KEPUTUSAN MENTERI TENTANG K3 (KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA) TERLENGKAP
1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. : Kep. 155/MEN/1984 Tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Tenaga Dan Transmigrasi Nomor Kep. 125/MEN/82, Tentang Pembentukan, Susunan Dan Tata Kerja Dewan Keselamatan Dan Kesehtan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Wilayah Dan Panitia Pembina Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
2. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja Dan Menteri Pekerjaan Umum No.: Kep. 174/MEN/1986. No.: 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. Kep. 1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.: KEPTS.333/MEN/1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.: Kep.245/MEN/1990 tentang Hari Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Nasional
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I.. No. Kep.51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep.186/MEN/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja
8. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I.. No. Kep.197/MEN/1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya
9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No.: Kep.-75/MEN/2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. SMI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja
10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.: Kep.235 /MEN/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan Atau Moral Anak
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi R.I. No.: Kep.68/MEN/IV/2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NO. : KEP. 155/MEN/1984 TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR KEP.125/MEN/82, TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN DAN TATA KERJA DEWAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA NASIONAL, DEWAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA WILAYAH DAN PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Menimbang :
a. Bahwa dalam rangka memantapkan landasan bagi peningkatan kegiatan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehtan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja dipandang perlu menyempurnakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 125/Men/82, tanggal 16 Juli 1982;
b. bahwa penyempurnaan itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Mengingat :
1. Undang-undang No. 14 tahun 1969, tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai Tenaga Kerja;
2. Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
3. Keputusan Presiden R.I. No.45/M/Tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan IV
4. Keputusan Presiden R.I. No. 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 199/Men/1983 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja
MEMUTUSKAN
Menetapkan : Menyempurnakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 125/Men/82, tanggal 16 Juli 1982, sehingga menjadi sebagai berikut:
Pasal 1
Nama dan Tempat Kedudukan
(1) Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, disingkat DK3N, bertempat kedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
(2) Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Wilayah, disingkat DK3W, bertempat kedudukan di Ibu Kota Propinsi yang bersangkutan.
(3) Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja, disingkat P2K3, berkedudukan di tempat kerja yang bersangkutan.
Pasal 2
(1) Tugas pokok :
Tugas Pokok dan Penunjang Operasional
a. Tugas pokok DK3N sebagai suatu badan pembantu di tingkat nasional ialah memberikan saran-saran dan pertimbangan baik diminta maupun tidak, kepada Pemerintah cq. Menteri Tenaga Kerja, selanjutnya dalam Keputusan ini disebut Menteri, mengenai masalah-masalah di bidang keselamatan dan kesehatan kerja,serta membantu pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja secara nesional.
b. Tugas pokok DK3W sebagai suatu badan pembantu di tingkat propinsi ialah memberikan saran-saran dan pertimbangan, baik diminta maupun tidak, kepada pemerintah di propinsi cq. Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja, selanjutnya dalam Keputusan ini disebut Ka.Kanwil, mengenai masalah-masalah di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta membantu pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja di propinsi tersebut.
c. Tugas pokok P2K3 sebagai suatu badan pembantu di tempat kerja ialah memberikan saran-saran dan pertimbangan, baik diminta maupun tidak, kepada pengusaha/pengurus tempat kerja yang bersangkutan mengenai masalah-masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Fungsi
Untuk dapat melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pasal ini:
a. DK3N berfungsi menghimpun dan mengolah segala data dan/atau permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat nasional dan propinsi-propinsi yang bersangkutan serta membantu Menteri dalam: membina DK3W, melaksanakan penelitian, pendidikan, latihan, pengembangan dan upaya memasyarakatkan dan membudayakan keselamatan dan kesehatan kerja.
b. DK3W berfungsi menghimpun dan mengolah segala data dan/atau permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja di propinsi yang bersangkutan serta membantu Ka.Kanwil dalam membina P2K3.
c. P2K3 berfungsi menghimpun dan mengolah segala data dan/atau permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersangkutan, serta membantu pengusaha/pengurus tempat kerja mengadakan serta meningkatkan penyuluhan, pengawasan, latihan, dan penelitian keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja yang bersangkutan.
(3) Penunjang operasional
a. Agar tugas pokok dan fungsinya dapat diselenggarakan seefektif mungkin, DK3N dapat membentuk dan atau menunjuk badan usaha non komersial yang melakukan kegiatan-kegiatan penyuluhan, penelitian, pendidikan, latihan, konsultasi dan lain- lain dibidang keselamatan dan kesehatan kerja.
b. DK3N dan DK3W dapat membentuk komisi khusus untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan olehnya.
Pasal 3
Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja
(1) Pembentukan dan susunan.
a. DK3N dibentuk oleh Menteri dan terdiri dari seorang Ketua beberapa orang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, seorang Wakil Sekretaris, masing-masing merangkap anggota dan Anggota.
b. DK3W dibentuk oleh Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, selanjutnya dalam Keputusan Menteri ini disebut Dirjen, dan terdiri dari seorang Ketua, dua orang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, seorang Wakil Sekretaris, masing-masing merangkap anggota dan Anggota.
(2) Tata kerja.
a. Hubungan kerja antara DK3N dengan Menteri, DK3W dengan Ka.Kanwil dan P2K3 dengan pengusaha/pengurus tempat kerja yang bersifat menunjang.
b. Hubungan kerja antara DK3N dengan DK3W dan DK3W dengan P2K3 bersifat koordinatif.
c. Baik DK3N maupun DK3W dapat mengadakan kerja sama dengan badan pemerintah/non Pemerintah lainnya.
Pasal 4
Keanggotaan
(1) a. DK3N beranggotakan unsur-unsur Pemerintah, organisasi buruh/karyawan, organisasi pengusaha, organisasi profesi dibidang keselamatan dan kesehatan kerja dan badan-badan lain yang dianggap perlu.
b. Anggota DK3N diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul tertulis dari instansi/badan/organisasi yang diwakilinya.
(2) a. DK3W beranggotakan unsur-unsur Pemerintah, organisasi buruh/karyawan, organisasi pengusaha, dan badan-badan lain yang dianggap perlu dan P2K3.
b. Anggota DK3W diangkat dan diberhentikan oleh Dirjen atas usul tertulis dari instansi/badan/organisasi yang diwakilinya dan yang disampaikan lewat Ka. Kanwil.
(3) a. P2K3 beranggotakan unsur-unsur organisasi buruh/karyawan, dan pengusaha/ pengurus tempat kerja.
b. Anggota P2K3 diangkat oleh pengusaha dan disahkan oleh Ka Kanwil.
Pasal 5
Tugas Kewajiban dan Hak Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris dan Anggota.
(1) Tugas ketua dan wakil ketua
a. Tugas DK3N, DK3W, dan P2K3 memimpin dan mengkoordinasi kegiatan Dewan/Panitia masing-masing.
b. Dalam melaksanakan tugasnya Ketua dibantu oleh Wakil Ketua atau Wakil-Wakil Ketua.
c. Apabila Ketua berhalangan, tugasnya dilaksanakan oleh salah seorang Wakil Ketua
(2) Tugas sekretaris dan wakil sekretaris
a. Sekretris DK3N, DK3W dan P2K3 memimpin dan mengkoordinasi penyelenggaraan tugas-tugas Sekretariat dan melaksanakan keputusan Dewan/Panitia, antara lain
- menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan Dewan/Panitia;
- menyampaikan undangan rapat dan bahan rapat kepada anggota;
- menyelenggarakan dokumentasi;
- melakukan semua pekerjaan ketatausahaan;
- mengelola kerumah-tanggaan Dewan/Panitia.
b. Disamping tugas sebagaimana tercantum dalam huruf a, Sekretaris DK3N bertindak pula sebagai pejabat pelaksana harian dari tugas-tugas eksekutif yang diserahkan kepada DK3N.
c. Dalam melaksanakan tugasnya Sekretaris dibantu oleh Wakil Sekretaris.
d. Apabila Sekretaris berhalangan tugasnya dilaksanakan oleh Wakil Sekretaris
(3) Tugas anggota ialah:
a. Mengikuti rapat-rapat dan melakukan pembahasan atas persoalan yang diajukan dalam rapat
b. Melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Dewan/Panitia masing-masing.
(4) Setiap anggota berhak untuk mengusulkan diadakannya pembahasan dan tindak lanjut yang diperlukan mengenai masalah-masalah keselamatan dan kesehatan kerja yang dianggap perlu.
Pasal 6
Rapat-Rapat
(1) Rapat DK3N diadakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali tiap 3 (tiga) bulan dan dipimpin oleh Ketua DK3N.
Apabila Ketua DK3N berhalangan memimpin rapat, maka rapat dipimpin oleh salah seorang Wakil Ketua. Apabila tidak ada salah satu Wakil Ketua yang dapat memimpin rapat, rapat dipimpin oleh Sekretaris DK3N.
(2) Rapat DK3W diadakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali tiap 3 (tiga) bulan dan dipimpin oleh Ketua DK3W.
Apabila Ketua DK3W berhalangan memimpin rapat, maka rapat dipimpin oleh salah seorang Wakil Ketua. Apabila tidak ada salah satu Wakil Ketua yang dapat memimpin rapat, rapat dipimpin oleh Sekretaris DK3W.
(3) Rapat P2K3 sekurang-kurangnya diadakan 1 (satu) kali tiap 1 (satu) bulan dan dipimpin oleh Ketua P2K3.
Apabila Ketua P2K3 berhalangan, rapat dipimpin oleh Sekretaris P2K3.
(4) DK3N dapat mengadakan rapat konsultasi dengan DK3W 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
DK3W dapat mengadakan rapat konsultasi dengan P2K3 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(5) Rapat yang diadakan DK3N, DK3W dan P2K3 adalah sah apabila dihadiri sekurang- kurangnya separuh tambah 1 (satu) dari jumlah anggota masing-masing.
