewajiban membantu pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk termasuk penyediaan alat-alat bantu

Pasal 52
Dalam pemeriksaan berkala harus diperhatikan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. elektroda bumi, terutama pada jenis tanah yang dapat menimbulkan karat;
b. kerusakan-kerusakan dan karat dan penerima, penghantar dan sebagainya;
c. sambungan-sambungan;
d. tahanan pembumian dan masing-masing elektroda maupun elektroda kelompok.

Pasal 53
(1) Setiap diadakan pemeriksaan dan pengukuran tahanan pembumian harus dicatat dalam buku khusus tentang hari dan tanggal hasil pemeriksaan;
(2) Kerusakan-kerusakan yang didapati harus segara diperbaiki.

Pasal 54
(1) Tahanan pembumian dan seluruh sistem pembumian tidak boleh lebih dan 5 ohm;
(2) Pengukuran tahanan pembumian dan elektroda bumi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kesalahan-kesalahan yang timbul disebabkan kesalahan polarisasi bisa dihindarkan;
(3) Pemeriksaan pada bagian-bagian dan instalasi yang tidak dapat dilihat atau diperiksa, dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran secara listrik.


BAB X PENGESAHAN
Pasal 55
(1) Setiap perencanaan instalasi penyalur petir harus dilengkapi dengan gambar rencana instalasi;
(2) Gambar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjukkan : gambar bagan tampak atas dan tampak samping yang mencakup gambar detail dan bagian- bagian instalasi beserta keterangan terinci termasuk jenis air terminal, jenis dari atap bangunan, bagian-bagian lain peralatan yang ada di atas atap dan bagian bagian logam pada atau di atas atap.

Pasal 56
(1) Gambar rencana instalasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 55 harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;
(2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 57
(1) Setiap instalasi penyalur petir harus mendapat sertifikat dan Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;
(2) Setiap penerima khusus seperti elektrostatic dan lainnya harus mendapat sertifikat dan Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;
(3) Tata cara untuk mendapat sertifikat sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 58
Dalam hal terdapat perubahan instalasi penyalur petir, maka pengurus atau pemilik harus mengajukan permohonan perubahan instalasi kepada Menteri cq. Kepala Kantor Wilayah yang ditunjuknya dengan melampiri gambar rencana perubahan.

Pasal 59
Pengurus atau pemilik wajib mentaati dan melaksanakan semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


BAB XI KETENTUAN PIDANA
Pasal 60
Pengurus atau pemilik yang melanggar ketentuan Pasal 2, Pasal 6 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan (2), Pasal 58 dan Pasal 59 diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


BAB XII ATURAN PERALIHAN
Pasal 61
Instalasi penyalur petir yang sudah digunakan sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan, Pengurus atau Pemilik wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.


BAB XIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Peraturan Menteri ini rnulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Februari 1989
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DRS. COSMAS BATUBARA



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NOMOR : PER-02/MEN/1992 TENTANG TATA CARA PENUNJUKAN KEWAJIBAN DAN WEWENANG AHLI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


Menimbang:
a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 1 ayat (6) dan Pasal 5 ayat
(2) Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, perlu menetapkan tata cara penunjukan, kewajiban dan wewenang ahli  keselamatan dan kesehatan kerja;
b. bahwa tata cara penunjukan, kewajiban dan wewenang ahli  keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan  Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. PER- 03/Men/1978 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per- 04/Men/1987 sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan sehingga perlu disempurnakan;
c. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat:
1. Undang-undang Uap tahun 1930 (Stb 1930 No. 225);
2. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja;
3. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
4. Peraturan Uap tahun 1930 (Stb 1930 No. 339);
5. Keputusan Presiden RI No. 15 tahun 1984 yo. Keputusan Presiden No. 30 tahun 1987 tentang Susunan Organisasi Departemen;
6. Keputusan Presiden RI No. 64/M tahun 1988 tentang pembentukan Kabinet Pembangunan V;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-04/Men/1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENUNJUKAN, KEWAJIBAN DAN WEWENANG AHLI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tenaga teknik berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang Keselamatan Kerja.
b. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
c. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja melakukan pekerjaan atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha, dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
d. Direktur ialah Direktur sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 2
(1) Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk berwenang menunjuk ahli keselamatan dan kesehatan kerja pada tempat kerja dengan kriteria tertentu dan pada perusahaan yang memberikan jasa dibidang keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. Suatu tempat kerja dimana pengurus mempekerjakan tenaga kerja lebih dari 100 orang;
b. Suatu tempat kerja dimana pengurus mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 100 orang akan tetapi menggunakan bahan, proses, alat dan atau instalasi yang besar risiko bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja;


BAB II TATA CARA PENUNJUKAN
AHLI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Pasal 3
Untuk dapat ditunjuk sebagai ahli keselamatan dan kesehatan kerja harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Berpendidikan Sarjana, Sarjana Muda atau Sederajat dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Sarjana dengan pengalaman kerja sesuai dengan bidang keahliannya sekurang- kurangnya 2 tahun;
2. Sarjana Muda atau Sederajat dengan pengalaman kerja sesuai dengan bidang keahliannya sekurang-kurangnya 4 tahun:
a. Berbadan sehat;
b. Berkelakuan baik;
c. Bekerja penuh di instansi yang bersangkutan;
d. Lulus seleksi dari Tim Penilai.

Pasal 4
(1) Penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja ditetapkan berdasarkan permohonan tertulis dari pengurus atau pimpinan instansi kepada Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus melampirkan:
a. Daftar riwayat hidup;
b. Surat keterangan pengalaman kerja dibidang keselamatan dan kesehatan kerja;
c. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter;
d. Surat keterangan pemeriksaan psikologi yang menyatakan sesuai untuk melaksanakan tugas sebagai ahli keselamatan dan kesehatan kerja;
e. Surat berkelakuan baik dari Polisi;
f. Surat keterangan pernyataan bekerja penuh dari perusahaan/instansi yang bersangkutan;
g. Foto copy ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar terakhir;
h. Sertifikat pendidikan khusus keselamatan dan kesehatan kerja, apabila yang bersangkutan memilikinya.

Pasal 5
(1) Penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja diberikan setelah memperhatikan pertimbangan Tim Penilai;
(2) Tim Penilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk Menteri Tenaga Kerja, dan diketuai oleh Direktur Jenderal yang membidangi keselamatan dan kesehatan kerja yang anggotanya terdiri dari Pejabat Departemen Tenaga Kerja, Badan dan Instansi lain yang dipandang perlu.

Pasal 6
(1) Tim Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mempunyai tugas melakukan penilaian tentang syarat-syarat administrasi dan kemampuan pengetahuan teknis keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Kemampuan pengetahuan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah kemampuan melakukan identifikasi, evaluasi dan pengendalian masalah-masalah keselamatan dan kesehatan kerja ditempat kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 7
(1) Keputusan penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(2) Keputusan penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dimintakan perpanjangan kepada Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan menurut prosedur dalam Pasal 4 ayat (1) dengan melampirkan:
a. Semua lampiran sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (2);
b. Salinan keputusan penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja yang lama;
c. Surat pernyataan dari pengurus atau pimpinan instansi mengenai prestasi ahli keselamatan dan kesehatan kerja yang bersangkutan;
d. Rekapitulasi laporan kegiatan selama menjalankan tugas.
(4) Dalam keputusan penunjukan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Tim Penilai dapat melakukan pengujian kembali tentang kemampuan pengetahuan teknis keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 8
(1) Keputusan penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja tidak berlaku apabila yang bersangkutan:
a. Pindah tugas ke perusahaan atau instansi lain;
b. Mengundurkan diri;
c. Meninggal dunia.
(2) Keputusan penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja dicabut apabila yang bersangkutan terbukti:
a. Tidak memenuhi peraturan perUndang-undangan keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Melakukan kesalahan dan kecerobohan sehingga menimbulkan keadaan berbahaya;
c. Dengan sengaja dan atau karena kehilafannya menyebabkan terbukanya suatu rahasia perusahaan/instansi yang karena jabatannya wajib untuk dirahasiakan.


BAB III KEWAJIBAN DAN WEWENANG AHLI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 9
(1) Ahli keselamatan dan kesehatan kerja berkewajiban:
a. Membantu mengawasi pelaksanaan peraturan perundangan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan bidang yang ditentukan dalam keputusan penunjukannya;
b. Memberikan laporan kepada Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk mengenai hasil pelaksanaan tugas dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk ahli keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja satu kali dalam 3 (tiga) bulan, kecuali ditentukan lain;
2. Untuk ahli keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan yang memberikan jasa dibidang keselamatan dan kesehatan kerja setiap saat setelah selesai melakukan kegiatannya;
c. Merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan/instansi yang didapat berhubungan dengan jabatannya.
(2) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ditujukan kepada:
1. Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat;
2. Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat;
3. Direktur Bina Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Pasal 10
(1) Ahli keselamatan dan kesehatan kerja berwenang untuk:
a. Memasuki tempat kerja sesuai dengan keputusan penunjukan;
b. Meninta keterangan dan atau informasi mengenai pelaksanaan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja ditempat kerja sesuai dengan keputusan penunjukannya;
c. Memonitor, memeriksa, menguji, menganalisa, mengevaluasi dan memberikan persyaratan serta pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja yang meliputi:
1. Keadaan dan fasilitas tenaga kerja.
2. Keadaan mesin-mesin, pesawat, alat-alat kerja, instalasi serta peralatan lainnya.
3. Penanganan bahan-bahan.
4. Proses produksi.
5. Sifat pekerjaan.
6. Cara kerja.
7. Lingkungan kerja.
(2) Perincian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dapat dirubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Ahli keselamatan dan kesehatan kerja yang ditunjuk berdasrkan Undang-undang uap tahun 1930 dan ahli keselamatan dan kesehatan kerja yang bekerja pada perusahaan yang memberikan jasa dibidang keselamatan dan kesehatan kerja dalam memberikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c harus mendapat persetujuan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.


BAB IV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
(1) Ahli keselamatan dan kesehatan kerja yang telah ditunjuk sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu dalam keputusan penunjukannya.
(2) Setelah berakhir jangka waktu penunjukannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dimintakan perpanjangan sesuai prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).


BAB V KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan melaksanakan pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini.

Pasal 13
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Transmigrasi dan Koperasi No. Per. 03/Men/1978 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-04/Men/1987 Pasal 1, huruf a, b dan c, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 13, khususnya yang mengatur Ahli Keselamatan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 14
Peraturan menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 1992
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DRS. COSMAS BATUBARA



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NOMOR : PER.04/MEN/1995 TENTANG PERUSAHAAN JASA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


Menimbang:
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan disemua Sektor kegiatan dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin meningkat untuk memenuhi tingkat produksi yang tinggi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan kecelakaan apabila tidak ditangani secara professional dan berkesinambungan;
b. bahwa dalam rangka mencegah terjadinya bahaya kecelakaan, perlu mengikutsertakan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan masalah pengawasan K3 mulai dari tahap konsultasi, pabrikasi, pemeliharaan, reparasi, penelitian, pemeriksaan, pengujian, Audit K3 dan Pembinaan K3;
c. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 1261/Men/1988 sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, sehingga perlu disempurnakan;
d. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat:
1. Undang-undang Uap Tahun 1930 (Staatsblad tahun 1930 No. 225);
2. Undang-undang No. 3 tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 No. 4);
3. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara tahun 1969 No. 55, Tambahan Lembaran Negara No. 2912);
4. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 No. 1, Tambahan Lembaran Negara No. 2918).
5. Keputusan Presiden RI. No. 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/Men/1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUSAHAAN JASA KESELAMATAN DAN KESE- HATAN KERJA.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara.
b. Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut PJK3 adalah perusahaan yang usahanya dibidang jasa K3 untuk membantu pelaksanaan pemenuhan syarat-syarat K3 sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
c. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah suatu Sistem pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perUndang-undangan dibidang ketenagakerjaan yang merupakan rangkaian kegiatan pemeriksaan dan pengujian guna melakukan tindakan korektif baik secara prefentif maupun represif.
d. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh bahan keterangan tentang suatu keadaan disesuaikan dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku dalam rangka tindakan korektif.
e. Pengujian adalah rangkaian kegiatan penilaian suatu objek secara tehnis atau medis yang mempunyai suatu risiko bahaya dengan cara memberi beban uji atau dengan teknik pengujian lainnya sesuai dengan ketentuan tehnis atau medis yang telah ditetapkan.
f. Pemeriksaan dan pengujian teknik adalah pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan pada keadaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, alat-alat dan peralatan kerja, bahan- bahan, lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja dan proses produksi.
g. Pemeriksaan dan pengujian kesehatan kerja adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap kesehatan tenaga kerja dan lingkungan kerja.
h. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut Ahli K3 adalah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi langsung ditaatinya Undang-undang Keselamatan Kerja.
i. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
j. Pengusaha adalah:
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia, mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia
k. Dokter pemeriksa adalah Dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1970.
l. Direktur adalah Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan Undang-undang Keselamatan Kerja.

Pasal 2
(1) PJK3 dalam melaksanakan kegiatan jasa K3 harus terlebih dahulu memperoleh keputusan penunjukan dari Menteri Tenaga Kerja c.q. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.
(2) Untuk memperoleh keputusan penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Bab II.

Pasal 3
PJK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:
a. Jasa Konsultan K3;
b. Jasa Pabrikasi, Pemeliharaan, Reparasi dan Instalasi Teknik K3;
c. Jasa Pemeriksaan dan Pengujian Teknik;
d. Jasa Pemeriksaan/pengujian dan atau pelayanan kesehatan kerja;
e. JasaAudit K3;
f. Jasa Pembinaan K3.

Pasal 4
(1) Perusahaan Jasa Pemeriksaan dan Pengujian Teknik sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi bidang:
a. Pesawat uap dan bejana tekan;
b. Listrik;
c. Penyalur petir dan peralatan elektronik;
d. Lift;
e. Instalai proteksi kebakaran;
f. Konstruksi bangunan;
g. Pesawat angkat dan angkut dan pesawat tenaga dan priduksi;
h. Pengujian merusak (Destructif Test) dan tidak merusak (Non Destructif Test). (2) Perusahaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi bidang:
a. Kesehatan Tenaga Kerja;
b. Lingkungan Kerja;
(3) Rincian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dapat diubah sesuai dengan perkembangan teknik dan tehnologi yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

Pasal 5
Perusahaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilarang melakukan kegiatan PJK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, b, e dan f.

Pasal 6
Ahli K3 atau dokter pemeriksa yang bekerja pada PJK3 mempunyai tugas melakukan pemeriksaan dan pengujian teknik atau pemeriksaan/pengujian dan atau pelayanan kesehatan kerja sesuai dengan Keputusan penunjukannya.