(6) Keputusan dapat diambil dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pasal 7
Pembiayaan
Dana yang diperlukan untuk membiayai pelaksanaan tugas DK3N, DK3W dan P2K3 diatur sebagai berikut:
a. untuk DK3N diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja, dengan tidak menutup kemungkinan bantuan dari Departemen Teknis serta sumber lain yang sah.
b. Untuk DK3W diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja, dengan tidak menutup kemungkinan bantuan dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan serta sumber lain yang sah.
c. Untuk P2K3 diperoleh dari perusahaan/instansi tempat kerja yang bersangkutan.
Pasal 8
Pertanggung Jawaban
(1) DK3N wajib melaporkan kegiatan yang berkenaan dengan pasal 2 ayat (3) dan sumber dana serta mempertanggung jawabkan penggunaan dana sebagaimana dimaksud pasal 7 huruf a, setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri.
(2) DK3W wajib melaporkan sumber dana dan mempertanggung jawabkan penggunaan dana sebagaimana dimaksud pasal 7 huruf b setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri.
Pasal 9
Penutup
(1) Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan Menteri ini ditetapkan lebih lanjut oleh Dirjen.
(2) Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan sebelum ini yang tidak sesuai dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku. (3) Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Juni 1984
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEDOMO
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : KEP. 174/MEN/1986 NOMOR: 104/KPTS/1986 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA TEMPAT KEGIATAN KONSTRUKSI
Menimbang :
a. bahwa pekerjaan konstruksi merupakan kompleksitas kerja yang melibatkan bahan bangunan, peralatan, penerapan teknologi. dan tenaga kerja, dapat merupakan sumber terjadinya kecelakaan kerja;
b. bahwa tenaga kerja dibidang kegiatan konstruksi selaku sumber daya yang dibutuhkan bagi kelanjutan pembangunan, perlu memperoleh perlindungan keselamatan kerja, khususnya terhadap ancaman kecelakaan kerja;
c. bahwa untuk itu perlu penerapan norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja pada tempat kegiatan konstruksi secara sungguh- sungguh;
d. bahwa untuk itu perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
2. Government Besluit Nomor 9 Tahun 1941 tentang Syarat-syarat
Umum untuk Pelaksanaan Bangunan Umum yang dilelangkan;
3. Keputusan Presiden Nomor 45/M Tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan IV;
4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 yo. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1964 tentang Susunan Organisasi Departemen- Departemen;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 01/Men/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruks Bangunan.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Ke- giatan Konstruksi.
Pasal 1
Sebagai persyaratan teknis pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmi- grasi Nomor PER. 01/Men/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan, maka ditetapkan sebagai petunjuk umum berlakunya Buku Pedoman Pelaksanaan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi, yang selanjutnya disebut Buku Pedoman dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada kegiatan Bersama ini.
Pasal 2
Setiap Pengurus Kontraktor, Pemimpin Pelaksanaan Pekerjaan atau Bagian Pekerjaan dalam pelaksanaan kegiatan konstruksi, wajib memenuhi syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja seperti ditetapkan dalam Buku Pedoman tersebut pasal 1
Pasal 3
Menteri Pekerjaan Umum berwenang memberikan sanksi administrasi terhadap pihak- pihak yang tersebut pasal 2 dalam hal tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimak- sudkan dalam Buku Pedoman.
Pasal 4
Hal-hal yang menyangkut pembinaan dalam penerapan Keputusan Bersama ini dilak- sanakan secara koordinasi oleh Kantor Pusat, Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pekerjaan Umum setempat.
Pasal 5
Sebagai pelaksanaan terhadap penerapan pasal 4 Keputusan Bersama ini, maka Menteri
Tenaga Kerja dapat menunjuk Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja bidang Konstruksi di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum atas usul Menteri Pekerjaan Umum, sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (6) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Pasal 6
Pengawasan atas pelaksanaan Keputusan Bersama ini, dilakukan secara fungsional oleh Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pekerjaan Umum sesuai ruang lingkup tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Pasal 7
Hal-hal yang belum diatur di dalam Keputusan Bersama ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 8
Keputusan Bersama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Maret 1986
SUYONO SOSRODARSONO SUDOMO
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA No: KEP. 1135/MEN/1987 TENTANG BENDERA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Menimbang:
a. bahwa usaha keselamatan dan kesehatan kerja mempunyai peranan penting dalam penigkatan produktivitas kerja;
b. bahwa dalam rangka memasyarakatkan usaha keselamatan dan kesehatan kerja, perlu diberikan identitas berupa bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
c. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
2. Keputusan Presiden RI No. 45/M Tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan IV;
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep.199/MEN/1983 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep.13/MEN/1984 tentang Pola Kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
MEMUTUSKAN
Menetapkan
PERTAMA : Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dengan warna dasar putih dan berlambang Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta logo “Utamakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja”.
KEDUA : Lambang sebagaimana Dimaksud amar Pertama berbentuk palang warna hijau dilingkari dengan roda bergigi sebelas berwarna hijau.
KETIGA : Bentuk dan ukuran Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Lampiran I dan II Surat Keputusan ini.
KEEMPAT : Arti dan makna lambang pada Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah seperti tercantum dalam Lampiran III Surat Keputusan ini.
KELIMA : Tata cara pemasangan Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah seperti tercantum dalam Lampiran IV Surat Keputusan ini.
KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 03 Agustus 1997
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.333/MEN/1989 TENTANG DIAGNOSIS DAN PELAPORAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Menimbang:
a. bahwa terhadap penyakit akibat kerja yang dianggap sebagai kece- lakaan kerja diketemukan dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dapat diambil langkah-langkah serta kebijaksanaan serta penanggu- langannya;
b. bahwa untuk mempermudah dan mempercepat penyampaian laporan mengenai penyakit akibat kerja perlu ditetapkan bentuk laporan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1. Udang-undang No. 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947.
2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamtan Kerja.
3. Keputusan Presiden No. 4 tahun 1987 tentang Struktur Organisasi Departemen;
4. Keputusan Presiden No. 64/M Tahun 1988 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan V;
5. Peraturan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER- 02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelengaraan Keselamatan Kerja
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehaan Kerja.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA TENTANG DIAGNOSIS DAN PELAPORAN PENYAKIT AKIBAT KERJA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Penyakit akibat kerja adalah sebagaimana dimaksud dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-01/Men/1981.
(2) Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja adalah pemeriksaan berkala dan khusus sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. Per- 02/Men/1980 dan penyakit akibat kerja yang diketemukan sewaktu penye-lenggaraan kesehatan tenaga kerja.
Pasal 2
(1) Penyakit akibat kerja dapat diketemukan atau didiagnosis sewaktu dilaksanakan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja;
(2) Dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) harus ditentukan apakah penyakit yang diderita tenaga kerja merupakan penyakit akibat kerja atau bukan.
Pasal 3
(1) Diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan melalui serangkaian pemeriksaan klinis dan pemeriksaan kondisi pekerja serta lingkungannya untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara penyakit dan pekerjaannya;
(2) Jika terdapat keragu-raguan dalam menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa kesehatan dapat dikonsultasikan kepada Dokter Penasehat Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud Undang-undang N0. 2 tahun 1951 dan bila diperlukan dapat juga dikonsultasikan kepada dokter ahli yang bersangkutan;
(3) Setelah ditegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa maka dokter wajib membuat laporan medik.
Pasal 4
(1) Penyakit akibat kerja yang ditemukan sebagaimana dimaksud pasal 2 harus dilaporkan oleh pengurus tempat kerja yang bersangkutan bekerja selambat- lambatnya 2 x 24 jam kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat;
(2) Untuk melaporkan penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) harus menggunakan bentuk B2/F5, B3, 4/F6, B88/F7 sebagai dimaksud Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-511/Men/1985 serta bentuk laporan sebagaimana tersebut lampiran I dan II dalam Keputusan Menteri ini;
(3) Laporan medik tentang penyakit akibat kerja sebagimana dimaksud ayat (1) disampaikan oleh pengurus kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dalam amplop tertutup dan bersifat rahasia untuk dievaluasi oleh dokter penasehat sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 2 tahun 1951.
Pasal 5
(1) Pelanggaran terhadap pasal 4 ayat (1) dari Keputusan Menteri ini diancam dengan hubungan sebagaimana dimaksud pada pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1970;
(2) Tindak pidana tersebut pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 6
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 01 Juli 1989
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DRS. COSMAS BATUBARA
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.245/MEN/1990 TENTANG HARI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA NASIONAL
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menyukseskan pembangunan Nasional, mutlak diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berwawasan keselamatan dan kesehatan kerja;
b. bahwa untuk maksud itu perlu upaya memasyarakatkan dan membudayakan keselamatan dan kesehatan kerja bagi seluruh lapisan masyarakat;
c. bahwa untuk menciptakan momentum bagi upaya memasya- rakatkan dan membudayakan keselamatan dan kesehatan kerja perlu ditetapkan Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional yang bertepatan dengan hari diundangkannya Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
d. bahwa untuk itu Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional perlu ditetapkan dengan keputusan Menteri.
Mengingat :
1. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
2. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
Memperhatikan : Surat Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia No. B.2657/M.
Sesneg/12/1989 tanggal 28 Desember 1989.
MEMUTUSKAN
Menetapkan
PERTAMA : Tanggal 12 Januari ditetapkan sebagai Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional.
KEDUA : Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional sebagaimana dimaksud Amar PERTAMA diperingati setiap tahun secara Nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia.
KETIGA : Peringatan Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja diisi dengan kegiatan-kegiatan yang terus meningkatkan pengenalan, kesadaran, penghayatan dan pengamalan keselamatan dan kesehatan kerja sehingga membudaya di kalangan masyarakat Indonesia.
KEEMPAT : Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja atau Pejabat yang ditunjuknya menggerakan, mengarahkan dan mengkoordinir pelaksanaan peringatan hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional sebagaimana dimaksud dalam Amar PERTAMA.
KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 07 Mei 1990
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DRS. COSMAS BATUBARA
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.51/MEN/1999 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DI TEMPAT KERJA
Menimbang:
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, perlu ditetapkan Nilai Ambang Batas Fisika di tempat kerja;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
3. Keputusan Presiden R.I. Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.28/MEN/1994 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DI TEMPAT KERJA.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;
2. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja melakukan pekerjaan atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya;
3. Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu;
4. Faktor fisika adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika yang dalam keputusan ini terdiri dari iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro dan sinar ultra ungu;
5. Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaannya;
6. Suhu kering (Dry Bulb Temperature) adalah suhu yang ditunjukan oleh termometer suhu kering;
7. Suhu basah alami (Natural Wet Bulb Temperature) adalah suhu yang ditunjukan oleh termometer bola basah alami (Natural Wet Bulb Thermometer).
8. Suhu bola (Globe Temperature) adalah suhu yang ditunjukan oleh termometer bola (Globe Thermometer).
9. Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb Globe Temperature Index) yang disingkat ISBB adalah parameter untuk menilai tingkat iklim kerja yang merupakan hasil perhitungan antara suhu udara kering, suhu basah alami dan suhu bola.
10. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran;
11. Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya
12. Radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro (microwave) adalah radiasi elektromagnetik dengan frekuensi 30 kilo Hertz sampai 300 Giga Hertz.
13. Radiasi ultra ungu (Ultraviolet) adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang 180 nano meter sampai 400 nano meter (nm).
14. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu kegiatan kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri;
15. Pengusaha adalah :
a. Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu menggunakan tempat kerja;
b. Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu menggunakan tempat kerja;
c. Orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b jikalau yang diwakili berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
16. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri;
17. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
NAB iklim kerja menggunakan parameter ISBB sebagaimana tercantm dalam Lampiran 1.
Pasal 3
(1) NAB kebisingan ditetapkan sebesar 85 desi Bell A (dB A).
(2) Kebisingan yang melampaui NAB, waktu pemajanan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
Pasal 4
(1) NAB getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak langsung pada lengan dan tangan tenaga kerja ditetapkan sebesar 4 meter per detik kuadrat (m/det2).
(2) Getaran yang melampaui NAB, waktu pemajanan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III.
Pasal 5
NAB radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV.
Pasal 6
(1) NAB radiasi sinar ultra ungu ditetapkan sebesar 0,1 mikro Watt per sentimeter persegi (µW/cm2).
(2) Radiasi ultra ungu yang melampaui NAB waktu pemajanan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.
Pasal 7
(1) Pengukuran dan penilaian faktor fisika di tempat kerja dilaksanakan oleh Pusat dan atau Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja atau pihak-pihak lain yang ditunjuk.
(2) Persyaratan pihak lain untuk dapat ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
(3) Hasil pengukuran dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pimpinan perusahaan atau pengurus perusahaan dan kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.
Pasal 8
Pelaksanaan pengukuran dan penilaian faktor fisika di tempat kerja berkoordinasi dengan kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.
Pasal 9
Peninjauan NAB faktor fisika di tempat kerja dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 10
Pengusaha atau pengurus harus melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri ini.
Pasal 11
Dengan berlakunya Keputusan Menteri ini, maka Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor SE-01/MEN/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Iklim Kerja dan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kebisingan di tempat kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 12
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tangga ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 April 1999
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA No. : KEP.186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA
Menimbang:
a. bahwa kebakaran di tempat kerja berakibat sangat merugikan baik bagi perusahaan, pekerja maupun kepentingan pembangunan nasional, oleh karena itu perlu ditanggulangi;
b. bahwa untuk menaggulangi kebakaran di tempat kerja, diperlukan adanya peralatan proteksi kebakaran yang memadai, petugas penanggulangan kebakaran yang ditunjuk khusus untuk itu, serta dilakukannya prosedur penanggulangan keadaan darurat;
c. bahwa agar petugas penanggulangan kebakaran di tempat kerja dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, perlu diatur ketentuan tentang unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1. Undang-undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
2. Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara R.I. Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
3. Keputusan Presiden R.I. Nomor 122/M/1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-02/Men/1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/Men/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan Dan Kesehatan Kerja;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 28/1994 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
b. Tenaga kerja ialah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubugan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
c. Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kabakaran dengan berbagai upaya pengendalan setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk memberantas kebakaran.
d. Unit penanggulangan kebakaran ialah unit kerja yang dibentuk dan ditugasi untuk menangani masalah penanggulangan kebakaran di tempat kerja yang meliputi kegiatan administrasi, identifikasi sumber-sumber bahaya, pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan sistem proteksi kebakaran.
e. Petugas peran penanggulangan kebakaran ialah petugas yang ditunjuk dan diserahi tugas tambahan untuk mengidentifikasi sumber bahaya dan melaksanakan upaya penanggulangan kebakaran di unit kerjanya.
f. Regu penanggulangan kebakaran ialah satuan tugas yang mempunyai tugas khusus fungsional di bidang penanggulangan kebakaran.
g. Ahli keselamatan kerja ialah tenaga teknis yang berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
h. Pegawai pengawas ialah tenaga berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
i. Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
j. Pengusaha ialah:
1) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
k. Menteri ialah menteri yang membidangi ketenagakerjaan.
Pasal 2
(1) Pengurus atau pengusaha wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, latihan penanggulanggan kebakaran di tempat kerja.
(2) Kewajiban mencegah, megurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengendalian setiap bentuk energi;
b. Penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi;
c. Pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;
d. Pembentukan unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja;
e. Penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;
f. Memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat kerja yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.
(3) Pengendalian setiap bentuk energi, penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi serta pengendalian penyebaran asap, panas dan gas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(4) Buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, memuat antara lain:
a. Informasi tentang sumber potensi bahaya kebakaran dan cara pencegahannya;
b. Jenis, cara pemeliharaan dan penggunaan sarana proteksi kebakaran di tempat kerja;
c. Prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;
d. Prosedur dalam menghadapi keadaan darurat bahaya kebakaran.
BAB II PEMBENTUKAN UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN
Pasal 3
Pembentukan unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran.
Pasal 4
(1) Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri:
a. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran ringan;
b. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran ringan sedang I;
c. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran ringan sedang II;
d. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran ringan sedang III dan;
e. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran berat.
(2) Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.
(3) Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan tersendiri oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 5
Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:
a. Petugas peran kebakaran;
b. Regu penanggulangan kebakaran;
c. Koordinator unit penanggulangan kabakaran;
d. Ahli K3 spesialis penaggulangan kebakaran sebagai penaggungjawab teknis.
Pasal 6
(1) Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, sekurang- kurangnya 2 (dua) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 25 (dua puluh lima) orang.
(2) Regu penanggulangan kebakaran dan ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dan huruf d, ditetapkan untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I yang mempekerjakan tenaga kerja 300 (tiga ratus) orang, atau lebih, atau setiap tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran sedang II, sedang III dan berat.
(3) Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c, ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 100 (seratus) orang;
b. Untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran sedang II dan sedang III dan berat, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap unit kerja.
BAB III TUGAS DAN SYARAT UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN
Pasal 7
(1) Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a mempunyai tugas:
a. mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran;
b. memadamkan kebakaran pada tahap awal;
c. mengarahkan evakuasi orang dan barang;
d. mengadakan koordinasi dengan instansi terkait;
e. mengamankan lokasi kebakaran.
(2) Untuk dapat ditunjuk menjadi petugas peran kebakaran harus memenuhi syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. pendidikan minimal SLTP;
c. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I.
Pasal 8
(1) Regu penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b mempunyai tugas:
a. mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran;
b. melakukan pemeliharaan sarana proteksi kebakaran;
c. memberikan penyuluhan tentang penanggulangan kebakaran pada tahap awal;
d. membantu menyusun baku rencana tanggap darurat penanggulangan kebakaran;
e. memadamkan kebakaran;
f. mengarahkan evakuasi orang dan barang;
g. mengadakan koordinasi dengan instansi terkait;
h. memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan;
i. mengamankan seluruh lokasi tempet kerja;
j. melakukan koordinasi seluruh petugas peran kebakaran.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai anggota regu penanggulangan kebakaran harus memenuhi syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun;
c. pendidikan minimal SLTA;
d. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I dan tingkat dasar II.
Pasal 9
(1) Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c mempunyai tugas:
a. memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi yang berwenang;
b. menyusun program kerja dan kegiatan tentang cara penanggulangan kebakaran;
c. mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kebakaran kepada pengurus.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai koordinator unit penanggulangan kebakaran harus memenuhi syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. pendidikan minimal SLTA;
c. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;
d. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama.
Pasal 10
(1) Ahli K3 sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) mempunyai tugas:
a. membantu mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang penanggulangan kebakaran;
b. memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
c. merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan atau instansi yang didapat berhubungan dengan jabatannya;
d. memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi yang berwenang;
e. menyusun program kerja atau kegiatan penanggulangan kebakaran;
f. mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kebakaran kepada pengurus;
g. melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
(2) Syarat-syarat Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran adalah:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. pendidikan minimal D3 teknik;
c. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;
d. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama dan Tingkat Ahli Madya;
e. memiliki surat penunjukkan dari menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran mempunyai wewenang:
a. memerintahkan, menghentikan dan menolak pelaksanaan pekerjaan yang dapat menimbulkan kebakaran dan peledakan;
b. meminta keterangan atau informasi mengenai pelaksanaan syarat-syarat K3 di bidang kebakaran di tempat kerja.