BAB II SYARAT-SYARAT PENUNJUKAN
Pasal 7
Untuk menjadi PJK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berbadan hukum;
b. Memiliki ijin usaha perusahaan (SIUP);
c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan;
e. Memiliki peralatan yang memadai sesuai usaha jasanya;
f. Memiliki Ahli K3 yang sesuai dengan usaha jasanya yang bekerja penuh pada perusahaan yang bersangkutan;
g. Memiliki tenaga teknis sesuai usaha jasanya sebagaiman dimaksud salam Pasal 3 huruf b.

Pasal 8
(1) Untuk mendapat Keputusan penunjukan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 2, PJK3 harus mengajukan permohonan kepada Menteri Tenaga Kerja c.q Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan diberi materai disertai lampiran:
a. Salinan akte pendirian perusahaan;
b. Salinan Surat Ijin Usaha Perusahaan (SIUP);
c. Surat keterangan domisili perusahaan;
d. Salinan Bukti NPWP perusahaan;
e. Daftar peralatan yang dimiliki sesuai usaha jasanya;
f. Struktur organisasi perusahaan;
g. Salinan wajib lapor ketenagakerjaan;
h. Salinan Keputusan Penunjukan sebagai Ahli K3 atau dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja kecuali untuk perusahaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan f;
i. Riwayat hidup Ahli K3 atau Tenaga Tehnis yang bekerja pada perusahaan yang bersangkutan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus mencantumkan bidang usaha jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang sesuai dengan Ahli K3 yang dimiliki.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tembusannya disampaikan kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.

Pasal 9
(1) Setelah permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diterima, Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja memeriksa kelengkapan syarat-syarat administrasi dan syarat-syarat teknis.
(2) Dalam melaksanakan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat administrasi dan syarat- syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat membentuk Tim Penilai;
(3) Ketua, anggota, hak, kewajiban dan masa kerja Tim Penilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Tenaga Kerja c.q Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterimanya permohonan, menetapkan penolakan atau keputusan penunjukan.
(5) Penolakannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) harus disertai alasan-alasannya.

Pasal 10
(1) Keputusan Penunjukan PJK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun, dan setelah berakhir dapat diperpanjang.
(2) Untuk mendapatkan Keputusan Penunjukan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), PJK3 harus mengajukan surat permohonan perpanjangan dengan melampirkan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan daftar kegiatan selama berlakunya Keputusan Penunjukan.
(3) Pengajuan permohonan perpanjangan PJK3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum berakhir masa berlakunya keputusan penunjukan yang lama.


BAB III HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 11
PJK3 yang telah memdapatkan Keputusan Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) berhak:
a. Melakukan kegiatan sesuai denga Keputusan Penunjukannya.
b. Menerima imbalan jasa sesuai dengan kontrak diluar biaya retribusi pengawasan norma keselamatan dan kesehatan kerja, sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 12
PJK3 yang telah mendapatkan Keputusan penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) berkewajiban:
a. Mentaati semua peraturan perUndang-undangan yang berlaku;
b. Mengutamakan pelayanan dalam rangka pelaksanaan pemenuhan syarat-syarat K3 sesuai dengan Peraturan perUndang-undangan yang berlaku;
c. Membuat kontrak kerja dengan pemberi kerja yang isinya antara lain memuat secara jelas hak dan kewajiban;
d. Memelihara dokumen kegiatan untuk sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.

Pasal 13
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 PJK3 harus melaporkan dan berkonsultasi dengan Kepala Kantor Departemen atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dengan menyerahkan laporan teknis sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 14
PJK3 yang melakukan kegiatan dibidang jasa pemeriksaan dan pengujian teknik atau jasa pemeriksaan/pengujian dan atau pelayanan kesehatan kerja yang mengakibatkan kerusakan atau kerugian pihak lain karena tidak mengikuti prosedur sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku, wajib bertanggung jawab atas kerusakan atau kerugian tersebut.


BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 15
Dalam hal adanya perubahan Ahli K3 atau tenaga teknis, PJK3 harus melaporkan kepada Menteri Tenaga Kerja c.q Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Pasal 16
(1) Penunjukan PJK3 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini untuk mencapai hasil kecelakaan di tempat kerja.
(2) Untuk mencapai nihil kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), PJK3 harus memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pemenuhan syarat-syarat K3 sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
(3) Untuk memenuhi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri Tenaga Kerja dapat menunjang badan usaha tertentu untuk melaksanakan kegiatan jasa K3.


BAB V SANKSI
Pasal 17
PJK3 yang telah ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja c.q Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan, apabila dalam melaksanakan kewajibannya tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dapat dikenakan sanksi Pencabutan Keputusan penunjuk sebagai PJK3.

Pasal 18
PJK3 yang telah mendapatkan Keputusan Penunjukan dari Menteri Tenaga Kerja c.q Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 1261/Men/1988 tetap berlaku sampai berakhirnya Keputusan Penunjukan yang lama.


BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan melakukan pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini.

Pasal 20
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 1261-/Men/1988 tentang syarat-syarat Penunjukan Perusahaan Jasa Pemeriksaan dan Pengujian Teknik Pesawat Uap dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Oktober 1995
MENTERI TENAGA KERJA
ttd.
ABDUL LATIEF



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


Menimbang :
a. bahwa terjadinya kecelakaan di tempat kerja sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia dan sebagian kecil disebabkan oleh faktor teknis.
b. bahwa untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di tempat kerja, serta sumber produksi, proses produksi dan lingkungan kerja dalam keadaan aman, maka perlu penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
c. bahwa dengan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat mengantisipasi hambatan teknis dalam era globalisasi perdagangan;
d. bahwa untuk Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat :
1. Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
3. Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1918).

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif;
2. Tempat kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia;
3. Audit adalah pemeriksaan secara sistematik dan independen, untuk menentukan suatu kegiatan dan hasil-hasil yang berkaitan sesuai dengan pengaturan yang direncanakan, dan dilaksanakan secara efektif dan cocok untuk mencapai kebijakan dan tujuan perusahaan;
4. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari laba atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara;
5. Direktur ialah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970;
6. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai teknik berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri;
7. Pengusaha adalah:
a. Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
b. Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
c. Orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada huruf a dan b, jikalau yang diwakili berkedudukan di luar Indonesia.
8. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung tempat kerja atau lapangan yang berdiri sendiri;
9. Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;
10. Laporan Audit adalah hasil audit yang dilakukan oleh Badan Audit yang berisi fakta yang ditemukan pada saat pelaksanaan audit di tempat kerja sebagai dasar untuk menerbitkan serifikat pencapaian kinerja Sistem Manajemen K3;
11. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.


BAB II TUJUAN DAN SASARAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 2
Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.


BAB III PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 3
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3.
(2) Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan.

Pasal 4
(1) Dalam penerapan Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Perusahaan wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Menetapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dan menjamin komitmen terhadap penerapan Sistem Manajemen K3;
b. Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan keselamatan dan kesehatan kerja;
c. Menerapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan untuk mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja;
d. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
e. Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan Sistem Manajemen K3 secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Pedoman penerapan Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud ayat (1) sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri ini.


BAB IV AUDIT SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 5
(1) Untuk pembuktian penerapan Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud Pasal 4 perusahaan dapat melakukan audit melalui badan audit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Audit Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi unsur- unsur sebagai berikut:
a. Pembangunan dan pemeliharaan komitmen;
b. Strategi pendokumentasian;
c. Peninjauan ulang desain dan kontrak;
d. Pengendalian dokumen;
e. Pembelian;
f. Keamanan bekerja berdasarkan Sistem Manajemen K3;
g. Standar Pemantauan;
h. Pelaporan dan perbaikan kekurangan;
i. Pengelolaan material dan pemindahannya;
j. Pengumpulan dan penggunaan data;
k. Pemeriksaan sistem manajemen;
l. Pengembangan keterampilan dan kemampuan;
(3) Perubahan atau penambahan sesuai perkembangan unsur-unsur sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur oleh Menteri.
(4) Pedoman teknis audit sistem manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini.


BAB V KEWENANGAN DIREKTUR
Pasal 6
Direktur berwenang menetapkan perusahaan yang dinilai wajib untuk diaudit ber- dasarkan pertimbangan tingkat risiko bahaya.

BAB VI MEKANISME PELAKSANAAN AUDIT
Pasal 7
(1) Audit Sitem Manajemen K3 dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali dalam tiga tahun.
(2) Untuk pelaksanaan audit, Badan Audit harus:
a. membuat rencana tahunan audit;
b. menyampaikan rencana tahunan audit kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, pengurus tempat kerja yang akan diaudit dan Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat;
c. Mengadakan koordinasi dengan Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat;
(3) Pengurus tempat kerja yang akan diaudit wajib menyediakan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pelaksanaan audit sistem manajemen K3.

Pasal 8
(1) Badan Audit wajib menyampaikan laporan audit lengkap kepada Direktur dengan tembusan yang disampaikan kepada pengurus tempat kerja yang diaudit.
(2) Laporan audit lengkap sebagaimana dimaksud ayat (1) menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran III Peraturan Menteri ini.
(3) Setelah menerima laporan Audit Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud ayat
(2), Direktur melakukan evaluasi dan penilaian.
(4) Berdasarkan hasil evaluasi dan penilaian tersebut pada ayat (3) Direktur melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Memberikan sertifikat dan bendera penghargaan sesuai dengan tingkat pencapaiannya; atau
b. Menginstruksikan kepada Pegawai Pengawas untuk mengambil tindakan apabila berdasarkan hasil audit ditemukan adanya pelanggaran atas peraturan perundangan.


BAB VII SERTIFIKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 9
(1) Sertifikat sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) huruf a, ditanda tangani oleh Menteri dan berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(2) Jenis sertifikat dan bendera penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagaimana tercantum dalam lampiran IV Peraturan Menteri ini.


BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 10
Pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan Sistem Manajemen K3 dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


BAB IX PEMBIAYAAN
Pasal 11
Biaya pelaksanaan audit Sistem Manajemen K3 dibebankan kepada perusahaan yang diaudit.


BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
Drs. ABDUL LATIEF


LAMPIRAN I : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Nomor : PER.05/MEN/ 1996.

Tanggal : 12 Desember 1996.

PEDOMAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
1. KOMITMEN DAN KEBIJAKAN
1.1 Kepemimpinan dan Komitmen
Pengurus harus menunjukkan kepemimpinan dan komitmen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan menyediakan sumberdaya yang memadai. Pengusaha dan pengurus perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja yang diwujudkan dalam:
a. Menempatkan organisasi keselamatan dan kesehatan kerja pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan.
b. Menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-sarana lain yang diperlukan dibidang keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Menetapkan personel yang mempunyai tanggung jawab, wewenang dan kewajiban yang jelas dalam penanganan keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Perencanaan keselamatan dan kesehatan kerja yang terkoordinasi.
e. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Komitmen dan kebijakan tersebut pada butir a sampai dengan e diadakan peninjauan ulang secara teratur. Setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja sehingga penerapan Sistem Manajemen K3 berhasil diterapkan dan dikembangkan. Setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada ditempat kerja harus berperan serta dalam menjaga dan mengendalikan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.

1.2 Tinjauan Awal Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Initial Review)
Peninjauan awal kondisi keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan saat ini dilakukan dengan:
a. Identifikasi kondisi yang ada dibandingkan dengan ketentuan pedoman ini. b. Identifikasi sumber bahaya yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan.
c. Penilaian tingkat pengetahuan, pemenuhan peraturan perundangan dan standar keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Membandingkan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dengan perusahaan dan sektor lain yang lebih baik.
e. Meninjau sebab dan akibat kejadian yang membahayakan, kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
f. Menilai efisiensi dan efektifitas sumberdaya yang disediakan.
Hasil peninjauan awal keselamatan dan kesehatan kerja merupakan bahan masukan dalam perencanaan dan pengembangan Sistem Manajemen K3.

1.3 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh pengusaha dan atau pengurus yang memuat keseluruhan visi dan tujuan perusahaan, komitmen dan tekad melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan atau operasional. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dibuat melalui proses konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja yang kemudian harus dijelaskan dan disebarluaskan kepada semua tenaga kerja, pemasok dan pelanggan. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja bersifat dinamik dan selalu ditinjau ulang dalam rangka peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.

2. PERENCANAAN
Perusahaan harus membuat perencanaan yang efektif guna mencapai keberhasilan penerapan Sistem Manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan harus memuat tujuan, sasaran dan indikator kinerja yang diterapkan dengan mempertimbangkan identifikasi sumber bahaya penilaian dan pengendalian risiko sesuai dengan persyaratan perundangan yang berlaku serta hasil pelaksanaan tinjauan awal terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

2.1 Perencanaan Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko
Identilikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko dari kegiatan produk, barang dan jasa harus dipertimbangkan pada saat merumuskan rencana untuk memenuhi kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk itu harus ditetapkan dan dipelihara prosedurnya.

2.2 Peraturan Perundangan dan Persyaratan lainnya
Perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk inventarisasi, identifikasi dan pemahaman peraturan perundangan dan persyaratan lainnya yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan kegiatan perusahaan yang bersangkutan. Pengurus harus menjelaskan peraturan perundangan dan persyaratan lainnya kepada setiap tenaga kerja.

2.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan dan sasaran kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja yang ditetapkan oleh perusahaan sekurang-kurangnya harus memenuhi kualifikasi:
a. Dapat diukur.
b. Satuan / Indikator pengukuran. c. Sasaran Pencapaian
d. Jangka waktu pencapaian.
Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja harus dikonsultasikan dengan wakil tenaga kerja, Ahli K3, P2K3 dan pihak-pihak lain yang terkait. Tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan ditinjau kembali secara teratur sesuai dengan perkembangan.

2.4 Indikator Kinerja
Dalam menetapkan tujuan dan sasaran kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan harus menggunakan indikator kinerja yang dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja keselamatan dan kesahatan kerja yang sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian Sistem Manajemen K3.

2.5 Perencanaan Awal dan Perencanaan Kegiatan yang Sedang Berlangsung.
Penerapan awal Sistem Manajemen K3 yang berhasil memerlukan rencana yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan, dan dengan jelas menetapkan tujuan serta sasaran Sistem Manajemen K3 yang dapat dicapai dengan:
a. Menetapkan sistem pertanggungjawaban dalam pencapaian tujuan dan sasaran sesuai dengan fungsi dan tingkat manajemen perusahaan yang bersangkutan.
b. Menetapkan sarana dan jangka waktu untuk pencapaian tujuan dan sasaran.

3. PENERAPAN
Dalam mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan harus menunjuk personel yang mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan sistem yang diterapkan.

3.1 Jaminan Kemampuan
3.1.1 Sumber Daya Manusia, Sarana dan Dana
Perusahaan harus menyediakan personel yang memiliki kualifikasi, sarana dan dana yang memadai sesuai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan.
Dalam menyediakan sumber daya tersebut perusahaan harus membuat prosedur yang dapat memantau manfaat yang akan didapat maupun biaya yang harus dikeluarkan.
Dalam penerapan Sistem Manajemen K3 yang efektif perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyediakan sumber daya yang memadai sesuai dengan ukuran dan kebutuhan.
b. Melakukan identifikasi kompetensi kerja yang diperlukan pada setiap tingkatan manajemen perusahaan dan menyelenggarakan setiap pelatihan yang dibutuhkan.
c. Membuat ketentuan untuk mengkomunikasikan informasi keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif.
d. Membuat peraturan untuk mendapatkan pendapat dan saran dari para ahli.
e. Membuat peraturan untuk pelaksanaan konsultasi dan keterlibatan tenaga kerja secara aktif.