Pasal 11
Tata cara penunjukan Ahli K3 sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf e, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 12
Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2), pasal 8 ayat (2), pasal 9 ayat (2), dan pasal 10 ayat (2) harus sesuai kurikulum dan silabi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Menteri ini.
Pasal 13
(1) Tenaga kerja yang telah mengikuti kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pada pasal 12 berhak mendapat sertifikat.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanda tangani oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 14
(1) Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 diselenggarakan oleh Perusahaan Jasa Pembinaan K3 yang telah ditunjuk oleh menteri atau pejebat yang ditunjuk.
(2) Penunjukan perusahaan jasa pembinaan K3 sebagaimana disebut pada ayat (1) didasarkan pada kualifikasi tenaga ahli, instruktur dan fasilitas penunjang yang dimilikinya.
BAB IV PENGAWASAN
Pasal 15
Pegawai pengawas ketenagakerjaan melaksakan pengawasan terhadap ditaatinya Keputusan Menteri ini.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pengurus atau pengusaha yang telah membentuk unit penanggulangan kebakaran sebelum keputusan ini di tetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri ini.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : KEP.186/MEN/1999
TANGGAL : 29 SEPTEMBER 1999
DAFTAR JENIS TEMPAT KERJA BERDASARKAN KLASIFIKASI POTENSI BAHAYA KEBAKARAN
KLASIFIKASI
JENIS TEMPAT KERJA
Bahaya Kebakaran Ringan
Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, sehingga menjalarnya api lambat. - Tempat ibadah
- Gedung/ruang Perkantoran
- Gedung/ruang Pendidikan
- Gedung/ruang Perumahan
- Gedung/ruang Perawatan
- Gedung/ruang Restorant
- Gedung/ruang Perpustakaan
- Gedung/ruang Perhotelan
- Gedung/ruang Lembaga
- Gedung/ruang Rumah Sakit
- Gedung/ruang Museum
- Gedung/ruang Penjara
Bahaya Kebakaran Sedang 1
Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 meter, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga menjalarnya api sedang. - Tempat Parkir
- Pabrik Elektronika
- Pabrik Roti
- Pabrik barang gelas
- Pabrik minuman
- Pabrik permata
- Pabrik pengalengan
- Binatu
- Pabrik susu
Bahaya Kebakaran Sedang 2
Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, menimbun bahan dengan tinggi lebih dari 4 meter, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga menjalarnya api sedang. - Penggilingan padi
- Pabrik bahan makanan
- Percetakan dan penerbitan
- Bengkel mesin
- Gudang pendinginan
- Perakitan kayu
- Gudang perpustakaan
- Pabrik bahan keramik
- Pabrik tembakau
- Pengolahan logam
- Penyulingan
- Pabrik barang kelontong
- Pabrik barang kulit
- Pabrik tekstil
- Perakitan kendaraan bermotor
- Pabrik kimia (bahan kimia dengan kemudahan terbakar sedang)
- Pertokoan dengan pramuniaga kurang dari 50 orang
Bahaya Kebakaran Sedang 3
Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi, sehingga menjalarnya api cepat. - Ruang pameran
- Pabrik permadani
- Pabrik makanan
- Pabrik sikat
- Pabrik ban
- Pabrik karung
- Bengkel mobil
- Pabrik sabun
- Pabrik tembakau
- Pabrik lilin
- Studio dan pemancar
- Pabrik barang plastic
- Pergudangan
- Pabrik pesawat terbang
- Pertokoan dengan pramuniaga lebih dari 50 orang
- Penggergajian dan pengolahan kayu
- Pabrik makanan kering dari bahan tepung
- Pabrik minyak nabati
- Pabrik tepung terigu
- Pabrik pakaian
Bahaya Kebakaran Berat
Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, menyimpan bahan cair, serat atau bahan lainnya dan apabila terjadi kebakaran apinya cepat membesar dengan melepaskan panas tinggi, sehingga menjalarnya api cepat. - Pabrik kimia dengan kemudahan terbakar tinggi
- Pabrik kembang api
- Pabrik korek api
- Pabrik cat
- Pabrik bahan peledak
- Pemintalan benang atau kain
- Penggergajian kayu dan penyelasaiannya menggunakan bahan mudah terbakar
- Studio film dan Televisi
- Pabrik karet buatan
- Hangar pesawat terbang
- Penyulingan minyak bumi
- Pabrik karet busa dan plastik busa
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : KEP.187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA
Menimbang:
a. bahwa kegiatam industri yang mengolah, menyimpan, mengedarkan, mengangkut dan mempergunakan bahan-bahan kimia berbahaya akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan pembangunan sehingga berpotensi untuk menimbulkan bahaya besar bagi industri, tenaga kerja, lingkungan maupun sumber daya lainnya;
b. bahwa untuk mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja, akibat penggunaan bahan kimia berbahaya di tempat kerja maka perlu diatur pengendaliannya;
c. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 612/Men/1989 tentang Penyedian Data Bahan Berbahaya terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja sudah tidak sesuai lagi maka perlu disempurnakan. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
2. Keputusan Presiden No. 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per. 02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per. 02/Men/1992 tentang Tata Cara Penunjukan Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan kerja;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per. 04/Men/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
a. Bahan Kimia Berbahaya adalah bahan kimia dalam bentuk tunggal atau campuran yang berdasarkan sifat kimia atau fisika dan atau toksikologi berbahaya terhadap tenaga kerja, instalasi dan lingkungan.
b. Nilai Ambang Kuantitas yang selanjutnya disebut NAK adalah standar kuantitas bahan kimia berbahaya untuk menetapkan potensi bahaya bahan kimia di tempat kerja.
c. Pengendalian bahan kimia berbahaya adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko akibat penggunaan bahan kimia berbahaya di tempat kerja terhadap tenaga kerja, alat-alat kerja dan lingkungan.
d. Lethal Dose 50 (LD50) adalah dosis yang menyebabkan kematian pada 50% binatang percobaan.
e. Lethal Concentration 50 (LC50) adalah konsentrasi yang menyebabkan kematian pada 50% binatang percobaan. f. Pengusaha adalah :
1. Orang, perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang, perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang, perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
g. Pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin langsung suatu kegiatan kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
h. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
i. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja, melakukan pekerjaan atau sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha, dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
j. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
k. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
l. Direktur adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 4 UU No. 1 Tahun 1970.
m. Menteri adalah menteri yang membidangi ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pengusaha atau pengurus yang menggunakan, menyimpan, memakai, memproduksi dan mengangkut bahan kimia berbahaya di tempat kerja wajib mengendalikan bahan kimia berbahaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Pasal 3
Pengendalian bahan kimia berbahaya sebagaimana dimaksud pasal 2 meliputi :
a. penyediaan Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) dan label;
b. penunjukan petugas K3 Kimia dan Ahli K3 Kimia.
BAB I PENYEDIAAN DAN PENYAMPAIAN LEMBAR DATA KESELAMATAN BAHAN DAN LABEL
Pasal 4
(1) Lembar data keselamatan bahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a meliputi keterangan tentang :
a. Identitas bahan dan perusahaan;
b. Komposisi bahan;
c. Identifikasi bahaya;
d. Tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K);
e. Tindakan penanggulangan kebakaran;
f. Tindakan mengatasi kebocoran dan tumpahan;
g. Penyimpanan dan penanganan bahan;
h. Pengendalian pemajanan dan alat pelindung diri;
i. Sifat fisika dan kimia;
j. Stabilitas dan reaktifitas bahan;
k. Informasi toksikologi;
l. Informasi ekologi;
m. Pembuangan limbah;
n. Pengangkutan bahan;
o. Informasi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
p. Informasi lain yang diperlukan.
(2) Bentuk lembar data keselamatan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai- mana tercantum dalam lampiran I Keputusan Menteri ini.
Pasal 5
Label sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a meliputi keterangan mengenai :
a. Nama produk;
b. Identifikasi bahaya;
c. Tanda bahaya dan artinya;
d. Uraian risiko dan penanggulangannya;
e. Tindakan pencegahan;
f. Instruksi dalam hal terkena atau terpapar;
g. Instruksi kebakaran;
h. Instruksi tumpahan atau bocoran;
i. Instruksi pengisian dan penyimpanan;
j. Referensi;
k. Nama, alamat dan nomor telepon pabrik pembuat atau distributor.
Pasal 6
Lembar Data Keselamatan Bahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan Label sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diletakkan di tempat yang mudah diketahui oleh tenaga kerja dan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
BAB III PENETAPAN POTENSI BAHAYA INSTALASI
Pasal 7
(1) Pengusaha atau Pengurus wajib menyampaikan Daftar Nama, Sifat dan Kuantitas Bahan Kimia Berbahaya di tempat kerja dengan mengisi formulir sesuai contoh seperti tercantum dalam Lampiran II Keputusan Menteri ini kepada Kantor Departemen/Dinas Tenaga Kerja setempat dengan tembusannya disampaikan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
(2) Kantor Departemen/Dinas Tenaga Kerja setempat selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima daftar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus meneliti kebenaran data tersebut.
Pasal 8
(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Kantor Departemen/Dinas Tenaga Kerja setempat menetapkan kategori potensi bahaya perusahaan atau industri yang bersangkutan;
(2) Potensi bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. Bahaya besar;
b. Bahaya menengah;
(3) Kategori potensi bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Nama, Kriteria serta Nilai Ambang Kuantitas (NAK) Bahan Kimia Berbahaya di tempat kerja.
Pasal 9
Kriteria bahan kimia berbahaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) terdiri dari:
a. Bahan beracun;
b. Bahan sangat beracun;
c. Cairan mudah terbakar;
d. Cairan sangat mudah terbakar;
e. Gas mudah terbakar;
f. Bahan mudah meledak;
g. Bahan reaktif;
h. Bahan oksidator.
Pasal 10
(1) Bahan kimia yang termasuk kriteria bahan beracun atau sangat beracun sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a dan b, ditetapkan dengan memperhatikan sifat kimia, fisika dan toksik.