3.1.2 Integrasi.
Perusahaan dapat mengintegrasikan Sistem Manajemen K3 kedalam sistem manajemen perusahaan yang ada. Dalam hal pengintegrasian tersebut terdapat pertentangan dengan tujuan dan prioritas perusahaan, maka:
a. Tujuan dan prioritas Sistem Manajemen K3 harus diutamakan.
b. Penyatuan Sistem Manajemen K3 dengan sistem manajemen perusahaan dilakukan secara selaras dan seimbang.

3.1.3 Tanggung Jawah dan Tanggung Gugat
Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja akan efektif apabila semua pihak dalam perusahaan didorong untuk berperan serta dalam penerapan dan pengembangan Sistem Manajemen K3, serta memiliki budaya perusahaan yang mendukung dan memberikan kontribusi bagi Sistem Manajemen K3. Perusahaan harus:
a. Menentukan, menunjuk, mendokumentasikan dan mengkomunikasikan tanggung jawab dan tanggung gugat keselamatan dan kesehatan kerja dan wewenang untuk bertindak dan menjelaskan hubungan pelaporan untuk semua tingkatan manajemen, tenaga kerja, kontraktor dan subkontraktor dan pengunjung.
b. Mempunyai prosedur untuk memantau dan mengkomunikasikan setiap perubahan tanggung jawab dan tanggung gugat yang berpengaruh terhadap sistem dan program keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Dapat memberikan reaksi secara cepat dan tepat terhadap kondisi yang menyimpang atau kejadian-kejadian lainnya.
Tanggung jawab pengurus terhadap keselamatan dan kesehatan kerja adalah:
a. Pimpinan yang ditunjuk untuk bertanggung jawab harus memastikan bahwa Sistem Manajemen K3 telah diterapkan dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan oleh setiap lokasi dan jenis kegiatan dalam perusahaan.
b. Pengurus harus mengenali kemampuan tenaga kerja sebagai sumber daya yang berharga yang dapat ditunjuk untuk menerima pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dalam menerapkan dan mengembangkan Sistem Manajemen K3.

3.1.4 Konsultasi, Motivasi, dan Kesadaran
Pengurus harus menunjukkan komitmennya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja melalui konsultasi dan dengan melibatkan tenaga kerja maupun pihak lain yang terkait didalam penerapan, pengembangan dan pemeliharaan Sistem Manajemen K3, sehingga semua pihak merasa ikut memiliki dan merasakan hasilnya. Tenaga kerja harus memahami serta mendukung tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3, dan perlu disadarkan terhadap bahaya fisik, kimia, ergonomik, radiasi, biologis, dan psikologis yang mungkin dapat menciderai dan melukai tenaga kerja pada saat bekerja serta harus memahami sumber bahaya tersebut sehingga dapat mengenali dan mencegah tindakan yang mengarah terjadinya insiden.

3.1.5 Pelatihan dan Kompetensi Kerja
Penerapan dan pengembangan Sistem Manajemen K3 yang efektif ditentukan oleh kompetensi kerja dan pelatihan dari setiap tenaga kerja di perusahaan. Pelatihan merupakan salah satu alat penting dalam menjamin kompetensi kerja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja.
Prosedur untuk melakukan identifikasi standar kompetensi kerja dan pene- rapannya melalui program pelatihan harus tersedia.
Standar kompetensi kerja keselamatan dan kesehatan kerja dapat dikembangkan dengan:
a. Menggunakan standar kompetensi kerja yang ada. b. Memeriksa uraian tugas dan jabatan.
c. Menganalisis tugas kerja.
d. Menganalisis hasil inspeksi dan audit.
e. Meninjau ulang laporan insiden.
Setelah penilaian kemampuan gambaran kompetensi kerja yang dibutuhkan dilaksanakan, program pelatihan harus dikembangkan sesuai dengan hasil penilaiannya. Prosedur pendokumentasian pelatihan yang telah dilaksanakan dan dievaluasi efektifitasnya harus ditetapkan. Kompetensi kerja harus diintegrasikan ke dalam rangkaian kegiatan perusahaan mulai dari penerimaan, seleksi dan penilaian kinerja tenaga kerja serta pelatihan.

3.2 Kegiatan Pendukung
3.2.1 Komunikasi
Komunikasi dua arah yang efektif dan pelaporan rutin merupakan sumber penting dalam penerapan Sistem Manajemen K3. Penyediaan informasi yang sesuai bagi tenaga kerja dan semua pihak yang terkait dapat digunakan untuk memotivasi dan mendorong penerimaan serta pemahaman umum dalam upaya perusahaan untuk meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
Perusahaan harus mempunyai prosedur untuk menjamin bahwa informasi keselamatan dan kesehatan kerja terbaru dikomunikasikan ke semua pihak dalam perusahaan. Ketentuan dalam prosedur tersebut harus dapat menjamin pemenuhan kebutuhan untuk:
a. Mengkomunikasikan hasil dan sistem manajemen, pemantauan, audit dan tinjauan ulang manajemen pada semua pihak dalam perusahaan yang bertanggung jawab dan memiliki andil dalam kinerja perusahaan.
b. Melakukan identifikasi dan menerima informasi keselamatan dan kesehatan kerja yang terkait dari luar perusahaan.
c. Menjamin bahwa informasi yang terkait dikomunikasikan kepada orang- orang diluar perusahaan yang membutuhkannya.

3.2.2 Pelaporan
Prosedur pelaporan informasi yang terkait dan tepat waktu harus ditetapkan untuk menjamin bahwa Sistem Manajemen K3 dipantau dan kinerjanya ditingkatkan.
Prosedur pelaporan internal perlu ditetapkan untuk menangani:
a. Pelaporan terjadinya insiden. b. Pelaporan ketidaksesuaian.
c. Pelaporan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja. d. Pelaporan identifikasi sumber bahaya.
Prosedur pelaporan eksternal perlu ditetapkan untuk menangani:
a. Pelaporan yang dipersyaratkan peraturan perundangan. b. Pelaporan kepada pemegang saham.

3.2.3 Pendokumentasian
Pendokumentasian merupakan unsur utama dari setiap sistem manajemen dan harus dibuat sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Proses dan prosedur kegiatan perusahaan harus ditentukan dan di dokumentasikan serta diperbarui apabila diperlukan. Perusahaan harus dengan jelas menentukan jenis dokumen dan pengendaliannya yang efektif.
Pendokumentasian Sistem Manajemen K3 mendukung kesadaran tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja dan evaluasi terhadap sistem dan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja. Bobot dan mutu pendokumentasian ditentukan oleh kompleksitas kegiatan perusahaan. Apabila unsur Sistem Manajemen K3 terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan secara menyeluruh, maka pendokumentasian Sistem Manajemen K3 harus diintegrasikan dalam keseluruhan dokumentasi yang ada.
Perusahaan harus mengatur dan memelihara kumpulan ringkasan pen- dokumentasian untuk:
a. Menyatukan secara sistematik kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Menguraikan sarana pencapaian tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Mendokumentasikan peranan, tanggung jawab dan prosedur.
d. Memberikan arahan mengenai dokumen yang terkait dan menguraikan unsur-unsur lain dari sistem manajemen perusahaan.
e. Menunjukkan bahwa unsur-unsur Sistem Manajemen K3 yang sesuai untuk perusahaan telah diterapkan.

3.2.4 Pengendalian Dokumen
Perusahaan harus menjamin bahwa:
a. Dokumen dapat diidentifikasi sesuai dengan uraian tugas dan tanggung jawab di perusahaan.
b. Dokumen ditinjau ulang secara berkala dan, jika diperlukan, dapat direvisi.
c. Dokumen sebelum diterbitkan harus lebih dahulu disetujui oleh personel yang berwenang.
d. Dokumen versi terbaru harus tersedia di tempat kerja yang dianggap perlu.
e. Semua dokumen yang telah usang harus segera disingkirkan.
f. Dokumen mudah ditemukan, bermanfaat dan mudah dipahami.

3.2.5 Pencatatan dan Manajemen Informasi
Pencatatan merupakan sarana bagi perusahaan untuk menunjukkan kesesuaian penerapan Sistem Manajemen K3 dan harus mencakup:
a. Persyaratan ekstemal/peraturan perundangan dan internal/indikator kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Izin kerja.
c. Risiko dan sumber bahaya yang meliputi keadaan mesin-mesin, pesawat- pesawat, alat kerja, serta peralatan lainnya, bahan-bahan dan sebagainya, lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja dan proses produksi.
d. Kegiatan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. e. Kegiatan inspeksi, kalibrasi dan pemeliharaan.
f. Pemantauan data.
g. Rincian insiden, keluhan dan tindak lanjut. h. Identifikasi produk termasuk komposisinya.
i. Informasi mengenai pemasok dan kontraktor.
j. Audit dan peninjauan ulang Sistem Manajemen K3.

3.3 Identifikasi Sumber Bahaya, Penilaian dan Pengendalian risiko
Sumber bahaya yang teridentifikasi harus dinilai untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Selanjutnya dilakukan pengendalian untuk :

3.3.1 Identifikasi Sumber Bahaya
Identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya.
b. Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi.

3.3.2 Penilaian Risiko
Penilaian risiko adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

3.3.3 Tindakan Pengendalian
Perusahaan harus merencanakan manajemen dan pengendalian kegiatan- kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan mendokumentasikan dan menerapkan kebijakan standar bagi tempat kerja, perancangan pabrik dan bahan, prosedur dan instruksi kerja untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan produk barang dan jasa.
Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui metode:
a. Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, substitusi, isolasi, ventilasi, higiene dan sanitasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus, insentif, penghargaan dan motivasi diri.
d. Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan etiologi. e. Penegakan hukum.

3.3.4 Perancangan (Design) dan Rekayasa
Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dalam proses rekayasa harus dimulai sejak tahap perancangan dan perencanaan.
Setiap tahap dari siklus perancangan meliputi pengembangan, verifikasi tinjauan ulang, validasi dan penyesuaian harus dikaitkan dengan identifikasi sumber bahaya, prosedur penilaian dan pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Personel yang memiliki kompetensi kerja harus ditentukan dan diberi wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk melakukan verifikasi persyaratan Sistem Manajemen K3.

3.3.5 Pengendalian Administratif
Prosedur dan instruksi kerja yang terdokumentasi pada saat dibuat harus mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan kerja pada setiap tahapan. Rancangan dan tinjauan ulang prosedur hanya dapat dibuat oleh personel yang memiliki kompetensi kerja dengan melibatkan para pelaksana. Personel harus dilatih agar memiliki kompetensi kerja dalam menggunakan prosedur.
Prosedur harus ditinjau ulang secara berkala terutama jika terjadi perubahan peralatan, proses atau bahan baku yang digunakan.

3.3.6 Tinjauan Ulang Kontrak
Pengadaan barang dan jasa melalui kontrak harus ditinjau ulang untuk menjamin kemampuan perusahaan dalam memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang ditentukan.

3.3.7 Pembelian
Sistem pembelian barang dan jasa termasuk didalamnya prosedur pemeliharaan barang dan jasa harus terintegrasi dalam strategi penanganan pencegahan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sistem pembelian harus menjamin agar produk barang dan jasa serta mitra kerja perusahaan memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pada saat barang dan jasa diterima di tempat kerja, perusahaan harus menjelaskan kepada semua pihak yang akan menggunakan barang dan jasa tersebut mengenai identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

3.3.8 Prosedur Menghadapi Keadaan Darurat atau Bencana
Perusahaan harus memiliki prosedur untuk menghadapi keadaan darurat atau bencana, yang diuji secara berkala untuk mengetahui keandalan pada saat kejadian yang sebenarnya.
Pengujian prosedur secara berkala tersebut dilakukan oleh personel yang memiliki kompetensi kerja, dan untuk instalasi yang mempunyai bahaya besar harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang.

3.3.9 Prosedur Menghadapi Insiden
Untuk mengurangi pengaruh yang mungkin timbul akibat insiden, perusahaan harus memilki prosedur yang meliputi:
a. Penyediaan fasilitas P3K dengan jumlah yang cukup dan sesuai sampai mendapatkan pertolongan medik.
b. Proses perawatan lanjutan.

3.3.10 Prosedur Rencana Pemulihan Keadaan Darurat
Perusahaan harus membuat prosedur rencana pemulihan keadaan darurat untuk secara cepat mengembalikan pada kondisi yang normal dan membantu pemulihan tenaga kerja yang mengalami trauma.

4. PENGUKURAN DAN EVALUASI
Perusahaan harus memiliki sistem untuk mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja Sistem Manajemen K3 dan hasilnya harus dianalisis guna menentukan keberhasilan atau untuk melakukan identifikasi tindakan perbaikan.

4.1 Inspeksi dan Pengujian
Perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur inspeksi, pengujian dan pemantauan yang berkaitan dengan tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja. Frukuensi inspeksi dan pengujian harus sesuai dengan obyeknya.
Prosedur inspeksi, pengujian dan pemantauan secara umum meliputi:
a. Personel yang terlibat harus mempunyai pengalaman dan keahlian yang cukup.
b. Catatan inspeksi, pengujian dan pemantauan yang sedang berlangsung harus dipelihara dan tersedia bagi manajemen, tenaga kerja dan kontraktor kerja yang terkait.
c. Peralatan dan metode pengujian yang memadai harus digunakan untuk menjamin telah dipenuhinya standar keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Tindakan perbaikan harus dilakukan segera pada saat ditemukan ketidaksesuaian terhadap persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja dari hasil inspeksi, pengujian dan pemantauan.
e. Penyelidikan yang memadai harus dilaksanakan untuk menemukan inti permasalahan dari suatu insiden.
f. Hasil temuan harus dianalisis dan ditinjau ulang.

4.2 Audit Sistem Manajemen K3
Audit Sistem Manajemen K3 harus dilakukan secara berkala untuk mengetahui keefektifan penerapan Sistem Manajemen K3. Audit harus dilaksanakan secara sistematik dan independen oleh personel yang memiliki kompetensi kerja dengan menggunakan metodologi yang sudah ditetapkan. Frekuensi audit harus ditentukan berdasarkan tinjauan ulang hasil audit sebelumnya dan bukti sumber bahaya yang didapatkan ditempat kerja. Hasil audit harus digunakan oleh pengurus dalam proses tinjauan ulang manajemen.

4.3 Tindakan Perbaikan dan Pencegahan
Semua hasil temuan dari pelaksanaan pemantauan, audit dan tinjauan ulaug Sistem Manajemen K3 harus didokumentasikan dan digunakan untuk identifikasi tindakan perbaikan dan pencegahan serta pihak manajemen menjamin pelaksanaannya secara sistematik dan efektif.

5. TINJAUAN ULANG DAN PENINGKATAN OLEH PIHAK MANAJEMEN
Pimpinan yang ditunjuk harus melaksanakan tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 secara berkala untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan yang berkesinambungan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan keselamatan dan kesehatan kerja.
Ruang lingkup tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus dapat mengatasi implikasi keselamatan dan kesehatan kerja terhadap seluruh kegiatan, produk barang dan jasa termasuk dampaknya terhadap kinerja perusahaan.
Tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus meliputi:
a. Evaluasi terhadap penerapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Tujuan, sasaran dan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Hasil temuan audit Sistem Manajemen K3.
d. Evaluasi efektifitas penerapan Sistem Manajemen K3 dan kebutuhan untuk mengubah Sistem Manajemen K3 sesuai dengan:
1) Perubahan peraturan perundangan.
2) Tuntutan dari pihak yang tekait dan pasar.
3) Perubahan produk dan kegiatan perusahaan.
4) Perubahan struktur organisasi perusahaan.
5) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk epidemologi.
6) Pengalaman yang didapat dari insiden keselamatan dan kesehatan kerja.
7) Pelaporan.
8) Umpan balik khususnya dari tenaga kerja.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
Drs. ABDUL LATIEF


LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Nomor : PER.05/MEN/ 1996.

Tanggal : 12 Desember 1996.

PEDOMAN TEKNIS AUDIT SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1. PEMBANGUNAN DAN PEMELIHARAAN KOMITMEN
1.1 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
1.1.1 Adanya kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja yang tertulis, bertanggal dan secara jelas menyatakan tujuan-tujuan keselamatan dan kesehatan kerja dan komitmen perusahaan dalam memperbaiki kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
1.1.2 Kebijakan yang ditandatangani oleh pengusaha dan atau pengurus.
1.1.3 Kebijakan disusun oleh pengusaha dan atau pengurus setelah melalui proses konsultasi dengan wakil tenaga kerja.
1.1.4 Perusahaan mengkomunikasikan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja kepada seluruh tenaga kerja, tamu, kontraktor, pelanggan dan pemasok dengan tatacara yang tepat.
1.1.5 Apabila diperlukan, kebijakan khusus dibuat untuk masalah keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat khusus.
1.1.6 Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dan kebijakan khusus lainnya ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut mencerminkan dengan perubahan yang terjadi dalam peraturan perundangan.

1.2 Tanggung Jawab dan Wewenang Untuk Bertindak
1.2.1 Tanggung jawab dan wewenang untuk mengambil tindakan dan melaporkan kepada semua personil yang terkait dalam perusahaan yang telah ditetapkan harus disebarluaskan dan didokumentasikan;
1.2.2 Penunjukkan penanggungjawab keselamatan dan kesehatan kerja harus sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
1.2.3 Pimpinan unit kerja dalam suatu perusahaan bertanggung jawab atas kinerja keselamatan dan kesehatan kerja pada unit kerjanya.
1.2.4 Perusahaan mendapatkan saran-saran dari ahli bidang keselamatan dan kesehatan kerja yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan.
1.2.5 Petugas yang bertanggung jawab menangani keadaan darurat mendapatkan latihan.
1.2.6 Kinerja keselamatan dan kesehatan kerja dimasukkan dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan lain yang setingkat.
1.2.7 Pimpinan unit kerja diberi informasi tentang tanggung jawab mereka terhadap tenaga kerja kontraktor dan orang lain yang memasuki tempat kerja.
1.2.8 Tanggung jawab untuk memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru mengenai peraturan perundangan keselamatan dan kesehatan kerja yang telah ditetapkan.
1.2.9 Pengurus bertanggung jawab secara penuh untuk menjamin sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan.

1.3 Tinjauan Ulang dan Evaluasi
1.3.1 Hasil peninjauan ulang dicatat dan didokumentasikan.
1.3.2 Apabila memungkinkan, hasil tinjauan ulang dimasukkan kedalam perencanaan tindakan manajemen.
1.3.3 Pengurus harus meninjau ulang pelaksanaan Sistem Manajemen K3 secara berkala untuk menilai kesesuaian dan efektifitas Sistem Manajemen K3.
1.4 Keterlibatan dan Konsultasi dengan Tenaga Kerja
1.4.1 Keterlibatan tenaga kerja dan penjadualan konsultasi dengan wakil perusahaan yang ditunjuk didokumentasikan.
1.4.2 Dibuatkan prosedur yang memudahkan konsultasi mengenai perubahan- perubahan yang mempunyai implikasi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
1.4.3 Sesuai dengan peraturan perundangan perusahaan telah membentuk P2K3.
1.4.4 Ketua P2K3 adalah pengurus atau pimpinan puncak.
1.4.5 Sekretaris P2K3 adalah Ahli K3 sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
1.4.6 P2K3 menitikberatkan kegiatan pada pengembangan kebijakan dan prosedur untuk mengendalikan risiko.
1.4.7 P2K3 mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya disebarluaskan di tempat kerja.
1.4.8 P2K3 melaporkan kegiatannya secara teratur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
1.4.9 Apabila diperlukan, dibentuk kelompok-kelompok kerja dan dipilih dari wakil-wakil tenaga kerja yang ditunjuk sebagai penanggungjawab keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerjanya dan kepadanya diberikan pelatihan yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
1.4.10 Apabila kelompok-kelompok kerja telah terbentuk, maka tenaga kerja diberi informasi tentang struktur kelompok kerja tersebut.

2. STRATEGI PENDOKUMENTASIAN
2.1 Perencanaan Rencana Strategi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2.1.1 Petugas yang berkompeten telah mengidentifikasi dan menilai potensi bahaya dan risiko keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan dengan operasi.
2.1.2 Perencanaan strategi keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan telah ditetapkan dan diterapkan untuk mengendalikan potensi bahaya dan risiko keselamatan dan kesehatan kerja yang telah teridentifikasi, yang berhubungan dengan operasi.
2.1.3 Rencana khusus yang berkaitan dengan produk, proses, proyek atau tempat kerja tertentu telah dibuat.
2.1.4 Rencana didasarkan pada potensi bahaya dan insiden, serta catatan keselamatan dan kesehatan kerja sebelumnya.
2.1.5 Rencana tersebut menetapkan tujuan keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan yang dapat diukur, menetapkan prioritas dan menyediakan sumber daya.

2.2 Manual Sistem Manajemen K3
2.2.1 Manual Sistem Manajemen K3 meliputi kebijakan, tujuan, rencana, dan prosedur keselamatan dan kesehatan kerja untuk semua tingkatan dalam perusahaan.
2.2.2 Apabila diperlukan manual khusus yang berkaitan dengan produk, proses, atau tempat kerja tertentu telah dibuat.
2.2.3 Manual Sistem Manajemen K3 mudah didapat oleh semua personil dalam perusahaan.

2.3 Penyebarluasan Informasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2.3.1 Informasi tentang kegiatan dan masalah keselamatan dan kesehatan kerja disebarkan secara sistematis kepada seluruh tenaga kerja perusahaan.
2.3.2 Catatan-catatan informasi keselamatan dan kesehatan kerja dipelihara dan disediakan untuk seluruh tenaga kerja dan orang lain yang datang ke tempat kerja.

3. PENINJAUAN ULANG PERANCANGAN (DESIGN) DAN KONTRAK
3.1 Pengendalian Perancangan
3.1.1 Prosedur yang terdokumentasi mempertimbangkan identifikasi bahaya dan penilaian risiko yang dilakukan pada tahap melakukan perancangan atau perancangan ulang.
3.1.2 Prosedur dan instruksi kerja untuk penggunaan produk, pengoperasian sarana produksi dan proses yang aman disusun selama tahap perancangan.
3.1.3 Petugas yang kompeten telah ditentukan untuk melakukan verifikasi bahwa perancangan memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang ditetapkan.
3.1.4 Semua perubahan dan modifikasi perancangan yang mempunyai implikasi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja diidentifikasikan, didokumentasikan, ditinjau ulang dan disetujui oleh petugas yang berwenang sebelum pelaksanaan.

3.2 Peninjauan Ulang Kontrak
3.2.1 Prosedur yang terdokumentasikan harus mampu mengidentifikasi dan menilai potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan dan masyarakat, dimana prosedur tersebut digunakan pada saat memasok barang dan jasa dalam suatu kontrak.
3.2.2 Identifikasi bahaya dan penilaian risiko dilakukan pada tahap tinjauan ulang kontrak oleh personil yang berkompeten.
3.2.3 Kontrak-kontrak ditinjau ulang untuk menjamin bahwa pemasok dapat memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja bagi pelanggan.
3.2.4 Catatan tinjauan ulang kontrak dipelihara dan didokumentasikan.

4. PENGENDALIAN DOKUMEN
4.1 Persetujuan dan Pengeluaran Dokumen
4.1.1 Dokumen keselamatan dan kesehatan kerja mempunyai identifikasi status, wewenang, tanggal pengeluaran dan tanggal modifikasi.
4.1.2 Penerima distribusi dokumen tercantum dalam dokumen tersebut.
4.1.3 Dokumen keselamatan dan kesehatan kerja edisi terbaru disimpan secara sistematis pada tempat yang ditentukan.
4.1.4 Dokumen usang segera disingkirkan dari penggunaannya sedangkan dokumen usang yang disimpan untuk keperluan tertentu diberi tanda khusus.

4.2 Perubahan dan Modifikasi Dokumen
4.2.1 Terdapat sistem untuk membuat dan menyetujui perubahan terhadap dokumen keselamatan dan kesehatan kerja.
4.2.2 Apabila memungkinkan diberikan alasan terjadinya perubahan dan tertera dalam dokumen atau lampirannya.
4.2.3 Terdapat prosedur pengendalian dokumen atau daftar seluruh dokumen yang mencantumkan status dari setiap dokumen tersebut, dalam upaya mencegah penggunaan dokumen yang usang.

5. PEMBELIAN
5.1 Spesifikasi dari pembelian barang dan jasa
5.1.1 Terdapat prosedur yang terdokumentasi yang dapat menjamin bahwa spesifikasi teknik dan informasi lain yang relevan dengan keselamatan dan kesehatan kerja telah diperiksa sebelum keputusan untuk membeli.
5.1.2 Spesifikasi pembelian untuk setiap sarana produksi, zat kimia atau jasa harus dilengkapi spesifikasi yang sesuai dengan persyaratan peraturan perundangan dan standar keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku.
5.1.3 Konsultasi dengan tenaga kerja yang potensial berpengaruh pada saat keputusan pembelian dilakukan apabila persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja dicantumkan dalam spesifikasi pembelian.
5.1.4 Kebutuhan pelatihan, pasokan alat pelindung diri dan perubahan terhadap prosedur kerja perlu dipertimbangkan sebelum pembelian, serta ditinjau  ulang sebelum pembelian dan pemakaian sarana produksi dan bahan kimia.

5.2 Sistem Verifikasi Untuk Barang dan Jasa Yang Dibeli
5.2.1 Barang dan jasa yang telah dibeli diperiksa kesesuaiannya dengan spesifikasi pembelian.
5.3 Kontrol Barang dan Jasa Yang Dipasok Pelanggan
5.3.1 Barang dan jasa yang dipasok pelanggan, sebelum digunakan terlebih dahulu diidentifikasi potensi bahaya dan dinilai risikonya. Catatan tersebut dipelihara untuk memeriksa prosedur ini.
5.3.2 Produk yang disediakan oleh pelanggan dapat diidentitikasikan dengan jelas.

6. KEAMANAN BEKERJA BERDASARKAN SISTEM MANAJEMEN K3
6.1 Sistem Kerja
6.1.1 Petugas yang berkompeten telah mengidentifikasikan bahaya yang potensial dan telah menilai risiko-risiko yang timbul dari suatu proses kerja.
6.1.2 Apabila upaya pengendalian risiko diperlukan maka upaya tersebut ditetapkan melalui tingkat pengendalian.
6.1.3 Terdapat prosedur kerja yang didokumentasikan dan jika diperlukan diterapkan suatu sistem “Ijin Kerja“ untuk tugas-tugas yang berisiko tinggi.
6.1.4 Prosedur atau petunjuk kerja untuk mengelola secara aman seluruh risiko yang teridentifikasi didokumentasikan.
6.1.5 Kepatuhan dengan peraturan, standar dan ketentuan pelaksanaan diperhatikan pada saat mengembangkan atau melakukan modifikasi prosedur atau petunjuk kerja.
6.1.6 Prosedur kerja dan instruksi kerja dibuat oleh petugas yang berkompeten dengan masukan dari tenaga kerja yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas dan prosedur disahkan oleh pejabat yang ditunjuk.
6.1.7 Alat pelindung diri disediakan bila diperlukan dan digunakan secara benar serta dipelihara selalu dalam kondisi layak pakai.
6.1.8 Alat pelindung diri yang digunakan dipastikan telah dinyatakan laik pakai sesuai dengan standar dan atau peraturan perundangan yang berlaku.
6.1.9 Upaya pengendalian risiko ditinjau ulang apabila terjadi perubahan pada proses kerja.

6.2 Pengawasan
6.2.1 Dilakukan pengawasan untuk menjamin bahwa setiap pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan petunjuk kerja yang telah ditentukan.
6.2.2 Setiap orang diawasi sesuai dengan tingkat kemampuan mereka dan tingkat risiko tugas.
6.2.3 Pengawas ikut serta dalam identifikasi bahaya dan membuat upaya pengendalian.
6.2.4 Pengawas diikutsertakan dalam pelaporan dan penyelidikan penyakit akibat kerja dan kecelakaan, dan wajib menyerahkan laporan dan saran- saran kepada pengurus.
6.2.5 Pengawas ikut serta dalam proses konsultasi.

6.3 Seleksi dan Penempatan Personil
6.3.1 Persyaratan tugas tertentu, termasuk persyaratan kesehatan, diidentifikasi dan dipakai untuk menyeleksi dan menempatkan tenaga kerja.
6.3.2 Penugasan pekerjaan harus berdasarkan pada kemampuan dan tingkat keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing tenaga kerja.

6.4 Lingkungan Kerja
6.4.1 Perusahaan melakukan penilaian lingkungan kerja untuk mengetahui daerah-daerah yang memerlukan pembatasan ijin masuk.
6.4.2 Terdapat pengendalian atas tempat-tempat dengan pembatasan ijin masuk.
6.4.3 Fasilitas-fasilitas dan layanan yang tersedia di tempat kerja sesuai dengan standar dan pedoman teknis.
6.4.4 Rambu-rambu mengenai keselamatan dan tanda pintu darurat harus dipasang sesuai dengan standar dan pedoman teknis.