(2) Sifat kimia, fisika dan toksik, bahan kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut :
a. Bahan beracun dalam hal pemajanan melalui Mulut : LD50 > 25 atau < 200 mg/kg berat badan, atau Kulit : LD50 > 25 atau < 400 mg/kg berat badan, atau Pernafasan : LC50 > 0,5 mg/l dan 2 mg/l;
b. Bahan sangat beracun dalam hal pemajanan melalui Mulut : LD50 = 25 mg/kg berat badan, atau Kulit : LD50 = 25 mg/kg berat badan, atau Pernafasan : LC50 = 0,5 mg/l.
Pasal 11
(1) Bahan kimia yang termasuk kriteria cairan mudah terbakar, cairan sangat mudah terbakar dan gas mudah terbakar, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c, d, dan e, ditetapkan dengan memperhatikan sifat kimia dan fisika.
(2) Sifat fisika dan kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Cairan mudah terbakar dalam hal titrik nyala > 21° C dan < 55° C pada tekanan 1 (satu) atmosfir;
b. Cairan sangat mudah terbakar dalam hal titik nyala < 21° C dan titik didih > 20°C pada tekanan 1 (satu) atmosfir;
c. Gas mudah terbakar dalam hal titik didih < 20° C pada tekanan 1 (satu) atmosfir.
Pasal 12
(1) Bahan kimia ditetapkan termasuk kriteria mudah meledak sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf f apabila reaksi kimia bahan tersebut menghasilkan gas dalam jumlah dan tekanan yang besar serta suhu yang tinggi, sehingga menimbulkan kerusakan disekelilingnya.
(2) Bahan kimia ditetapkan termasuk kriteria reaktif sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf g apabila bahan tersebut :
a. bereaksi dengan air, mengeluarkan panas dan gas yang mudah terbakar, atau
b. bereaksi dengan asam, mengeluarkan panas dan gas yang mudah terbakar atau beracun atau korosif.
(3) Bahan kimia ditetapkan termasuk kriteria oksidator, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf h apabila reaksi kimia atau penguraiannya menghasilkan oksigen yang dapat menyebabkan kebakaran.
Pasal 13
Nilai Ambang Kuantitasnya (NAK) bahan kimia yang termasuk kriteria beracun atau sangat beracun, sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dan mudah meledak atau reaktif sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan Menteri ini.
Pasal 14
Nilai Ambang Kuantitas (NAK) bahan kimia selain yang dimaksud dalam pasal 13 dite- tapkan sebagai berikut :
a. Bahan kimia kriteria beracun : 10 ton
b. Bahan kimia kriteria sangat beracun : 5 ton
c. Bahan kimia kriteria reaktif : 50 ton
d. Bahan kimia kriteria mudah meledak : 10 ton
e. Bahan kimia kriteria oksidator : 10 ton
f. Bahan kimia kriteria cairan mudah terbakar : 200 ton
g. Bahan kimia kriteria cairan sangat mudah terbakar : 100 ton
h. Bahan kimia kriteria gas mudah terbakar : 50 ton
Pasal 15
(1) Perusahaan atau industri yang mempergunakan bahan kimia berbahaya dengan kuantitas melebihi Nilai Ambang Kuantitas (NAK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 dikategorikan sebagai perusahaan yang mempunyai potensi bahaya besar.
(2) Perusahaan atau industri yang mempergunakan bahan kimia berbahaya dengan kuantitas sama atau lebih kecil dari Nilai Ambang Kuantitas (NAK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 dikategorikan sebagai perusahaan yang mempunyai potensi bahaya menengah.
BAB IV KEWAJIBAN PENGUSAHA ATAU PENGURUS
Pasal 16
(1) Perusahaan yang dikategorikan mempunyai potensi bahaya besar sebagaimana dimak- sud pada pasal 15 ayat (1) wajib :
a. Mempekerjakan petugas K3 Kimia dengan ketentuan apabila dipekerjakan dengan sistem kerja nonshift sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan apabila dipekerjakan dengan sistem kerja shift sekurang-kurangnya 5 (lima) orang.
b. Mempekerjakan Ahli K3 Kimia sekurang-kurangnya 1 (satu) orang;
c. Membuat dokumen pengendalian potensi bahaya besar;
d. Melaporkan setiap perubahan nama bahan kimia dan kuantitas bahan kimia proses dan modifikasi instalasi yang digunakan;
e. Melakukan pemeriksaan dan pengujian faktor kimia yang ada di tempat kerja sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali;
f. Melakukan pemeriksaan dan pengujian instalasi yang ada di tempat kerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali;
g. Melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(2) Pengujian faktor kimia dan instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f dilakukan oleh perusahaan jasa K3 atau instansi yang berwenang.
Pasal 17
(1) Perusahaan yang dikategorikan mempunyai potensi bahaya menengah sebagaimana dimaksud pada pasal 15 ayat (2) wajib :
a. Mempunyai petugas K3 Kimia dengan ketentuan apabila dipekerjakan dengan sistem kerja nonshift sekurang-kurangnya 1 (satu) orang, dan apabila dipekerjakan dengan mempergunakan shift sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang;
b. Membuat dokumen pengendalian potensi bahaya menengah;
c. Melaporkan setiap perubahan nama bahan kimia dan kuantitas bahan kimia proses dan modifikasi instalasi yang digunakan;
d. Melakukan pemeriksaan dan pengujian faktor kimia yang ada di tempat kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali;
e. Melakukan pemeriksaan dan pengujian instalasi yang ada di tempat kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali;
f. Melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(2) Pengujian faktor kimia dan instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan e dilakukan oleh perusahaan jasa K3 atau instansi yang berwenang.
Pasal 18
Hasil pengujian faktor kimia dan instalasi sebagaimana dimaksud pada pasal 16 ayat (2) dan pasal 7 ayat (2) dipergunakan sebagai acuan dalam pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja.
Pasal 19
(1) Dokumen pengendalian potensi bahaya besar sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf c sekurang-kurangnya memuat :
a. Identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko;
b. Kegiatan teknis, rancang bangun, konstruksi, pemilihan bahan kimia, serta pengoperasian dan pemeliharaan instalasi;
c. Kegiatan pembinaan tenaga kerja di tempat kerja;
d. Rencana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat;
e. Prosedur kerja aman.
(2) Dokumen pengendalian potensi bahaya menengah sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya memuat :
a. Identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko;
b. Kegiatan teknis, rancang bangun, konstruksi, pemilihan bahan kimia, serta pengoperasian dan pemeliharaan instalasi;
c. Kegiatan pembinaan tenaga kerja di tempat kerja;
d. Prosedur kerja aman.
(3) Tata cara pembuatan dan rincian isi dokumen pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Pasal 20
(1) Dokumen pengendalian potensi bahaya besar sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) disampaikan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja dengan tembusan kepada Kantor Departemen/Dinas Tenaga Kerja setempat.
(2) Dokumen pengendalian potensi bahaya menengah sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) disampaikan kepada Kantor Departemen/Dinas Tenaga Kerja setempat.
Pasal 21
(1) Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja dan Kantor Departemen/Dinas Tenaga Kerja setempat selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima dokumen pengendalian sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) dan (2) melakukan penelitian kebenaran isi dokumen tersebut.
(2) Kebenaran isi dokumen sebagaimana tersebut pada ayat (1) harus dinyatakan secara tertulis dengan membubuhkan tanda persetujuan.
(3) Dokumen pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dinyatakan kebenarannya sesuai ayat (2) dipergunakan sebagai acuan pengawasan pelaksanaan K3 di tempat kerja.
BAB V PENUNJUKAN PETUGAS K3 DAN AHLI K3 KIMIA
Pasal 22
(1) Petugas K3 Kimia sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf a dan pasal 17 ayat (1) huruf a mempunyai kewajiban :
a. Melakukan identifikasi bahaya;
b. Melaksanakan prosedur kerja aman;
c. Melaksanakan prosedur penanggulangan keadaan darurat;
d. Mengembangkan pengetahuan K3 bidang kimia.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai Petugas K3 Kimia ditetapkan :
a. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Tidak dalam masa percobaan;
c. Hubungan kerja tidak didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);
d. Telah mengikuti kursus teknis K3 Kimia.
(3) Kursus teknis Petugas K3 Kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dilaksanakan oleh perusahaan sendiri, perusahaan jasa K3, atau instansi yang berwenang dengan kurikulum seperti yang tercantum dalam Lampiran IV Keputusan Menteri ini.
(4) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebelum melakukan kursus harus melaporkan rencana pelaksanaan kursus teknis kepada Kantor Departemen/Dinas Tenaga Kerja setempat.
Pasal 23
(1) Ahli K3 Kimia sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf b mempunyai kewajiban :
a. Membantu mengawasi pelaksanaan praturan perundang-undangan K3 bahan kimia berbahaya;
b. Memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenai hasil pelaksanaan tugasnya;
c. Merahasiakan segala keterangan yang berkaitan dengan rahasia perusahaan atau instansi yang didapat karena jabatannya;
d. Menyusun program kerja pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja;
e. Melakukan identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko;
f. Mengusulkan pembuatan prosedur kerja aman dan penanggulangan keadaan darurat kepada pengusaha atau pengurus.
(2) Penunjukan Ahli K3 Kimia sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
(1) Penunjukan Petugas K3 Kimia sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ditetapkan berdasarkan permohonan tertulis dari Pengusaha atau Pengurus kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan penunjukan Petugas K3 Kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan :
a. Daftar riwayat hidup;
b. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter;
c. Surat keterangan pernyataan bekerja penuh dari perusahaan yang bersangkutan;
d. Fotocopy ijazah atau surat tanda tamat belajar terakhir;
e. Sertifikat kursus teknis petugas K3 Kimia.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan melaksanakan pengawasan terhadap ditaatinya Keputusan Menteri ini.