6.5 Pemeliharaan, Perbaikan dan Perubahan Sarana Produksi
6.5.1 Penjadualan pemeriksaan dan pemeliharaan sarana produksi serta peralatan mencakup verifikasi alat-alat pengaman dan persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundangan, standar dan pedoman teknis yang berlaku.
6.5.2 Semua catatan yang memuat data-data secara rinci dari kegiatan pemeriksaan, pemeliharaan, perbaikan dan perubahan-perubahan yang dilakukan atas sarana produksi harus disimpan dan dipelihara.
6.5.3 Sarana produksi yang harus terdaftar memiliki sertifikat yang masih berlaku.
6.5.4 Perawatan, perbaikan dan setiap perubahan harus dilakukan personel yang berkompeten.
6.5.5 Apabila memungkinkan, sarana produksi yang akan diubah harus sesuai dengan persyaratan peraturan perundangan yang berlaku.
6.5.6 Terdapat prosedur permintaan pemeliharaan yang mencakup ketentuan mengenai peralatan-peralatan dengan kondisi keselamatan yang kurang baik dan perlu untuk segera diperbaiki.
6.5.7 Terdapat suatu sistem penandaan bagi alat yang sudah tidak aman lagi jika digunakan atau yang sudah tidak digunakan lagi.
6.5.8 Apabila diperlukan, dilakukan penerapan sistem penguncian pengoperasian (lock out system) untuk mencegah agar sarana produksi tidak dihidupkan sebelum saatnya.
6.5.9 Prosedur persetujuan untuk menjamin bahwa peralatan produksi dalam kondisi yang aman untuk dioperasikan.

6.6 Pelayanan
6.6.1 Apabila perusahaan dikontrak untuk menyediakan pelayanan yang tunduk pada standar dan Undang-undang keselamatan dan kesehatan kerja, maka perlu disusun prosedur untuk menjamin bahwa pelayanan memenuhi persyaratan.
6.6.2 Apabila perusahaan diberi pelayanan melalui kontrak, dan pelayanan tunduk pada standar dan perundangan keselamatan dan kesehatan kerja, maka perlu disusun prosedur untuk menjamin bahwa pemberian pelayanan memenuhi persyaratan.

6.7 Kesiapan untuk Menangani Keadaan Darurat
6.7.1 Keadaan darurat yang potensial (di dalam atau di luar tempat kerja) telah diidentifikasi dan prosedur keadaan darurat tersebut telah didokumentasikan.
6.7.2 Prosedur keadaan darurat diuji dan ditinjau ulang secara rutin oleh petugas yang berkompeten.
6.7.3 Tenaga kerja mendapat instruksi dan pelatihan mengenai prosedur keadaan darurat yang sesuai dengan tingkat risiko.
6.7.4 Petugas penanganan keadaan darurat diberikan pelatihan khusus.
6.7.5 Instruksi keadaan darurat dan hubungan keadaan darurat diperlihatkan secara jelas/menyolok dan diketahui oleh seluruh tenaga kerja perusahaan.
6.7.6 Alat dan sistem keadaan darurat diperiksa, diuji dan dipelihara secara berkala.
6.7.7 Kesesuaian, penempatan dan kemudahan untuk mendapatkan alat keadaan darurat telah dinilai oleh petugas yang berkompeten.

6.8 Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
6.8.1 Perusahaan telah mengevaluasi alat PPPK dan menjamin bahwa sistem PPPK yang ada memenuhi standard dan pedoman teknis yang berlaku.
6.8.2 Petugas PPPK telah dilatih dan ditunjuk sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

7. STANDAR PEMANTAUAN
7.1 Pemeriksaan Bahaya
7.1.1 Inspeksi tempat kerja dan cara kerja dilaksanakan secara teratur.
7.1.2 Inspeksi dilaksanakan bersama oleh wakil pengurus dan wakil tenaga kerja yang telah memperoleh pelatihan mengenai identifikasi potensi bahaya.
7.1.3 Inspeksi mencari masukkan dari petugas yang melakukan tugas di tempat yang diperiksa.
7.1.4 Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan pada saat inspeksi.
7.1.5 Laporan inspeksi diajukan kepada pengurus dan P2K3 sesuai dengan kebutuhan.
7.1.6 Tindakan korektif dipantau untuk menentukan efektifitasnya.

7.2 Pemantauan Lingkungan Kerja
7.2.1 Pemantauan lingkungan kerja dilaksanakan secara teratur dan hasilnya dicatat dan dipelihara.
7.2.2 Pemantauan lingkungan kerja meliputi faktor fisik, kimia, biologis, radiasi dan psikologis.
7.3 Peralatan Inspeksi, Pengukuran dan Pengujian
7.3.1 Terdapat sistem yang terdokumentasi mengenai identifikasi, kalibrasi, pemeliharaan dan penyimpanan untuk alat pemeriksaan, ukur dan uji mengenai kesehatan dan keselamatan.
7.3.2 Alat dipelihara dan dikalibrasikan oleh petugas yang berkompeten.

7.4 Pemantauan Kesehatan
7.4.1 Sesuai dengan peraturan perundangan, kesehatan tenaga kerja yang bekerja pada tempat kerja yang mengandung bahaya harus dipantau.
7.4.2 Perusahaan telah mengidentifikasi keadaan dimana pemeriksaan kesehatan perlu dilakukan dan telah melaksanakan sistem untuk membantu pemeriksaan ini.
7.4.3 Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter pemeriksa yang ditunjuk sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
7.4.4 Perusahaan menyediakan pelayanan kesehatan kerja sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
7.4.5 Catatan mengenai pemantauan kesehatan dibuat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

8. PELAPORAN DAN PERBAIKAN KEKURANGAN
8.1 Pelaporan Keadaan Darurat
8.1.1 Terdapat prosedur proses pelaporan sumber bahaya dan personil perlu diberitahu mengenai proses pelaporan sumber bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

8.2 Pelaporan Insiden
8.2.1 Terdapat prosedur terdokumentasi yang menjamin bahwa semua kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta insiden di tempat kerja dilaporkan.
8.2.2 Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilaporkan sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.

8.3 Penyelidikan Kecelakaan Kerja
8.3.1 Perusahaan mempunyai prosedur penyelidikan kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dilaporkan.
8.3.2 Penyelidikan dan pencegahan kecelakaan kerja dilakukan oleh petugas atau Ahli K3 yang telah dilatih.
8.3.3 Laporan penyelidikan berisi saran-saran dan jadual waktu pelaksanaan usaha perbaikan.
8.3.4 Tanggung jawab diberikan kepada petugas yang ditunjuk untuk melaksanakan tindakan perbaikan sehubungan dengan laporan penyelidikan.
8.3.5 Tindakan perbaikan didiskusikan dengan tenaga kerja di tempat terjadinya kecelakaan.
8.3.6 Efektifitas tindakan perbaikan dipantau.

8.4 Penanganan Masalah
8.4.1 Terdapat prosedur untuk menangani masalah keselamatan dan kesehatan kerja yang timbul dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
8.4.2 Tenaga kerja diberi informasi mengenai prosedur penanganan masalah keselamatan dan kesehatan kerja dan menerima informasi kemajuan penyelesaiannya.

9. PENGELOLAAN MATERIAL DAN PERPINDAHANNYA
9.1 Penanganan Secara Manual dan Mekanis
9.1.1 Terdapat prosedur untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan menilai risiko yang berhubungan dengan penanganan secara manual dan mekanis.
9.1.2 Identifikasi dan penilaian dilaksanakan oleh petugas yang berkompeten.
9.1.3 Perusahaan menerapkan dan meninjau ulang cara pengendalian risiko yang berhubungan dengan penanganan secara manual atau mekanis.
9.1.4 Prosedur untuk penanganan bahan meliputi metode pencegahan terhadap kerusakan, tumpahan dan kebocoran.

9.2 Sistem Pengangkutan, Penyimpanan dan Pembuangan
9.2.1 Terdapat prosedur yang menjamin bahwa bahan disimpan dan dipindahkan dengan cara yang aman sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
9.2.2 Terdapat prosedur yang menjelaskan persyaratan pengendalian bahan yang dapat rusak atau kadaluwarsa.
9.2.3 Terdapat prosedur menjamin bahwa bahan dibuang dengan cara yang aman sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

9.3 Bahan-bahan Berbahaya
9.3.1 Perusahaan telah mendokumentasikan prosedur mengenai penyimpanan, penanganan dan pemindahan bahan-bahan berbahaya yang sesuai dengan persyaratan peraturan perundangan, standar dan pedoman teknis yang berlaku.
9.3.2 Lembar Data Bahan yang komprehensif untuk bahan-bahan berbahaya harus mudah didapat.
9.3.3 Terdapat sistem untuk mengidentifikasi dan pemberian label pada bahan- bahan berbahaya.
9.3.4 Rambu peringatan bahaya dipampang sesuai dengan persyaratan peraturan perundangan dan standar yang berlaku.
9.3.5 Terdapat prosedur yang didokumentasikan mengenai penanganan secara aman bahan-bahan berbahaya.
9.3.6 Petugas yang menangani bahan-bahan berbahaya diberi pelatihan mengenai cara penanganan yang aman.

10. PENGUMPULAN DAN PENGGUNAAN DATA
10.1 Catatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
10.1.1 Perusahaan mempunyai prosedur untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengarsipkan, memelihara dan menyimpan catatan keselamatan dan kesehatan kerja.
10.1.2 Undang-undang, peraturan, standar dan pedoman teknis yang relevan dipelihara pada tempat yang mudah didapat.
10.1.3 Terdapat prosedur yang menentukan persyaratan untuk menjaga kerahasiaan catatan.
10.1.4 Catatan mengenai peninjauan ulang dan pemeriksaan dipelihara.
10.1.5 Catatan kompensasi kecelakaan kerja dan catatan rehabilitasi kesehatan dipelihara.

10.2 Data dan Laporan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
10.2.1 Data keselamatan dan kesehatan kerja yang terbaru dikumpulkan dan dianalisa.
10.2.2 Laporan rutin kinerja keselamatan dan kesehatan kerja dibuat dan disebarluaskan di dalam perusahaan.

11. AUDIT SISTEM MANAJEMEN K3
11.1 Audit Internal Sistem Manajemen K3
11.1.1 Audit Sistem Manajemen K3 yang terjadual dilaksanakan untuk memeriksa kesesuaian kegiatan perencanaan dan untuk menentukan apakah kegiatan tersebut efektif.
11.1.2 Audit internal Sistem Manajemen K3 dilakukan oleh petugas yang berkompeten dan independen di perusahaan.
11.1.3 Laporan audit didistribusikan kepada manajemen dan petugas lain yang berkepentingan.
11.1.4 Kekurangan yang ditemukan pada saat audit diprioritaskan dan dipantau untuk menjamin dilakukannya tindakan perbaikan.

12. PENGEMBANGAN KETERAMPILAN DAN KEMAMPUAN
12.1 Strategi Pelatihan.
12.1.1 Analisis kebutuhan pelatihan yang mencakup persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja telah dilaksanakan.
12.1.2 Rencana pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja telah disusun bagi semua tingkatan dalam perusahaan-perusahaan.
12.1.3 Pelatihan harus mempertimbangkan perbedaan tingkat kemampuan dan keahliannya.
12.1.4 Pelatihan dilakukan oleh orang atau badan yang mempunyai kemampuan dan pengalaman yang memadai serta diakreditasi menurut peraturan perundangan yang berlaku.
12.1.5 Terdapat fasilitas dan sumber daya memadai untuk pelaksanaan pelatihan yang efektif.
12.1.6 Perusahaan mendokumentasikan dan menyimpan catatan seluruh pelatihan.
12.1.7 Evaluasi dilakukan pada setiap sesi pelatihan untuk menjamin peningkatan secara berkelanjutan.
12.1.8 Program pelatihan ditinjau ulang secara teratur untuk menjamin agar tetap relevan dan efektif.

12.2 Pelatihan Bagi Manajemen dan Supervisor
12.2.1 Anggota manajemen eksekutif dan pengurus berperan serta dalam pelatihan yang mencakup penjelasan tentang kewajiban hukum dan prinsip-prinsip serta pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.
12.2.2 Manajer dan supervisor menerima pelatihan yang sesuai dengan peran dan tanggung jawab mereka.

12.3 Pelatihan bagi Tenaga Kerja
12.3.1 Pelatihan diberikan kepada semua tenaga kerja termasuk tenaga kerja baru dan yang dipindahkan agar mereka dapat melaksanakan tugasnya secara aman.
12.3.2 Pelatihan diselenggarakan kepada tenaga kerja apabila di tempat kerjanya terjadi perubahan sarana produksi atau proses.
12.3.3 Apabila diperlukan diberikan pelatihan penyegaran kepada semua tenaga kerja.

12.4 Pelatihan untuk Pengenalan bagi Pengunjung dan Kontraktor
12.4.1 Perusahan mempunyai program pengenalan untuk semua tenaga kerja dengan memasukan materi kebijakan dan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
12.4.2 Terdapat prosedur yang menetapkan persyaratan untuk memberikan taklimat (briefing) kepada pengunjung dan mitra kerja guna menjamin keselamatan dan kesehatan kerja.

12.5 Pelatihan Keahlian Khusus
12.5.1 Perusahaan mempunyai sistem untuk menjamin kepatuhan terhadap persyaratan lisensi atau kualifikasi sesuai dengan peraturan perundangan untuk melaksanakan tugas khusus, melaksanakan pekerjaan atau mengoperasikan peralatan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
Drs. ABDUL LATIEF


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.01/MEN/1998 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK DARI PAKET JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.


Menimbang :
a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pengusaha yang menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar, tidak wajib ikut dalam pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
b. Bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan kesatuan pendapat dalam pelaksanaan di lapangan mengenai penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik, maka perlu pengaturan lebih lanjut.
c. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat :
1. Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1992 No. 14, Tambahan Lembaran Negara No. 3468).
2. Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara R.I. Tahun 1992 No. 1100, Tambahan Lembaran Negara No. 3495).
3. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.(Lembaran Negara R.I. Tahun 1993 No. 20, Tambahan Lembaran Negara R.I. 3520).
4. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1995 No. 59).
5. Keputusan Presiden R.1. No. 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-02/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-05/MEN/l993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-02/MEN/1997 tentang Peningkatan Biaya Bersalin, Kacamata dan Prothesa Gigi Bagi Tenaga Kerja Peserta Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi TENTANG PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK DARI PAKET JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.



BAB I PENYELENGGARA
Pasal 1
Perusahaan yang menyelenggarakan sendiri pemeliharaan kesehatan dapat dengan cara:
a Menyediakan sendiri atau bekerjasama dengan fasilitas Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK).
b Bekerjasama dengan badan yang menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan; dan c Bersama beberapa perusahaan menyelenggarakan suatu pelayanan kesehatan.

Pasal 2
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dinyatakan dengan manfaat lebih dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a Liputan pelayanan kesehatan yang diberikan sekurang-kurangnya harus memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam BAB II dan BAB III peraturan ini.
b Pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjuk harus memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
c Pelaksana pelayanan kesehatan harus mudah dijangkau oleh tenaga kerja dan keluarganya.


BAB II KEPESERTAAN
Pasal 3
(1) Kepesertaan meliputi tenaga kerja laki-laki maupun wanita dan keluarga yang terdiri suami atau istri dan anak yang sah.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah anak kandung, anak angkat dan anak tiri yang berusia sampai dengan 21 tahun, belum bekerja, belum menikah dengan pembatasan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anak.