Pasal 26
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 612/Men/1989 tentang Penyediaan Data Bahan Berbahaya Terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 27
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : KEP.187/MEN/1999
TANGGAL : 29 SEPTEMBER 1999
LEMBAR DATA KESELAMATAN BAHAN
1. Identitas Bahan dan Perusahaan
Nama bahan : Rumus kimia : Code produksi : Synonim :
Nama Perusahaan (pembuat) atau distributor atau importir :
a. Nama perusahaan (pembuat) :
Alamat : Phone :
b. Nama distributor :
Alamat : Phone :
c. Nama Importir :
Alamat : Phone :
2. Komposisi Bahan
Bahan % berat CAS No. Batas pemajanan
3. Identifikasi Bahaya
- Ringkasan bahaya yang penting :
- Akibatnya terhadap kesehatan :
• Mata
• Kulit
• Tertelan
• Terhirup
• Karsinogenik
• Teratogenik
• Reproduksi
4. Tindakan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) terkena pada :
• Mata
• Kulit
• Tertelan
• Terhirup
5. Tindakan Penanggulangan Kebakaran
a. Sifat-sifat bahan mudah terbakar Titik nyala : °C ( F )
b. Suhu nyala sendiri : °C
c. Daerah mudah terbakar
Batas terendah mudah terbakar : %
Batas tertinggi mudah terbakar : %
d. Media pemadaman api : e. Bahaya khusus : f. Instruksi pemadaman api :
6. Tindakan Terhadap Tumpahan dan Kebocoran
a. Tumpahan dan kebocoran kecil
b. Tumpahan dan kebocoran besar
c. Alat pelindung diri yang digunakan
7. Penyimpanan dan Penanganan Bahan
a. Penanganan bahan
b. Pencegahan terhadap pemajanan
c. Tindakan pencegahan terhadap kebakaran dan peledakan d. Penyimpanan
e. Syarat khusus penyimpanan bahan
8. Pengendalian Pemajanan dan Alat Pelindung Diri
a. Pengendalian teknis
b. Alat Pelindung Diri (APD) :
Pelindung pemajanan mata, kulit, tangan, dll.
9. Sifat-sifat Fisika dan Kimia
a. Bentuk : padat/cair/gas
b. Bau :
c. Warna :
d. Masa jenis :
e. Titik didih :
f. Titik lebur :
g. Tekanan uap :
h. Kelarutan dalam air :
i. pH :
10. Reaktifitas dan Stabilitas
a. Sifat reaktifitas :
b. Sifat stabilitas :
c. Kondisi yang harus dihindari :
d. Bahan yang harus dihindari :
(incompatibility)
e. Bahan dekomposisi :
f. Bahaya polimerisasi :
11. Informasi Toksikologi
a. Nilai Ambang Batas (NAB) :
b. Terkena mata :
c. Tertelan LD50 (mulut) :
d. Terkena kulit :
e. Terhirup LC50 (pernafasan) :
f. Efek local :
g. Pemaparan jangka pendek (akut) :
h. Pemaparan jangka panjang (kronik) :
Karsinogen Teratogen Reproduksi Mutagen
12. Informasi Ekologi
a. Kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan
b. Degradasi lingkungan
c. Bio akumulasi
13. Pembuangan Limbah
14. Pengangkutan
a. Peraturan internasional b. Pengangkutan darat
c. Pengangkutan laut
d. Pengangkutan udara
15. Peraturan Perundang-undangan
16. Informasi lain yang diperlukan
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
I. BERACUN
NAMA BARANG NILAI AMBANG KUANTITAS (NAK)
1. Acetone Cyanohydrin (2-Cyanopropan-2-1) 200 ton
2. Acrolein (2-propenal) 200 ton
3. Acrylonitrile 20 ton
4. Allyl alcohol (2-propen-1-1) 200 ton
5. Allyamine 200 ton
6. Ammonia 100 ton
7. Bromine 10 ton
8. Carbon disulphide 200 ton
9. Chlorine 10 ton
10. Diphenyl methane di-isocynate (MDT) 200 ton
11. Ethylene dibromide (1,2-Dibromoetane) 50 ton
12. Etyleneimine 50 ton
13. Formaldehyde (concentration-90%) 20 ton
14. Hydrogen Chloride (Liquefied gas) 250 ton
15. Hydrogen cyanide 20 ton
16. Hydrogen fluoride 0 ton
17. Hydrogen sulphide 50 ton
18. Methyl bromide (bromomethane) 200 ton
19. Nitrogen oxides 50 ton
20. Proyleneimine 50 ton
21. Sulphur dioxide 20 ton
22. Sulphur trioxide 20 ton
23. Tetraethyl lead 50 ton
24. Tetramethyl lead 50 ton
25. Toluene di-isocyanate 100 ton
II. SANGAT BERACUN
NAMA BARANG NILAI AMBANG KUANTITAS (NAK)
1. Aldicarb 100 kilogram
2. 4-Aminodiphenyl 1 kilogram
3. Amiton 1 kilogram
4. Anabasine 100 kilogram
5. Arsenic pentoxide, arsenic (V) acid and salts 500 kilogram
6. Arsenic trioxide, arseninious (III) acid and salts 100 kilogram
7. Arsine (Arsenic hydride) 10 kilogram
8. Azinphos –ethyl 100 kilogram
9. Azinphos –ethyl 100 kilogram
10. Benzidine 1 kilogram
11. Benzidine salts 1 kilogram
12. Beryllium (powder compounds) 10 kilogram
13. Bis (2-chloroethyl) sulphide 1 kilogram
14. Bis (chloromethyl) ether 1 kilogram
15. Carboturan 100 kilogram
16. Carbophenothion 100 kilogram
17. Chiorfenvinphos 100 kilogram
18. 4-( chloroformyl) morpholine 1 kilogram
19. Chloromethyl methyl ether 1 kilogram
20. Cobalt (metal, oxide, carbonates and sulphides as powders) 1 ton
21. Crimidine 100 kilogram
22. Cyanthoate 100 kilogram
23. Cycloheximide 100 kilogram
24. Demeton 100 kilogram
25. Dialifos 100 kilogram
26. 00-Diethyl S-ethylsulphinylmethyl phosphorothioate 100 kilogram
27. 00- Diethyl S-ethylsulphonylmethyl phosphorothioate 100 kilogram
28. 00- Diethyl S-ethylthiomethyl phosphorothioate 100 kilogram
29. 00- Diethyl S-isopropylthiomethyl phosphorothioate 100 kilogram
30. 00- Diethyl S-propylthiomethyl phosphorodithioate 100 kilogram
31. Dimefox 100 kilogram
32. Dimethylcarbamoyl chloride 1 kilogram
33. Dimethylnitrosamine 1 kilogram
34. Dimethyl phosphoramidocyanidic acid 100 kilogram
35. Diphacinone 100 kilogram
36. Disulfoton 100 kilogram
37. EPN 100 kilogram
38. Ethion 100 kilogram
39. Fensulfothlon 100 kilogram
40. Fluenetil 100 kilogram
41. Fluoroacetic acid 1 kilogram
42. Fluoroacetic acid, esters 1 kilogram
43. Fluoroacetic acid, salts 1 kilogram
44. Fluoroacetic acid, amides 1 kilogram
45. 4- Flurobutyric acid 1 kilogram
46. 4- Flurobutyric acid, salts 1 kilogram
47. 4- Flurobutyric acid, amides 1 kilogram
48. 4- Flurocrotonic acid 1 kilogram
49. 4- Flurocrotonic acid, salts 100 kilogram
50. 4- Flurocrotonic acid, esters 100 kilogram
51. 4- Flurocrotonic acid, amides 1 kilogram
52. 4- Floro-2-hydroxybutyric acid 1 kilogram
53. 4- Floro-2-hydroxybutyric acid, salts 100 kilogram
54. 4- Floro-2-hydroxybutyric acid, ester 500 kilogram
55. 4- Floro-2-hydroxybutyric acid, amides 100 kilogram
56. Glycolonitrile (Hydroxyacetonitrile) 10 kilogram
57. 1,2,3,7,8,9-Hexachlorodibenzo-p-dioxin 100 kilogram
58. Hexamethylphosphoramide 100 kilogram
59. Hydrogen selenide 1 kilogram
60. Isobenzan 1 kilogram
61. isodrin 10 kilogram
62. Juglone (5-Hydroxynaphtalene-1, 4-dione) 1 kilogram
63. 4,4-Methylenebis (2-chloroaniline) 1 kilogram
64. Methyl isocyanate 100 kilogram
65. Mevinphos 100 kilogram
66. 2- Naphthylamide 100 kilogram
67. Nickel metal, oxides, carbonates and sulphides as powder 1 kilogram
68. Nickel tetracarbonyl 1 ton
69. Oxydisulfoton 100 kilogram
70. Oxygen difluoride 100 kilogram
71. Paraoxon (Diethyl 4-nitro-phenyl phosphate) 100 kilogram
72. Parathion 100 kilogram
73. Parathion 100 kilogram
74. Pentaborane 100 kilogram
75. Phorate 100 kilogram
76. Phosacetin 100 kilogram
77. Phosgene (Carbonyl chloride) 100 kilogram
78. Phosphamidon 100 kilogram
79. Phosphine (Hydrogen phosphide) 100 kilogram
80. Promarit (1-(3, 4-Dichlorophenyl)-3- triazenethiocarboxamide
100 kilogram
81. 1, 3- propanesultone 1 kilogram
82. 1-Propen-2-chloro-1, 3-diol diacetate 1 kilogram
83. Pyrazonon 100 kilogram
84. Selenium hexafluoride 10 kilogram
85. Sodium selenide 100 kilogram
86. Stibine (Antimony hydride) 100 kilogram
87. Sulfotep 100 kilogram
88. Sulphur dichloride 1 ton
89. Tellurium hexafluoride 100 kilogram
90. TEPP 100 kilogram
91. 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) 1 kilogram
92. Tetramethylene-disulphotetramine 1 kilogram
93. Thionazin 100 kilogram
94. Tripate (2, 4-Dimethyl-1, 3-dithiolane-2-carboxadihyde) 100 kilogram
95. Trichloromethanesulphenyl chloride 100 kilogram
96. 1-Tri (cycolohexy) stanny-1 H-1, 2,4-triazole 100 kilogram
97. Triethylenemelamine 10 kilogram
98. warfarin 100 kilogram
III. SANGAT REAKTIF
NAMA BARANG NILAI AMBANG KUANTITAS (NAK)
1. Acethylene (Ethyne) 50 ton
2. Ammonium nitrate (a) 500 ton
3. 2,2-Bis (tert-buthyperoxy)butane
(concentration 70%) 50 ton
4. 1,1-Bis (tert-buthylperoxy)cyclohexane
(concentration >80%) 50 ton
5. Tert-Buthyl peroxyacetate
(concentration >70%) 50 ton
6. Tert-Buthyl peroxypisobutyrate
(concentration >80%) 50 ton
7. Tert-Buthyl peroxypisoprophyl carbonate
(concentration >80%) 50 ton
8. Tert-Buthyl peroxypivalate
(concentration >77%) 50 ton
9. Dibenzyl peroxydicarbonate
(concentration >90%) 50 ton
10. Di-see-buthylperoxydicarbonate
(concentration >80%) 50 ton
11. Diethyl peroxydicarbonate
(concentration >30%) 50 ton
12. 2,2-Dihydroperoxypropane
(concentration >30%) 50 ton
13. Di-isobutiryl peroxide
(concentration >50%) 50 ton
14. Di-n-propyl peroxydicarbonate
(concentration >80%) 50 ton
15. Ethylene oxide 50 ton
16. Ethylene nitrate 50 ton
17. 3,3,6,6,9,9-hexamethyl-1,2,4-5 tetraxyclononane
(concentration >70%) 0 ton
18. Hydrogen 10 ton
19. Methyl ethyl ketone peroxide
(concentration >60%) 5 ton
20. Methyl isobuthyl ketone peroxide
(concentration >60%) 10 ton
21. Oxygen 500 ton
22. Peracetic acid
(concentration >60%) 50 ton
23. Propylene oxide 50 ton
24. Sodium chiorate 20 ton
IV. MUDAH MELEDAK
NAMA BARANG NILAI AMBANG KUANTITAS (NAK)
1. Barium azide 50 ton
2. Bis (2,4,6-trinitrophenyl)-amine 50 ton
3. Chlorotrinitrobenzene 50 ton
4. Cellulose nitrate
(containing >12,6% nitrogen) 50 ton
5. Cyclotetramethylene-trinitramine 50 ton
6. Cyclotriemethylene-trinitramine 50 ton
7. Diazodinitrophenol 10 ton
8. Diethylene glycol dinitrate 10 ton
9. Dinitrophenol, salts 50 ton
10. Ethylene glycol dinitrate 10 ton
11. 1-Guanyl-4-nitrosaminoguanyl-1-tetrazene 10 ton
12. 2,2,4,4,6,6-Hexanitrostilbene 50 ton
13. Hydrazine nitrate 50 ton
14. Lead azide 50 ton
15. Lead syphanate (lead 2,4,6-nitrotesorcinoxide) 10 ton
16. Mercury fulminate 50 ton
17. N-Methyl 2,4,6-tetranitroaniline 50 ton
18. Pentaerythritiol tetranitate Nitroglycerine 10 ton
19. Pentaerythritiol tetranitate 0 ton
20. Picric acid (2,4,6-Trinitrophenol) 50 ton
21. Sodium picramate 50 ton
22. Stypnic acid (2,4,6-trinitriphenol) 50 ton
23. 1,3,5-Triamino-2,4,6-trinitrobenzena 50 ton
24. Trinitroan 50 ton
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.75/MEN/2002 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI)
NOMOR : SNI-04-0225-2000 MENGENAI PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) DI TEMPAT KERJA
Menimbang:
a. bahwa dengan telah diterbitkannya Standar Nasional Indonesia (SNI) 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000), maka maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. PER-04/MEN/1988 tentang Berlakunya Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 225-1987 mengenai Peraturan Umum Instalasi Listrik Indonesia 1987 (PUIL 1987) di Tempat Kerja harus disesuaikan;
b. bahwa untuk itu perlu diatur dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1. Undang-undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 2912);
2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 2918);
3. Keputusan Presiden No. 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP- 23/MEN/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Memperhatikan: Standar Nasional Indonesia (SNI) No. SNI-04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di tempat kerja.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) NO. 04-0225-2000 MENGENAI PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) DI TEMPAT KERJA.
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin tempat kerja sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1970.
2. Tempat kerja adalah setiap tempat untuk menjalankan suatu usaha sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1970.
3. Pegawai Pengawas adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana dimaksud Pasal I ayat (5) Undang- undang No. 1 Tahun 1970.
4. Ahli Keselamatan Kerja Bidang Listrik adalah tenaga teknis yang berkeahlian khusus dibidang keselamatan kerja listrik dari luar Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (6) Undang-undang No. 1 Tahun 1970.
5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
(1) Perencanaan, pemasangan, penggunaan, pemeriksaan dan pengujian instalasi listrik di tempat kerja harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) No. SNI 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.
(2) Pengurus bertanggung jawab terhadap ditaatinya dan wajib melaksanakan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.
(3) Instalasi listrik yang telah terpasang sebelum diberlakukannya Keputusan ini, wajib disesuaikan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Pasal 3
Pengawasan terhadap pelaksanaan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja dilakukan oleh Pegawai Pengawas atau Ahli Keselamatan Kerja Spesialis Bidang Listrik.
Pasal 4
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan Pasal 2 Keputusan ini dikenakan sanksi sesuai Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Pasal 5
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor PER-04/MEN/1988 tentang Berlakunya Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 225-1987 mengenai Peraturan Umum Instalasi Listrik Indonesia 1987 (PUIL 1987) di Tempat Kerja, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 6
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 April 2002
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
JACOB NUWA WEA
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 235/MEN/2003 TENTANG JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU MORAL ANAK
Menimbang :
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 74 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Mengingat
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1918);
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Convention Minimum Age For Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3835);
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3941);
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
8. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Memperhatikan :
1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYA-KAN KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU MORAL ANAK.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun.
2. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau dipekerjakan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
(2) Pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.
(3) Jenis-jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi dengan Keputusan Menteri.
Pasal 3
Anak usia 15 (lima belas) tahun atau lebih dapat mengerjakan pekerjaan kecuali pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 4
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk bekerja lembur.
Pasal 5
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
JACOB NUWA WEA
Lampiran : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANS-MIGRASI REPUBLIK INDONESIA.
NOMOR : KEP- 235/MEN/2003
TANGGAL : 31 Oktober 2003
JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN ANAK
A. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan peralatan lainnya meliputi :
Pekerjaan pembuatan, perakitan/pemasangan, pengoperasian, perawatan dan perbaikan:
1. Mesin-mesin
a. mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin bubut, mesin skrap;
b. mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak, mesin pengisi botol.
2. Pesawat
a. pesawat uap seperti: ketel uap, bejana uap;
b. pesawat cairan panas seperti: pemanas air, pemanas oli;
c. pesawat pendingin, pesawat pembangkit gas karbit;
d. pesawat angkat dan angkut seperti: keran angkat, pita transport, ekskalator, gondola, forklift, loader;
e. pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat pembangkit listrik.
3. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang.
4. Instalasi seperti: instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam kebakaran, saluran listrik.
5. Peralatan lainnya seperti: tanur, dapur peleburan, lift, perancah.
6. Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut, dan sejenisnya.
B. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya yang meliputi:
1. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Fisik
a. pekerjaan di bawah tanah, di bawah air atau dalam ruangan tertutup yang sempit dengan ventilasi yang terbatas (confined space) misalnya sumur, tangki;
b. pekerjaan yang dilakukan pada tempat ketinggian lebih dari 2 meter;
c. pekerjaan dengan menggunakan atau dalam lingkungan yang terdapat listrik bertegangan di atas 50 volt;
d. pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik dan/atau gas;
e. pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan suhu dan kelembaban ekstrim atau kecepatan angin yang tinggi;
f. pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan atau getaran yang melebihi nilai ambang batas (NAB);
g. pekerjaan menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan radioaktif;
h. pekerjaan yang menghasilkan atau dalam lingkungan kerja yang terdapat bahaya radiasi mengion;
i. pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu;
j. pekerjaan yang dilakukan dan dapat menimbulkan bahaya listrik, kebakaran dan/atau peledakan.
2. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia
a. pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdapat pajanan (exposure) bahan kimia berbahaya;
b. pekerjaan dalam menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar, mudah menyala, oksidator, korosif, iritatif, karsinogenik, mutagenik dan/atau teratogenik;
c. pekerjaan yang menggunakan asbes;
d. pekerjaan yang menangani, menyimpan, menggunakan dan/atau mengangkut pestisida.
3. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis
a. pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik, penyamakan kulit, pencucian getah/karet;
b. pekerjaan di tempat pemotongan, pemrosesan dan pengepakan daging hewan;
c. pekerjaan yang dilakukan di perusahaan peternakan seperti memerah susu, memberi makan ternak dan membersihkan kandang;
d. pekerjaan di dalam silo atau gudang penyimpanan hasil-hasil pertanian;
e. pekerjaan penangkaran binatang buas.
C. Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu :
1. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan.
2. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat.
3. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan.
4. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci.
5. Pekerjaan penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau di perairan laut dalam.
6. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil.