BAB III PAKET PELAYANAN KESEHATAN
Pasal 4
Paket jaminan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik daripada jaminan kesehatan dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang diberikan kepada tenaga kerja dan keluarganya sekurang-kurangnya meliputi:
a rawat jalan tingkat pertama.
b rawat jalan tingkat lanjutan.
c rawat inap.
d pemeriksaan kehamilan dan persalinan.
e penunjang diagnostik.
f pelayanan khusus dan. g gawat darurat.

Pasal 5
(1) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sekurang-kurangnya meliputi:
a bimbingan dan konsultasi kesehatan.
b pemeriksaan kehamilan, nifas dan ibu menyusui.
c keluarga berencana.
d imunisasi bayi, anak dan ibu hamil.
e pemeriksaan dan pengobatan dokter umum. f pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi.
g pemeriksaan laboratorium sederhana. h tindakan medis sederhana.
i pemberian obat-obatan dengan berpedoman kepada daftar obat esensial nasional plus (DOEN PLUS), atau generik; dan
j rujukan ke rawat tingkat lanjutan.
(2) Pelayanan rawat jalan tingkat pertama dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.

Pasal 6
(1) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b sekurang-kurangnya melputi:
a pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis. b pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan.
c pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik; dan d tindakan khusus lainnya.
(2) Pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan, atas dasar rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.

Pasal 7
(1) Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, sekurang- kurangnya meliputi:
a pemeriksaan dokter. b tindakan medis.
c penunjang diagnostik.
d pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik; dan e menginap dan makan.
(2) Pelayanan rawat inap dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk.

Pasal 8
(1) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, sekurang-kurangnya meliputi:
a pemeriksaan kehamilan oleh dokter umum atau bidan.
b pertolongan persalinan oleh dokter umum atau bidan, atau rumah bersalin. c perawatan ibu dan bayi.
d pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik. e menginap dan makan; dan
f rujukan ke Rumah Sakit atau Rumah Bersalin.
(2) Pertolongan persalinan bagi tenaga kerja atau istri tenaga kerja diberikan untuk:
a persalinan kesatu, kedua dan ketiga.
b rawat inap sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari.
(3) Biaya persalinan normal tiap anak sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku bagi peserta program jaminan sosial tenaga kerja.

Pasal 9
(1) Pelayanan penunjang diagnostik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, meliputi:
a Pemeriksaan laboratorium.
b Pemeriksaan radiologi.
c Pemeriksaan:
- Electro Encephalography (EEG)
- Electro Cardiography (ECG)
- Ultra Sonography (USG)
- Compuerized Tomography Scanning (CT Scanning) dan d. Pemeriksaan diagnostik lanjutan lainnya.
(2) Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan daerah.
(3) Pemeriksaan diagnostik dilakukan di Rumah Sakit atau Pelaksana Pelayanan Kesehatan.

Pasal 10
(1) Pelayanan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f, sekurang-kurangnya meliputi:
a Kacamata.
b Prothesa mata. c Prothesa gigi.
d Alat bantu dengar, dan
e Prothesa anggota gerak.
(2) Pelayanan khusus dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk. (3) Standar yang ditetapkan atau indikasi medis dengan pengaturan sebagai berikut:
a peserta yang mendapat resep kacamata dari dokter spesialis mata dapat memperoleh kacamata di optik dengan ketentuan:
- harga pembelian untuk frame dan lensa harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
- penggantian lensa sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali dan 50% dari harga pembelian untuk frame dan lensa. dan
- penggantian frame sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali dan 50% dari harga pembelian untuk frame dan lensa.
b peserta yang memerlukan prothesa mata dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis mata dan diambil di Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat kesehatan, dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundangan- undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
c peserta yang memerlukan prothesa gigi dapat diberikan di Balai Pengobatan Gigi dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundangan- undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
d peserta yang memerlukan prothesa kaki dan prothesa tangan dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis di Rumah Sakit, dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan peraturan perundangan undangan yang berlaku bagi peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.
e peserta yang memerlukan alat bantu dengar dapat diberikan atas anjuran dokter spesialis di Rumah Sakit dengan penggantian harus lebih besar dari ketentuan  peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi peserta Progam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek.

Pasal 11
(1) Pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g, meliputi:
a pemeriksaan dan pengobatan. b tindakan medik.
c pemberian obat-obatan DOEN PLUS atau generik. dan d rawat inap.
(2) Gawat darurat yang memerlukan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a kecelakaan dan ruda paksa bukan karena kecelakaan kerja. b serangan jantung.
c serangan asma berat.
d kejang.
e pendarahan berat.
f muntah berak disertai dehidrasi.
g kehilangan kesadaran (koma) termasuk epilepsi atau ayan.
h keadaan gelisah pada penderita gangguan mendadak, pendarahan, ketuban pecah dini.
(3) Pelayanan gawat darurat dilakukan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk.

Pasal 12
(1) Batas maksimal hari rawat inap harus lebih besar dari 60 (enam puluh) hari termasuk perawatan ICU/ICCU untuk setiap jenis penyakit dalam satu tahun.
(2) Batas maksimal dari perawatan ICU/ICCU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari 20 (dua puluh) hari.
(3) Standar rawat inap ditetapkan sebagai berikut:
a. sekurang-kurangnya kelas dua pada rumah sakit pemerintah; atau
b. sekurang-kurangnya kelas tiga pada rumah sakit swasta.

Pasal 13
Ketentuan mengenai dasar perhitungan iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja tidak berlaku dalam perhitungan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dengan manfaat lebih baik.


BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 14
(1) Pengaturan Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya harus tercantum secara rinci dalam Peraturan Perusahaan dan Kesepakatan Kerja Bersama atau pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh pekerja.
(2) Pengaturan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lengkap meliputi penyelenggaraan kepesertaan dan paket pelayanan.

Pasal 15
(1) Dalam hal perusahaan telah menyelenggarakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya dengan manfaat lebih baik, pengusaha harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat dengan dilampiri data Penyelenggara, Kepesertaan dan paket pelayanan.
(2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat memberikan rekomendasi persetujuan atau menolak permohonan pengusaha berdasarkan hasil pemeriksaan Pegawai Ketenagakerjaan.
(3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat belum memberikan jawaban atas permohonan pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan pengusaha tersebut dianggap disetujui.

Pasal 16
(1) Perusahaan yang telah mendapat persetujuan untuk menyelenggarakan sendiri Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya, wajib membuat laporan secara triwulan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
(2) Laporan secara triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan mengisi formulir yang akan diatur lebih lanjut oleh Direkur Jenderal Pembinaan Hubungan  Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan yang telah disetujui oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja tidak boleh meniadakan Pelayanan Kesehatan Kerja yang telah ada di perusahaan dan harus memanfaatkan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan.
(2) Tata cara dan mekanisme pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.


BAB V KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Perusahaan yang memenuhi ketentuan Peraturan Menteri ini dinyatakan telah menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Pasal 19
Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini, maka Pasal 40 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 20
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Pebruari 1998
MENTERI TENAGA KERJA R.I.
ttd.
DRS. ABDUL LATIEF



Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.03/MEN/1998 TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PEMERIKSAAN KECELAKAAN


Menimbang:
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, diperlukan adanya ketentuan mengenai tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan di tempat kerja;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat:
1. Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1981);
3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14);
4. Keputusan Presiden Ri Nomor 96/M/Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.04/MEN/1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan,dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PEMERIKSAAN KECELAKAAN.



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda;
2. Kejadian berbahaya lainnya ialah suatu kejadian yang potensial, yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja kecuali kebakaran, peledakan dan bahaya pembuangan limbah;
3. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja melakukan pekerjaan atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya;
4. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu kegiatan kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri;
5. Pegawai Pengawas adalah pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
6. Pengusaha adalah :
a. Orang, perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang, perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang, perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7. Menteri adalah Menteri yang membidangi ketenagakerjaan.


BAB II TATACARA PELAPORAN KECELAKAAN
Pasal 2
(1) Pengurus atau pengusaha wajib melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi di tempat kerja pimpinannya.
(2) Kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. Kecelakaan Kerja;
b. Kebakaran atau peledakan atau bahaya pembuangan limbah;
c. Kejadian berbahaya lainnya.

Pasal 3
Kewajiban melaporkan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku bagi pengurus atau pengusaha yang telah dan yang belum mengikutsertakan pekerjaannya kedalam program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992.

Pasal 4
(1) Pengurus atau pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib melaporkan secara tertulis kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, b, c dan d kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan dengan formulir laporan kecelakaan sesuai contoh bentuk 3 KK2 A lampiran I.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara lisan sebelum dilaporkan secara tertulis.

Pasal 5
(1) Pengurus atau pengusaha yang telah mengikutsertakan pekerjaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, melaporkan kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan b dengan tatacara pelaporan sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.05/MEN/1993.
(2) Pengurus atau pengusaha yagn belum mengikutsertakan pekerjaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, melaporkan kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan b dengan tatacara pelaporan sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.04/MEN/1993.

BAB III PEMERIKSAAN KECELAKAAN
Pasal 6
(1) Setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5, Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja memerintahkan pegawai pngawas untuk melakukan pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan.
(2) Pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan terhadap setiap kecelakaan yang dilaporkan oleh pengurus atau pengusaha.
(3) Pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai peraturan perUndang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 7
Pegawai pengawas dalam melaksanakan pemeriksaan dan pengkajian mempergunakan formulir laporan pemeriksaan dan pengkajian sesuai lampiran II untuk kecelakaan kerja, lampiran III untuk penyakit akibat kerja, lampiran IV untuk peledakan, kebakaran dan bahaya pembuangan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 limbah dan lampiran V untuk bahaya lainnya.

Pasal 8
(1) Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 pada tiap-tiap akhir bulan menyusun analisis laporan kecelakaan dalam daerah hukumnya dengan menggunakan formulir sebagaimana lampiran VI peraturan ini.
(2) Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja harus menyampaikan analisis laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya.

Pasal 9
(1) Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja berdasarkan analisis laporan kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menyusun analisis kecelakaan dalam daerah hukumnya dengan menggunakan formulir sebagaimana lampiran VII peraturan ini.
(2) Analisis kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat untuk tiap bulan.
(3) Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja harus segera menyampaikan analisis kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 10
Cara pengisian formulir sebagaimana dimaksud dalam lampiran II, III, IV, V, VI dan VIIsebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industri dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Pasal 11
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industri dan Pengawasan Ketenagakerjaan berdasarkan analisis laporan kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) menyusun analisis laporan kekerapan dan keparahan kecelakaan tingkat nasional.


BAB IV SANKSI
Pasal 12
Pengurus atau pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 2, Pasal 4 ayat (1), diancam dengan hukuman sesuai dengan ketntuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.


BAB V PENGAWASAN
Pasal 13
Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan,


BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ini, maka formulir bentuj 3 KK2 dalam Peraturan Menteri No. PER.04/MEN/1993 dan Peraturan Menteri No. PER.05/MEN/1993 dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Februari 1998
MENTERI TENAGA KERJA
ttd
Drs. Abdul Latief


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NOMOR : PER.04/MEN/1998 TENTANG PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN DAN TATA KERJA DOKTER PENASEHAT


Menimbang :
a. bahwa untuk meningkatkan pelayanan program jaminan kecelakaan kerja, Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerinah Nomor 14 Tahun 1993, harus mempunyai kesamaan langkah dan persepsi dalam menangani kasus kecelakaan kerja yang berkaitan dengan masalah medis.
b. bahwa untuk mewujudkan kesamaan langkah dan persepsi tersebut, perlu diatur pengangkatan, pemberhentian dan tata kerja bagi Dokter Penasehat.
c. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat :
1. Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 1992 No. 14, Tahun 1992 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3468);
2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 1993 No. 20, Tambahan Lembaran Negara RI 3520).
3. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara (Lembaran Negara RI Tahun 1995 No 59).
4. Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 1993 tetang penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
5. Keputusan Presiden RI No. 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI.
6. Peraturan Menterin Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN DAN TATA KERJA DOKTER PENASEHAT.


BAB I PENGERTIAN
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara.
3. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
4. Penyakit akbat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
5. Cacat sebagian adalah hilangnya atau tidak berfungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja untuk selama-lamanya.
6. Cacat total adalah keadaan tenaga kerja tidak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya.
7. Cacat fungsi adalah keadaan berkurangnya kemampuan atau tidak berfungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja akibat kecelakaan untuk selama-lamanya.
8. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perUndang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.
9. Dokter Penasehat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul dan diangkat oleh Menteri Tenaga Kerja.
10. Dokter Pemeriksa adalah dokter perusahaan atau dokter yang ditunjuk oleh perusahaan atau dokter pemerintah yang memeriksa dan merawat tenaga kerja.
11. Badan Penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
12. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri.
13. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.


BAB II FUNGSI DAN TUGAS DOKTER PENASEHAT
Pasal 2
Dokter Penasehat mempunyai fungsi memberikan pertimbangan medis kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dan atau Badan Penyelenggara dalam menyelesaikan kasus Jaminan Kecelakaan Kerja.

Pasal 3
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Dokter Penasehat mempunyai tugas:
1. Melakukan pemeriksaan rekam medis dan bila dipandang perlu melakukan pemeriksaan ulang kepada tenaga kerja.
2. Menetapkan besarnya persentase cacat fungsi, cacat anatomis, dan penyakit akibat kerja bila terjadi perbedaan pendapat antara Badan Penyelenggara dengan pengusaha dan atau tenaga kerja ahli warisnya.
3. Memberikan pertimbangan medis kepada Menteri Tenaga Kerja untuk menetapkan besarnya persentase cacat dan penyakit akibat kerja yang belum diatur dalam peraturan perUndang-undangan.
4. Mengadakan konsultasi dengan dokter pemeriksa dan atau dokter spesialis bila ter- dapat keraguan dalam menetapkan penyakit akibat kerja atau persentase cacat.


BAB III PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN DOKTER PENASEHAT
Pasal 4
(1) Menteri mengangkat dan memberhentikan Dokter Penasehat.
(2) Pengangkatan Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a. Kebutuhan Dokter Penasehat untuk setiap wilayah kerja. b. Perkembangan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja. c. Tingginya angka kecelakaan kerja.

Pasal 5
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Dokter Penasehat, harus memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat minimal golongan III/b. c. Sekurang-kurangnya dokter umum.
d. Mempunyai surat penunjukan dari Menteri Kesehatan.
e. Memiliki sertifikat Hyperkes atau keahlian di bidang kesehatan kerja.
(2) Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat untuk masa kerja selama 5 (lima) tahun.

Pasal 6
Dokter penasehat dapat diberhentikan dengan alasan:
a. Dicabut penunjukannya oleh Menteri Kesehatan.
b. Mutasi ke luar wilayah kerjanya.
c. Tidak dapat menjalankan tugasnya dengan lancar.
d. Meninggal dunia.