7. Pekerjaan di kapal.
8. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas.
9. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00 – 06.00
JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN MORAL ANAK
1. Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi.
2. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP.68/MEN/IV/2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI TEMPAT KERJA
Menimbang :
a. bahwa kasus HIV/AIDS di Indonesia terdapat kecenderungan jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu;
b. bahwa jumlah kasus HIV/AIDS sebagian besar terdapat pada kelompok usia kerja produktif yang akan berdampak negatif terhadap produktivitas perusahaan;
c. bahwa untuk mengantisipasi dampak negatif dari kasus HIV/AIDS di tempat kerja diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan yang optimal;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan c perlu diatur dengan Keputusan Menteri;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1818);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden R.I. Nomor 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS di Indonesia;
4. Keputusan Presiden R.I. Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
5. Pembentukan Kabinet Gotong Royong; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER- 02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatam Kerja;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER- 03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja;
7. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat R.I. Nomor-8/KEP/Menko/Kesra/VI/1994 tentang Susunan, Tugas dan Fungsi Keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS.
Memperhatikan :
1. Deklarasi U.N. General Assembly Special Session No.526/2001;
2. Deklarasi ASEAN tentang Penanggulangan HIV/AIDS, 2001;
3. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Tahun 2003-2008 yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional;
4. Pedoman Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja- Depnakertrans 2003;
5. ILO Code of Practice on HIV/AIDS and the World of Work yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan tambahan dan uraiannya yang berjudul Kaidah ILO tentang HIV/AIDS di Dunia Kerja 2003;
6. Kesepakatan Tripartit Nasional tentang Komitmen Penanggulangan HIV/AIDS di Dunia Kerja Tahun 2003
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANS- MIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI TEMPAT KERJA
Pasal 1
Dalam Keputusan Meteri ini yang dimaksud dengan :
1. "Human Immunodeficiency Virus"(HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS.
2. "Acquired Immune Deficiency Syndrome" (AIDS) adalah suatu kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh menurunnya atau hilangnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan belum ditemukan vaksin serta obat penyembuhannya.
3. "Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS" adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah penularan VIV dan menanggulangi dampak negatif HIV/AIDS.
4. "Tes HIV" adalah suatu tes darah yang dipakai untuk memastikan apakah seseorang telah terinfeksi virus HIV atau tidak.
5. "Pekerja/Buruh" adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
6. "Pengusaha" adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan , atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7. "Pengurus" ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
8. "Perusahaan" adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
9. "Pekerja dengan HIV/AIDS" adalah pekerja/buruh yang terinfeksi HIV dan atau mempunyai gejala AIDS.
10. "Konseling" adalah kegiatan konsultasi yang bertujuan membantu mempersiapkan mental pekerja/buruh dan mengatasi masalah-masalah yang mungkin atau sedang dihadapi.
Pasal 2
1. Pengusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
2. Untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha wajib;
a. mengembangkan kebijakan tentang upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS;
b. mengkomunikasikan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan cara menyebarluaskan informasi dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan;
c. memberikan perlindungan kepada Pekerja/Buruh dengan HIV/AIDS dari tindak dan perlakuan diskriminatif;
d. menerapkan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku.
Pasal 3
Pekerja/Buruh dengan HIV/AIDS berhak mendapatkan pelayanan kesehatan kerja dengan pekerja/buruh lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
1. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
2. Pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
3. Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga atau ahli dibidang HIV/AIDS.
Pasal 5
1. Pengusaha atau pengurus dilarang melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja/buruh atau kewajiban pemeriksaan kesehatan rutin.
2. Tes HIV hanya dapat dilakukan terhadap pekerja/buruh atas dasar kesukarelaan dengan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan, dengan ketentuan bukan untuk digunakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Apabila tes HIV sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan, maka pengusaha atau pengurus wajib menyediakan konseling kepada pekerja/buruh sebelum atau sesudah dilakukan tes HIV.
4. Tes HIV sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya boleh dilakukan oleh Dokter yang mempunyai keahlian khusus sesuai peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku.
Pasal 6
Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekan medis.
Pasal 7
1. Petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
2. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 April 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA
KESEPAKATAN TRIPARTITE KOMITMEN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI DUNIA KERJA
Kami, Pemerintah-Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat-Republik Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), serta wakil-wakil Serikat Buruh/Pekerja (KSPI-Kongres Serikat Pekerja Indonesia, KSPSI-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan SBSI-Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) dengan ini :
• MENYADARI bahwa penyebaran HIV/AIDS di Indonesia potensi mengancam profitabilitas dan produktivitas dunia usaha serta kesehatan tenaga kerja maupun masyarakat luas;
• MENYATAKAN KEPEDULIAN MENDALAM bahwa ancaman HIV/ AIDS berdampak buruk terhadap pembangunan nasional yang berkelanjutan dan sumber daya manusia di Indonesia;
• MENDESAK seluruh pihak, terutama sektor swasta, untuk bekerjasama dengan seluruh potensi masyarakat untuk mencegah meningkatnya penularan HIV/ AIDS;
• MENDESAK seluruh pihak di tempat kerja untuk bekerja bersama dalam kerangka tripartitt dengan;
a) Menggunakan prinsip-prinsip Kaidah ILO tentang HIV/ AIDS dan Dunia Kerja sebagai dasar pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS di tempat kerja;
b) Mengutamakan program pencegahan HIV/ AIDS ditempat kerja termasuk mendorong pengusaha dan serikat pekerja untuk mendukung program tersebut;
c) Mendorong dan mendukung penghapusan stigma dan Diskriminasi terhadap buruh/ pekerja yang hidup dengan HIV/ AIDS;
Jakarta, 25 Februari 2003
M. Jusuf Kalla Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Jacob Nuwa Wea Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Ir. Aburizal Bakrie Ketua Umum KADIN
H. Suparwanto, MBA Ketua Umum APINDO
Rustam Aksam Ketua Umum KSPI
Arief Sudjito Ketua DPP KPSPI
Muchtar Pakpahan Ketua Umum SBSI
Kaidah ILO tentang HIV / AIDS dan Dunia Kerja
ILO telah mengadopsi Kaidah ILO tentang HIV/ AIDS di Tempat Kerja yang merupakan hasil konsultasi dengan konstituen ILO pada 21 Juni 2001. Kaidah ini dimaksudkan untuk membantu mengurangi penyebaran HIV dan dampak terhadap pekerja dan keluarganya. Kaidah tersebut berisikan prinsip-prinsip dasar bagi pengembangan kebijakan dan petunjuk praktis ditingkat perusahaan dan komunitas.
10 Prinsip Kaidah ILO tentang HIV / AIDS dan Dunia Kerja
1. Pengakuan HIV / AIDS sebagai Persoalan Dunia Kerja : HIV / AIDS adalah persoalan dunia kerja dan mesti diperlukan sebagaimana penyakit serius lainnya yang muncul di dunia kerja.
2. Non-diskriminasi : Tidak dibolehkan adanya tindak diskriminasi terhadap buruh/ pekerja berdasarkan status HIV / AIDS atau dianggap sebagi orang terinfeksi HIV. Diskriminasi dan stigmatisasi justru menghalangi upaya promosi pencegahan HIV / AIDS.
3. Kesetaraan Jender : Dimensi jender dalam penanggulangan HIV /AIDS perlu digarisbawahi. Perempuan dibanding laki-laki cenderung mudah terinfeksi dan terpengaruh wabah HIV /AIDS. Karenanya, kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan amat penting bagi keberhasilan pencegahan penyebaran infeksi serta memudahkan perempuan mengatasi HIV / AIDS.
4. Kesehatan Lingkungan : Demi kepentingan semua pihak, lingkungan kerja yang sehat dan aman perlu terus dijaga semaksimal mungkin sesuai Konvensi ILO No. 155 Tahun 1988 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5. Dialog Sosial : Kerja sama dan kepercayaan di antara pengusaha, buruh/ pekerja serta pemerintah, termasuk keterlibatan aktif para buruh/ pekerja yang terkena atau terpengaruh HIV / AIDS, menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan program HIV / AIDS.
6. Larangan Skrining dalam Proses Rerutmen dan Kerja : Skrinig HIV / AIDS tidak boleh dijadikan persyaratan dalam larangan kerja atau dikenakan terhadap seseorang yang sudah berstatus sebagai buruh/ pekerja.
7. Kerahasiaan : Menanyakan informasi pribadi yang berkaitan dengan HIV pada pelamar kerja atau buruh/ pekerja adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Akses terhadap data pribadi terkait dengan status HIV seorang buruh/ pekerja harus mematuhi prinsip kerahasiaan sesuai Kaidah ILO Tahun 1977 tentang Perlindungan Data Pribadi Buruh/ Pekerja.
8. Kelanjutan Status Hubungan Kerja : Infeksi HIV tidak boleh dijadikan alasan pemutusan hubungan kerja. Seperti layaknya kondisi penyakit lain, infekdi HIV tidak harus membuat seseorang kehilangan hak bekerja sepanjang orang tersebut masih layak bekerja dan dapat dibenarkan secara medis.
9. Pencegahan : Infeksi HIV dapat dicegah. Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui sejumlah strategi yang disesuaikan dengan sasaran nasional dan mempertimbangkan kepekaan budaya. Langkah pencegahan juga dpat dilakukan melalui kampanye perubahan tingkah laku, pengetahuan, pengobatan serta menciptakan lingkungan yang bersih dari sikap dan tindak diskrimininasi.
10. Kepedulian dan Dukungan Solidaritas, kepedulian dan dukungan haruslah menjadi pedoman dalam menanggapi persoalan HIV / AIDS di dunia kerja. Semua buruh/ pekerja, termasuk yang terkena HIV, berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang terjangkau, jaminan asuransi, perlindungan sosial dan berbagai paket asuransi kesehatan lainnya.