Pasal 7
(1) Untuk meningkatkan kelancaran tugas Dokter Penasehat, Menteri mengangkat seorang Koordinator Dokter Penasehat untuk seluruh Indonesia yang berkedudukan di Pusat.
(2) Koordinator Dokter Penasehat bertanggung jawab dan melaporkan semua kegiatan- nya kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.


BAB IV TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MEDIS
Pasal 8
(1) Badan Penyelenggara dalam hal memerlukan pertimbangan medis dari Dokter Penasehat harus menyampaikan secara tertulis kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan setempat.
(2) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dalam memintai pertimbangan medis, harus menyampaikan permintaan secara tertulis kepada Dokter Penasehat di wilayah kerjanya.
(3) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikannya kepada Dokter Penasehat.
(4) Permintaan pertimbangan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran rekam medis dan atau data kecelakaan lainnya.

Pasal 9
(1) Dokter Penasehat setelah menerima permintaan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) harus segera mempelajari rekam medis dan atau data kecelakaan lainnya.
(2) Dalam hal rekam medis dan atau data kecelakaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipandang masih belum mencukupi, Dokter Penasehat melakukan pemeriksaan ulang.
(3) Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pemeriksaan penunjang diagnostic dan konsultasi kepada dokter spesialis.

Pasal 10
(1) Dokter Penasehat setelah meneliti rekam medis dan atau data kecelakaan lainnya dan atau melakukan pemeriksaan ulang, memberikan pertimbangan medis tentang:
a. besarnya persentase cacat akibat kecelakaan kerja dan atau penyakit akibat kerja yang telah tercantum dalam peraturan perUndang-undangan.
b. besarnya persentase cacat akibat kecelakaan kerja dan atau penyakit akibat kerja yang belum diatur dalam peraturan perUndang-undangan.
(2) Pertimbangan Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai masukan bagi Menteri atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaaan dalam menetapkan besarnya jaminan kecelakaan kerja.

Pasal 11
(1) Biaya untuk pemeriksaan rekam medis dan atau data kecelakaan lainnnya dan atau pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dibebankan kepada Badan Penyelenggara.
(2) Rincian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Badan Penyelenggara.

Pasal 12
(1) Dokter Penasehat harus sudah memberikan pertimbangan secara tertulis kepada Menteri atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permintaan.
(2) Pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menyampaikan formulir bentuk DP sebagaimana dalam Lampiran Peraturan ini.


BAB V PELAPORAN
Pasal 13
Dokter Penasehat harus menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan, kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja dengan tembusan kepada instansi terkait.


BAB VI PEMBINAAN
Pasal 14
(1) Pembinaan operasional Dokter Penasehat dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Pembinaan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan antara lain dengan penataran, penyuluhan dan temu konsultasi baik tingkat regional maupun tingkat nasional.


BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Februari 1998
MENTERI TENAGA KERJA
ttd.
ABDUL LATIEF


LAMPIRAN : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 04/MEN/1998
TANGGAL : 20 FEBRUARI 1998


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.03/MEN/1999 TENTANG SYARAT-SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LIFT UNTUK PENGANGKUTAN ORANG DAN BARANG


Menimbang:
a. bahwa dengan meningkatnya pembangunan semakin banyak bangu- nan bertingkat yang menggunakan lift untuk pengangkutan orang dan barang;
b. bahwa dalam pembuatan, pemasangan, pemakaian, perubahan dan perawatan lift mengandung bahaya potensial maka untuk memberikan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja perlu ditetapkan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja lift untuk pengangkutan orang dan barang;
c. bahwa Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Transmigrasi No. PER- 05/MEN/1978 tentang Syarat-Syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Pemakaian Lift Listrik Untuk Pengangkutan Orang dan Barang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga perlu disempurnakan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat:
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; (Lembaran Negara R.I. Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
2. Keputusan Presiden Nomor 122/M/1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor PER-04/MEN/198 tentang Berlakunya Standar Nasional Indonesia (SNI) No. SNI-225- 1987 mengenai Peraturan Umum Instalasi Listrik Indonesia 1987 (PUIL 1987) di Tempat Kerja;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor PER-04/MEN/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi TENTANG SYARAT- SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LIFT UNTUK PENGANGKUTAN ORANG DAN BARANG.



BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
(1) Lift ialah pesawat dengan peralatan yang mempunyai kereta bergerak naik turun mengikuti rel-rel pemandu yang dipasang pada bangunan dan digunakan untuk mengangkut orang dan barang atau khusus barang.
(2) Lift Otomatis ialah lift yang dapat dilayani atau dikendalikan dari dalam kereta dan dari setiap lantai pemberhentian atau dari jarak jauh dengan suatu perangkat pengendali.
(3) Lift Pelayan (dumbwaiter)ialah lift yang mempunyai kereta atau kotak kemas dengan luas lantai tidak lebih dari 1 (satu) m2 dan tingg tidak lebih dari 1,2 (satu koma dua) meter digunakan khusus untuk mengangkut barang termasuk lift yang atas keputusan Direktur dinyatakan sebagai lift pelayan.
(4) Lift tarikan gesek (traction drive lift) ialah lift yang ditarik melalui gesekan gaya gesek antara tali baja dan tromol penggerak.
(5) Lift tarikan langsung (drum drive lift) adalah lift yang ditarik langsung dengan cara menggulung tali pada tabung (drum) atau silinder.
(6) Kereta (Elevator cab/car) ialah bagian dari lift yang merupakan ruang (enclosure) yang mempunyai lantai, dinding, pintu dan atap digunakan untuk mengangkut orang dan barang atau khusus barang.
(7) Bobot Imbang (counterweight) ialah bagian dari lift sejenis bandul guna mengimbangi berat kereta dan sebagian dari muatan diikat pada ujung lain dari tali baja penarik kereta.
(8) Ruang Luncur (hoistway) ialah ruang dimana kereta dan bobot imbang bergerak yang dibatasi oleh lekuk dasar, dinding tegak lurus dan langit-langit.
(9) Lekuk Dasar (pit) ialah bagian ruang luncur yang berada di bawah lantai landas pemberhentian terbawah sampai pada dasar ruang luncur.
(10) Rem atau Pesawat Pengaman (safety device) ialah peralatan mekanik yang ditempatkan pada bagian bawah atau bagian atas dari kereta, bekerja untuk menghentikan lift apabila terjadi kecepatan lebih dengan cara menjepit pada rel pemandu.
(11) Rel Pemandu (guide rail) ialah batang profil “T” khusus, yang dipasang permanent tegak lurus sepanjang ruang luncur untuk memandu jalannya kereta dan bobot imbang dan berguna untuk bekerjanya rem.
(12) Pembatas atau pengindra lift (governor) ialah alat yang berfungsi untuk memicu bekerjanya rem kereta secara otomatis.
(13) Peredam (buffer) ialah alat untuk meredam tumbukan kereta atau bobot imbang guna menyerap tenaga tumbukan kereta atau bobot imbang, jika terjadi kemerosotan karena kecepatan lebih.
(14) Alat Perata (levelling device) ialah alat khusus untuk ketepatan penghentian kereta yang dapat disetel, apabila lantai kereta dan lantai pemberhentian kedapatan tidak rata.
(15) Penyangga (bumper) ialah alat penahan masif kenyal untuk menahan kereta atau bobot imbang, jika terjadi kemerosotan.
(16) Teromol Penggerak (traction sheave) ialah bagian dari mesin lift berbentuk tabung (silinder) atau roda katrol yang mempunyai alur untuk penempatan tali baja penarik. (17) Tali Baja (wire rope) ialah sejumlah kawat baja yang dipilin, yang merupakan untaian seperti tali tambang yang digunakan untuk menarik kereta.
(18) Menteri ialah Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
(19) Direktur ialah sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. KEP-79/MEN/1977.
(20) Pegawai Pengawas ialah pegawai pengawas ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri.
(21) Ahli Keselamatan Kerja ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang Keselamatan Kerja.
(22) Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.

Pasal 2
Peraturan ini berlaku bagi perencanaan, pembuatan, pemasangan, pemakaian dan perawatan lift yang dipergunakan secara tetap maupun sementara untuk melayani pengangkutan orang dan barang atau khusus barang di dalam suatu bangunan, kecuali :
a. Platform berangkai (patternoster);
b. Lift bergigi (rack and pinion);
c. Lift ulir (screw driven elevator);
d. Lift tambang (mine lift);
e. Lift panggung (theatrical lift);
f. Lift untuk keperluan pembangunan, pembongkaran, perubahan dan perbaikan (public work, platform lift);
g. Lift miring (inclined lift);
h. Lift gunting (scissor lift);
i. Lift lainnya yang penggunaannya bukan untuk melayani pengangkutan orang dan barang atau khusus barang.


BAB II SYARAT-SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LIFT

BAGIAN 1 UMUM
Pasal 3
(1) Kapasitas angkut lift harus dicantumkan dan dipasang dalam kereta serta dinyatakan dalam jumlah orang dan atau jumlah bobot muatan yang diangkut dalam kilogram (kg).
(2) Kapasitas angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan kapasitas angkut yang dinyatakan dalam ijin pemakaian lift.
(3) Penetapan jumlah orang yang dapat diangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Standar Nasional Indonesia yang berlaku.

BAGIAN 2 BAGIAN-BAGIAN LIFT DAN PEMASANGANNYA
Pasal 4
(1) Bagian-bagian lift harus kuat, tidak cacat, aman dan memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Bagian-bagian lift sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: mesin, kamar mesin, tali baja, tromol, bangunan ruang luncur dan lekuk dasar, kereta, governor, perlengkapan pengaman, bobot imbang, rel pemandu, peredam atau penyangga dan instalasi listrik.
(3) Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagian-bagian lift sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 23 peraturan ini.

PARAGRAF 1 MESIN DAN KAMAR MESIN
Pasal 5
(1) Mesin dan konstruksinya harus memenuhi Standar Nasional Indonesia yang berlaku.
(2) Apabila lift akan bergerak, rem membuka dengan tenaga magnet listrik dan harus dapat memberhentikan mesin secara otomatis pada saat arus listrik putus.
(3) Mesin harus dilengkapi dengan rem yang bekerja dengan tenaga pegas.

Pasal 6
(1) Bangunan kamar mesin harus kuat, bebas air dan dibuat dari bahan tahan api sekurang-kurangnya 1 (satu) jam.
(2) Luas kamar mesin harus sekurang-kurangnya 1,5 (satu koma lima) kali dari luas ruang luncur dan tinggi sekurang-kurangnya 2,2 (dua koma dua) meter kecuali untuk lift perumahan atau rumah tinggal.
(3) Kamar mesin harus mempunyai penerangan dan ventilasi yang cukup sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(4) Kamar mesin harus dilengkapi jalan masuk dengan membuka arah ke luar dan dapat dikunci serta tahan api sekurang-kurangnya 1 (satu) jam serta mempunyai ukuran pintu sekurang-kurangnya lebar 0,7 (nol koma tujuh) meter dan tinggi 2 (dua) meter.
(5) Mesin, alat pengendali kerja dan peti hubung bagi listrik harus dipasang dalam kamar mesin.
(6) Setiap kamar mesin harus dilengkapi dengan alat pemadam api ringan jenis kering dengan kapasitas sekurang-kurangnya 5 (lima) kg.

PARAGRAF 2 TALI BAJA DAN TEROMOL
Pasal 7
(1) Tali baja penarik bobot imbang dan governor harus kuat, luwes, tidak boleh terdapat sambungan dan semua utas tali seragam dari satu sumber yang sama.
(2) Tali baja harus mempunyai angka faktor keamanan untuk kecepatan lift sebagai berikut:
a. 20 (dua puluh) meter per menit sampai dengan 59 (lima puluh sembilan) meter per menit sekurang-kurangnya 8 (delapan) kali kapasitas angkut yang diijinkan.
b. 59 (lima puluh sembilan) meter per menit sampai dengan 90 (sembilan puluh) meter per menit sekurang-kurangnya 9,5 (sembilan koma lima) kali kapasitas angkut yang diijinkan.
c. 105 (seratus lima) meter per menit sampai dengan 180(seratus delapan puluh) meter per menit sekurang-kurangnya 10,5 (sepuluh koma lima) kali kapasitas angkut yang diijinkan.
d. 210 (dua ratus sepuluh) meter per menit sampai dengan 300 (tiga ratus) meter per menit sekurang-kurangnya 11,5 (sebelas koma lima) kali kapasitas angkut yang diijinkan.
e. 300 (tiga ratus) meter per menit atau lebih sekurang-kurangnya 12 (dua belas) kali kapasitas angkut yang diijinkan.
(3) Garis tengah tali baja penarik kereta dan bobot imbang harus sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) mm, kecuali untuk lift pelayan.
(4) Tali penarik kereta dan bobot imbang tidak boleh digunakan rantai.
(5) Lift tarikan gulung harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) tali baja penarik, dan lift tarikan gesek sekurang-kurangnya 3 (tiga) tali baja kecuali untuk lift pelayan.

Pasal 8
(1) Setiap teromol penggerak harus diberi alur penempatan tali baja untuk mencegah terjepit atau tergelincirnya tali baja dari gulungan teromol penggerak.
(2) Perbandingan antara garis tengah teromol penggerak dengan tali baja ditetapkan sebagai berikut:
a. Lift penumpang atau barang = 40 : 1
b. Lift pelayan = 40 : 1
c. Governor = 25 : 1

PARAGRAF 3 BANGUNAN RUANG LUNCUR DAN LEKUK DASAR
Pasal 9
(1) Bagunan ruang luncur harus mempunyai kostruksi yang kuat, kokoh, tahan api dan tertutup rapat mulai dari lantai bawah lekuk dasar sampai bagian langit-langit ruang luncur.
(2) Ruang luncur harus selalu bersih, bebas dari instalasi atau peralatan yang bukan bagian dari instalasi lift dan menjamin kelancaran jalannya kereta serta bobot imbang.
(3) Ruang luncur untuk lift ekspres (non stop) harus dilengkapi dengan pintu darurat sekurang-kurangnya 1 (satu) buah pada setiap 3 (tiga) lantai atau tiap jarak 11 (sebelas) meter.
(4) Pintu darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibuat dari baja tahan api sekurang-kurangnya 1 (satu) jam, berengsel, berukuran lebar 70 (tujuh puluh) cm dan tinggi 140 (seratus empat puluh) cm atau lebih serta hanya dapat dibuka dari dalam ruang luncur atau dari kereta lift arah keluar.
(5) Ruang luncur bagian atas harus terdapat ruang bebas sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) cm antara kereta dan langit-langit ruang luncur pada batas pemberhentian akhir di bagian atas (top landing).
(6) Daun pintu ruang luncur harus dibuat dari baja tahan api sekurang-kurangnya 1 (satu) jam dan dapat menutup rapat.
(7) Pintu penutup ruang luncur lift otomatis harus dilengkapi kunci kait (interlock) yang bekerja sejalan dengan pengendalian lift.
(8) Pintu penutup ruang luncur yang tidak otomatis harus dilengkapi dengan kunci kait (interlock) yang menjamin:
a. Kereta tidak bergerak dan melanjutkan gerakannya kecuali apabila pintu penutup ruang luncur tertutup rapat dan terkunci.
b. Pintu hanya dapat terbuka jika kereta dalam keadaan berhenti penuh dan sama rata dengan lantai pemberhentian.
(9) Kunci kait bagaimana dimaksud pada ayat (7) harus menjamin:
a. Kereta tidak dapat bergerak atau melanjutkan gerakannya, kecuali apabila pintu penutup ruang tertutup rapat dan terkunci.
b. Pintu dapat terbuka jika kereta sama rata dengan lantai pemberhentian.
(10) Toleransi beda kerataan lantai kereta dengan lantai pemberhentian tidak boleh lebih dari 20 (dua puluh) cm.

Pasal 10
(1) Lekuk dasar harus mempunyai ruang bebas sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) cm antara lantai lekuk dasar dengan bagian bawah dari kereta pada saat kereta menekan penuh peredam atau penyangga.
(2) Lekuk dasar yang berada pada salah satu lantai bangunan yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Kekuatan struktur lantai tersebut sekurang-kurangnya 5000 (lima ribu) N/m2;
b. Bobot imbang harus dilengkapi dengan rem pengaman (safety gear);
c. Di bawah lekuk dasar tidak boleh digunakan untuk tempat kerja dan atau penyimpanan barang yang mudah meledak atau terbakar.

PARAGRAF 4 KERETA
Pasal 11
(1) rangka kereta harus terbuat dari baja dan kuat menahan beban akibat pengoperasian lift, bekerjanya pesawat pengaman serta tumbukan antara kereta dengan penyangga atau peredam.
(2) Badan kereta harus tertutup rapat dan mempunyai pintu.
(3) Atap kereta harus kuat menahan berat peralatan dan beban sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
(4) Tinggi dnding kereta harus sekurang-kurangnya 2 (dua) meter kecuali lift pelayan. (5) Kecuali lift service atap kereta harus dilengkapi pintu darurat dengan syarat sebagai berikut:
a. Berengsel dan dapat dibuka dari luar sangkar;
b. Tidak mengganggu bagian instalasi di atas atap sangkar sewaktu dibuka;
c. Mempunyai ukuran sekurang-kurangnya lebar 0,35 (nol koma tiga puluh lima) meter dan panjang 0,45 (nol koma empat puluh lima) meter;
d. Dapat dibuka dengan menarik pegangan tangan tanpa terkunci.
(6) Pintu darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dipasang pada dinding samping sangkar dan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berengsel dan membuka kearah luar;
b. Disesuaikan dengan ukuran sangkar beserta perlengkapannya dan memudahkan orang untuk menyelamatkan diri;
c. Dapat dibuka dari luar sangkar tanpa kunci atau dari dalam sangkar dengan kunci khusus;
d. Dilengkapi saklar pengaman dan dihubungkan dengan control sirkuit yang berfungsi untuk menghentikan lift apabila pintu darurat dalam keadaan terbuka.
e. Dipasang pegangan tangan permanent dan dicat warna kuning.
f. Jarak antara sisi sangkar bagian luar dengan balok pemisah (separator beam) ruang luncur 25 (dua puluh lima) cm atau lebih.
(7) Pintu darurat untuk lift otomatis harus tertutp secara otomatis sejalan dengan pengendalian lift.
(8) Luas lantai kereta harus sesuai dengan jumlah penumpang atau beban dan perbandingannya sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 peraturan ini.

Pasal 12
(1) Kereta lift harus dilengkapi dengan pintu yang kokoh, aman, bekerja otomatis dan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) meter.
(2) Jarak antara ambang pintu kereta dan ambang pintu ruang luncur setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) mm.
(3) Lift harus dilengkapi dengan peralatan tanda bahaya bel listrik dengan sumber tenaga aki dan telepon yang dipasang pada lantai tertentu dan dapat dioperasikan dari dalam kereta.
(4) Selain peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kereta lift harus dilengkapi dengan:
a. Ventilasi dan penerangan sekurang-kurangnya 2 (dua) buah lampu yang dihubungkan parallel dan memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Tombol tekan atau saklar atau peralatan yang sejenis di atas atap kereta untuk penerangan, menghentikan atau menjalankan lift;
c. Lampu penerangan darurat;
d. Panel operasi yang memuat:
1) Nama pembuat atau merk dagang kecuali jika diatur sendiri;
2) Kapasitas beban maksimal dalam satuan kg atau orang;
3) Rambu dilarang merokok dan petunjuk lainnya bagi pemakai;
4) Indikasi beban lebih dengan tulisan dan signal visual;
5) Tombol pintu buka dan pintu tutup;
6) Tombol permintaan lantai pemberhentian.
7) Tombol bel alarm dan tanda bahaya.
8) Intercom komunikasi dua arah.
e. Penerangan buatan di bawah lantai kereta, kecuali telah tersedia penerangan pada lekuk dasar ruang luncur.
f. Petunjuk posisi kereta pada lantai tertentu.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (3) dan (4) tidak berlaku untuk lift pelayan.

PARAGRAF 5
GOVERNOR DAN PERLENGKAPAN PENGAMAN Pasal 13
(1) lift harus dilengkapi dengan sebuah governor untuk memicu atau mengatur bekerjanya rem pengaman kecuali lift pelayan.
(2) Lift pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bekerja pada saat governor mencapai persentase kecepatan lebih sebagai berikut:
a. Kecepatan lift sampai 42 (empat puluh dua) meter per menit, persentase kecepatan governor 50% lebih besar.
b. Kecepatan lift sampai 42 (empat puluh dua) meter per menit, persentase kecepatan governor 40% lebih besar.
c. Kecepatan lift sampai 90 (senbilan puluh) meter per menit, persentase kecepatan governor 35% lebih besar.
d. Kecepatan lift sampai 120 (seratus dua puluh) meter per menit, persentase kecepatan governor 30% lebih besar.
(3) Governor lift yang berkecepatan 60 (enam puluh) meter per menit atau lebih harus dilengkapi sebuah sakelar yang dapat memutuskan aliran listrik ke mesin sesaat sebelum governor bekerja.

Pasal 14
(1) kereta lift (kecuali lift pelayan) harus dilengkapi rem pengaman yang dapat memberhentikan kereta dengan beban penuh apabila terjadi kecepatan lebih atau goncangan atau tali baja penarik putus.
(2) Rem pengaman lift terdiri atas rem pengaman kerja berangsur dan rem pengaman kerja mendadak.
(3) Rem pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh menggunakan sistem elektris, hidrolis atau pneumatis.
(4) Rem pengaman kerja berangsur (progressive) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dipergunakan untuk lift dengan kecepatan 60 (enam puluh) meter per menit atau lebih.
(5) Rem pengaman kerja mendadak (instantaneous) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dipergunakan untuk lift dengan kecepatan kurang dari 60 (enam puluh) meter per menit.

Pasal 15
(1) Jarak minimal dan maksimal antara kemerosotan kereta dan penghentian rem pengaman ditetapkan sebagai berikut :
a. Kecepatan kereta s/d 105 (seratus lima) meter per menit, jarak kemerosotan minimal 0,25 (nol koma dua puluh lima) meter dan maksimal 1,1 (satu koma satu) meter.
b. Kecepatan kereta s/d 150 (seratus lima puluh) meter per menit, jarak kemerosotan minimal 0,5 (nol koma lima) meter dan maksimal 1,8 (satu koma delapan) meter.
c. Kecepatan kereta s/d 210 (dua ratus sepuluh) meter per menit, jarak kemerosotan minimal 1,0 (satu koma nol) meter dan maksimal 3,0 (tiga koma nol) meter.
d. Kecepatan kereta s/d 300 (tiga ratus) meter per menit, jarak kemerosotan minimal 2,0 (dua koma nol) meter dan maksimal 5,6 (lima koma enam) meter.
(2) Rem pengaman tidak boleh bekerja untuk pergerakan kereta ke atas, kecuali jika dipasang rem pengaman khusus.
(3) Rem pengaman lebih dari 1 (satu) pasang dengan 1 (satu) governor maka harus dipergunakan jenis sama dan bekerja secara serempak.
(4) Lift dengan kecepatan 60 (enam puluh) meter per menit atau lebih harus mempunyai alat pemutus kontak elektris untuk menghentikan motor penggerak sesaat sebelum rem pengaman bekerja.

Pasal 16
(1) Lift otomatis harus dilengkapi dengan sakelar darurat berwarna merah (emergencystop switch) dan dipasang dekat dengan sakelar tekan pengendali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk lift pelayan.

Pasal 17
Lift harus dilengkapi dengan :
a. Sakelar pengaman batas (travel limit switch) untuk memberhentikan mesin secara otomatis sebelum kereta atau bobot imbang mencapai batas perjalanan terakhir ke atas dan ke bawah.
b. Alat pembatas beban lebih (overload limit switch) untuk memberi tanda peringatan dan lift tidak dapat berjalan bila beban melebihi kapasitas yang diijinkan.

Pasal 18
Lift tarikan gulung harus dilengkapi dengan peralatan pengaman yang dapat memberhentikan motor penggerak secara otomatis, apabila tali baja penarik menjadi kendur

PARAGRAF 6 BOBOT IMBANG, REL PEMANDU DAN PEREDAM ATAU PENYANGGA
Pasal 19
Bobot imbang yang dibuat dari bagian-bagian balok atau lempengan logam atau dari beton bertulang, satu sama lain harus terikat sehingga merupakan satu kesatuan yang kuat dan aman.

Pasal 20
(1) rel pemandu harus kuat untuk menahan beban tekanan kereta dalam beban penuh dan bobot imbang pada saat rem pengaman bekerja.
(2) Rel pemandu harus terbuat dari baja, kecuali untuk lift pelayan dan lift yang kecepatannya kurang dari 30 (tiga puluh) meter per menit.
(3) Rel pemandu dengan kecepatan kurang dari 30 (tiga puluh) meter per menit yang digunakan di tempat kerja untuk menyimpan dan atau mengolah bahan kmia, bahan yang mudah meledak atau terbakar harus digunakan bahan logam yang tidak korosif atau bahan bukan logam yang kuat.

Pasal 21
(1) Bobot imbang dan kereta dilengkapi dengan peredan atau penyangga dan ditempatkan pada lekuk dasar.
(2) Pereda atau penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari jenis massif kenyal, pegas dan hidrolik.
(3) Jenis peredam atau penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penggunaannya ditetapkan sebagai berikut :
a. masif kenyal dengan langkah (stroke) 4 (empat) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 45 (empat puluh lima) meter per menit.
b. pegas dan hidrolik dengan langkah (stroke) 6 (enam) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 60 (enam puluh) meter per menit.
c. hidrolik dengan langkah (stroke) 15 (lima belas) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 90 (sembilan puluh) meter per menit.
d. hidrolik dengan langkah (stroke) 43 (empat puluh tiga) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 150 (seratus lima puluh) meter per menit.
e. hidrolik dengan langkah (stroke) 63 (enam puluh tiga) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 180 (seratur delapan puluh) meter per menit.
f. hidrolik dengan langkah (stroke) 84 (delapan puluh empat) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 210 (dua ratus sepuluh) meter per menit.
g. hidrolik dengan langkah (stroke) 174 (seratur tujuh puluh empat) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 300 (tiga ratus) meter per menit.
h. hidrolik dengan langkah (stroke) 250 (dua ratus lima puluh) cm untuk kecepatan kereta dan bobot imbang s/d 360 (tiga ratus enem puluh) meter per menit.

PARAGRAF 7 INSTALASI LISTRIK
Pasal 22
(1) Rangkaian, pengamanan dan pelayanan listrik harus sesuai dengan Peraturan Umum
Instalasi Listrik (PUIL) yang berlaku.
(2) Rangkaian, pengamanan dan pelayanan listrik lift sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai gambar rencana yang telah disesuaikan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 23
Bangunan yang memiliki instalasi proteksi alarm kebakaran otomatik maka instalasi alarm harus dihubungkan dengan instalasi listrik lift.


BAB III PEMBUATAN, PEMASANGAN, PERBAIKAN, PERAWATAN DAN PERUBAHAN LIFT
Pasal 24
(1) Pembuatan dan atau pemasangan lift harus sesuai dengan gambar rencana yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Gambar perencanaan pembuatan lift sebagaimana dimaksud ayat (1) harus meliputi antara lain :
a. gambar konstruksi lengkap dengan detailnya;
b. perhitungan kostruksi;
c. spesifikasi dan sertifikasi material.
(3) Pembuatan lift sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat teknis yang diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku atau Standar Internasional yang diakui.
(4) Gambar rencana pemasangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) antara lain harus meliputi :
a. Denah ruang mesin dan peralatannya;
b. Mesin serta penguatannya;
c. Diagram instalasi listrik tenaga dan penerangan;
d. Diagram pengendali;
e. Rem pengaman;
f. Bangunan ruang luncur dan pintu-pintunya;
g. Rel pemandu dan penguatannya;
h. Konstruksi kereta;
i. Governor dan peralatannya;
j. Kapasitas angkut, kecepatan kereta dan tinggi kerja vertikal;
k. Perhitungan kekuatan tali baja penarik.
(5) Menteri atau pejabat yang ditunjuk berwenang mengadakan perubahan teknis atas gambar rencana yang diajukan.

Pasal 25
(1) pengurus yang menbuat, memasang,, memakai, meminta perubahan teknis dan atau administrasi lift terlebih dahulu harus mendapat ijin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pembuatan, pemasangan dan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh PJK3 yang memiliki surat keputusan penunjukan Menteri dan teknisi yang telah memiliki surat ijin operasi.

Pasal 26
Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3) dalam melaksanakan pembuatan, pemasangan dan perawatan lift harus terlebih dahulu memperoleh keputusan penunjukan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 27
(1) teknisi yang mengerjakan pemasangan, perbaikan dan atau perawatan lift harus memperoleh surat ijin operasi dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) surat ijin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(3) surat ijin operasi diberikan setelah lulus dari bimbingan teknis yang diselenggarakan perusahaan jasa Pembina keselamatan dan kesehatan kerja atau Departemen Tenaga Kerja.
(4) Pelaksanaan bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Direktur.

Pasal 28
Pengurus harus merawat lift secara teratur sesuai dengan pedoman dan standar teknis perawatan secara teratur.

Pasal 29
Pengurus harus memperhatikan kemudahan bagi penyandang cacat yang hendak memakai lift.

BAB IV PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN
Pasal 30
(1) Setiap lift sebelum dipakai harus diperiksa dan diuji terlebih dahulu sesuai dengan standar uji yang telah ditentukan.
(2) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja dan dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.


BAB V PENGAWASAN
Pasal 31
Pegawai Pengawas atau Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja melakukan pengawasan terhadap ditaatinya peraturan ini.


BAB VI KETENTUAN PIDANA
Pasal 32
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan peraturan ini diancam dengan hukuman sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Pasal 33
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan
Transmigrasi No: PER-05/MEN/1978 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 34
Peraturan Mentari ini berlaku mulai tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Juni 1999
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS

PERATURAN MENTERI TENTANG K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA) TERLENGKAP Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Admin